Sepuluh Tahun Terakhir Target Penerimaan Pajak Tak Tercapai

JAKARTA, Kementerian Keuangan telah mengumumkan penerimaan pajak tahun 2019 yang tak mencapai target atau hanya 84,4% dari angka yang ditetapkan dalam APBN 2019. Turunnya penerimaan pajak ini dipengaruhi tekanan ekonomi global, perlambatan ekonomi domestik dan dinamika politik sepanjang tahun 2019.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan penerimaan pajak kembali tidak mencapai target, yaitu terealisasi Rp1.332 triliun atau 84,4% dari target. Dengan kata lain, terjadi shortfall Rp245 triliun dari target dalam APBN 2019 sebesar Rp1.577,6 triliun.

“Berarti 10 tahun terakhir pemerintah belum berhasil mencapai target pajak yang ditetapkan dalam APBN,” katanya di Jakarta, Selasa (7/1).

Namun, penerimaan pajak yang turun tersebut sudah diprediksi oleh CITA sebelumnya. CITA memproyeksi penerimaan pajak 2019 berada di kisaran Rp1.310 sampai Rp1.349 triliun atau 83–85% dari target dalam APBN. Ini artinya, CITA memperkirakan shortfall pajak berada di antara Rp228 triliun sampai Rp267 triliun.

Yustinus menambahkan secara persentase, realisasi penerimaan pajak tahun 2019 lebih rendah dibandingkan dua tahun terakhir. Pada tahun 2017, realisasi penerimaan pajak 89,7% dan di tahun 2018 kembali meningkat menjadi 92,4%. Namun, realisasi 2019 ini masih lebih baik dibandingkan realisasi penerimaan pajak tahun 2015 dan 2016 yang mencapai 82% dan 81,6%.

“Volatilitas pencapaian target penerimaan ini perlu diantisipasi dan dianalisis secara mendalam demi mendapatkan formula pemungutan pajak yang efektif dan sustain,” sarannya.

Pada tahun 2019, penerimaan pajak hanya tumbuh 1,24% atau terendah sejak tahun 2009 pasca Global Financial Crisis (GFC) menghempas ekonomi dunia. Menurutnya, rendahnya pertumbuhan inilah yang menjelaskan rendahnya realisasi terhadap target penerimaan pajak dan perlu dikenali lebih detail penyebabnya. 

“Rendahnya realisasi terhadap target terjadi bukan karena pemerintah telah mengesampingkan prinsip prudence dalam penyusunan APBN, namun karena hal lain,” tambahnya.

Dia mengakui, sepanjang tahun 2019 tantangannya sangat berat. Pasalnya pungutan pajak sangat bergantung pada kondisi perekonomian terutama harga komoditas. Tantangan ini permasalahan struktural yang tak dapat diperbaiki dalam jangka pendek.

“Turunnya harga komoditas di tahun 2019 menekan kinerja penerimaan pajak terutama dari sektor perkebunan, migas dan pertambangan. Di samping harga komoditas, dari data makroekonomi dapat kita lihat bahwa sektor perdagangan internasional kita juga menurun,” paparnya.

Penurunan ini secara langsung akan berdampak pada penerimaan PPN Impor. Tak ayal, kinerja penerimaan PPN juga tertekan dengan realisasi yang hanya 81,3%.

Adapun insentif pajak yang cukup banyak digelontorkan, antara lain tax holidaytax allowance, kenaikan PTKP, kenaikan threshold hunian mewah, dan restitusi sudah dipercepat. Di sisi lain ada pemanfaatan data dan informasi yang belum optimal. Terakhir, 2019 menjadi tahun politik yang memaksa dilakukannya moratorium tindak lanjut data/informasi dan tertundanya pemungutan pajak beberapa sektor, seperti e commerce.

Dalam paparan Kinerja APBN 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan ekonomi Indonesia terpengaruh pelemahan ekonomi global yang terlihat dari penerimaan pajak. Dia memaparkan dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) 21 atau pajak karyawan masih relatif baik atau tumbuh 10,2%

“Artinya perusahaan masih mampu membayar karyawannya,” ujarnya.

Sementara, PPh Orang Pribadi realisasinya tumbuh 19% menjadi Rp165,3 triliun. Menurutnya, meski kecil sumbangannya bagi keseluruhan penerimaan namun hal ini menandakan kepatuhan wajib pajak meningkat.

Sektor usaha yang masih bagus pembayaran karyawannya utamanya di sektor perdagangan dan jasa keuangan. Sementara, PPh impor minus 1,9% dibanding tahun lalu yang tumbuh 26%. “Ini penurunan sangat dalam, terlihat dari statistik impor turun 9%,” katanya.

Sementara untuk PPh Badan tahun lalu tumbuh 22% dan tahun 2019 hanya tumbuh 1,1%. Dia menilai ini karena pengaruh pelemahan ekonomi yang berimbas pada bidang usaha. Begitu juga dengan PPh 26 atau dividen yang turun 6,7%. Padahal tahun lalu, pajak ini bisa tumbuh 15%. “Ini menggambarkan berbagai perusahaan bahkan tidak memiliki dividen untuk dibagikan,” tambah Ani.

Sementara, pajak lain seperti PPh final realisasinya mencapai Rp124,5 triliun atau berkontribusi 9,3% terhadap penerimaan. Begitu juga dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri yang realisasinya Rp346,3 triliun dengan kontribusi 26%.

Keduanya, lanjut Sri Mulyani, menjadi kontributor tertinggi jika dilihat dari sisi pertumbuhan. Meskipun diakuinya terdapat perlembahan pertumbuhan dari 6,2% tahun lalu menjadi 3,7% tahun ini.

Sri Mulyani menjelaskan penurunan terjadi pada sektor manufaktur. Sementara sektor yang cukup baik pertumbuhannya adalah sektor transportasi dan pergudangan.

“Ada pergeseran komposisi sektoral yang terkena dampak langsung namun walau penerimaan pajak mengalami tekanan hampir seluruh sektor kecuali transportasi, pergudangan dan jasa keuangan,” papar Ani.

Prospek 2020
Yustinus menilai untuk tahun 2020, masih dipenuhi dengan ketidakpastian. Kinerja pertumbuhan penerimaan dapat diperkirakan tidak mengalami perubahan besar. “Namun, untuk mencapai target penerimaan pajak di tahun 2020 pertumbuhan penerimaan perlu meningkat sebesar 23,3% dari realisasi 2019,” tambahnya.

Dia menilai target tersebut sulit untuk direalisasikan karenanya pemerintah memiliki opsi untuk menurunkan target penerimaan dalam APBN-P. “Pilihan ini pun sulit, mengingat Pemerintah pernah berkomitmen untuk tidak ada lagi APBN-Perubahan demi menjaga kredibilitas APBN,” cetusnya.

Ia menyarankan demi menjaga kesinambungan fiskal dan mencegah pelebaran defisit yang akan menaikkan porsi pembiayaan dari utang, maka revisi target di APBN menjadi pilihan paling rasional dan beralasan.

Sumber: validnews.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only