Ubah Prioritas, Pembahasan Revisi UU KUP Tidak Dilanjutkan Tahun Ini

“Terkait RUU KUP karena ketentuannya akan tertampung dalam RUU omnibus law dan sudah diharmonisasi dengan UU PPN dan UU PPh maka RUU KUP tidak jadi prioritas pembahasan 2020,” katanya di Kantor Kemenkeu, Selasa (7/1/2020).

Hadiyanto mengungkapkan prioritas revisi UU KUP akan bergeser menjadi jangka menengah. RUU yang masuk ke DPR sejak 2016 lalu itu akan masuk daftar revisi aturan dengan pembahasan yang bisa dilakukan sampai dengan 2024. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang diungkapkan Dirjen Pajak Suryo Utomo.

Selain omnibus law perpajakan, revisi UU Bea Meterai dan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah akan menjadi prioritas otoritas fiskal untuk dirampungkan tahun ini. Kedua revisi UU tersebut juga berkaitan dengan penerimaan negara.

Adapun agenda terdekat Kemenkeu adalah menyodorkan rancangan omnibus law perpajakan kepada DPR pada pertengahan Januari 2020. Harmonisasi kebijakan, disebut Hadiyanto, sudah dirampungkan oleh Kemenkeu.

“RUU omnibus law perpajakan itu sudah selesai harmonisasi dan saat DPR selesai reses akan disampaikan pada masa sidang setelah aktif bekerja lagi,” paparnya.

Seperti diketahui, ada beberapa rencana kebijakan yang masuk dalam omnibus law perpajakan. Pertama, penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 25% menjadi 22% (2021-2022) dan 20% (2023). Selain itu, pemerintah memberikan pengurangan 3 poin persentase dari tarif normal itu untuk perusahaan yang akan go public.

Selain itu, akan ada penurunan tarif atau pembebasan tarif PPh dividen dalam negeri. Dalam hal ini, dividen yang diterima oleh wajib pajak badan maupun orang pribadi akan dibebaskan. Aturan lebih lanjut akan dimasukkan dalam peraturan pemerintah.

Kedua, penyesuaian tarif PPh pasal 26 atas bunga dari dalam negeri yang selama ini diterima oleh subjek pajak luar negeri. Tarif ini dapat diturunkan lebih rendah dari tarif pajak 20% yang selama ini berlaku. Ketentuan akan diatur dalam peraturan pemerintah.

Ketiga, penggunaan sistem teritorial untuk penghasilan yang diperoleh dari luar negeri. Keempat, relaksasi relaksasi pengkreditan pajak masukan oleh pelaku usaha yang belum ditetapkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Batasan pengkreditan maksimal 80%.

Kelima, pengaturan ulang sanksi administrasi pajak untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Keenam, redefinisi bentuk usaha tetap (BUT) yang tidak hanya terbatas pada kehadiran fisik. Selain itu, terkait dengan pemajakan ekonomi digital, pemerintah akan meminta para perusahaan digital untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN.

Ketujuh, rasionalisasi pajak daerah untuk mengatur kembali kewenangan pemerintah pusat dalam menetapkan tarif pajak daerah secara nasional. Kedelapan, mengumpulkan seluruh fasilitas perpajakan di dalam satu bagian. (kaw)

“Terkait RUU KUP karena ketentuannya akan tertampung dalam RUU omnibus law dan sudah diharmonisasi dengan UU PPN dan UU PPh maka RUU KUP tidak jadi prioritas pembahasan 2020,” katanya di Kantor Kemenkeu, Selasa (7/1/2020).

Hadiyanto mengungkapkan prioritas revisi UU KUP akan bergeser menjadi jangka menengah. RUU yang masuk ke DPR sejak 2016 lalu itu akan masuk daftar revisi aturan dengan pembahasan yang bisa dilakukan sampai dengan 2024. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang diungkapkan Dirjen Pajak Suryo Utomo.

Selain omnibus law perpajakan, revisi UU Bea Meterai dan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah akan menjadi prioritas otoritas fiskal untuk dirampungkan tahun ini. Kedua revisi UU tersebut juga berkaitan dengan penerimaan negara.

Adapun agenda terdekat Kemenkeu adalah menyodorkan rancangan omnibus law perpajakan kepada DPR pada pertengahan Januari 2020. Harmonisasi kebijakan, disebut Hadiyanto, sudah dirampungkan oleh Kemenkeu.

“RUU omnibus law perpajakan itu sudah selesai harmonisasi dan saat DPR selesai reses akan disampaikan pada masa sidang setelah aktif bekerja lagi,” paparnya.

Seperti diketahui, ada beberapa rencana kebijakan yang masuk dalam omnibus law perpajakan. Pertama, penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 25% menjadi 22% (2021-2022) dan 20% (2023). Selain itu, pemerintah memberikan pengurangan 3 poin persentase dari tarif normal itu untuk perusahaan yang akan go public.

Selain itu, akan ada penurunan tarif atau pembebasan tarif PPh dividen dalam negeri. Dalam hal ini, dividen yang diterima oleh wajib pajak badan maupun orang pribadi akan dibebaskan. Aturan lebih lanjut akan dimasukkan dalam peraturan pemerintah.

Kedua, penyesuaian tarif PPh pasal 26 atas bunga dari dalam negeri yang selama ini diterima oleh subjek pajak luar negeri. Tarif ini dapat diturunkan lebih rendah dari tarif pajak 20% yang selama ini berlaku. Ketentuan akan diatur dalam peraturan pemerintah.

Ketiga, penggunaan sistem teritorial untuk penghasilan yang diperoleh dari luar negeri. Keempat, relaksasi relaksasi pengkreditan pajak masukan oleh pelaku usaha yang belum ditetapkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Batasan pengkreditan maksimal 80%.

Kelima, pengaturan ulang sanksi administrasi pajak untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Keenam, redefinisi bentuk usaha tetap (BUT) yang tidak hanya terbatas pada kehadiran fisik. Selain itu, terkait dengan pemajakan ekonomi digital, pemerintah akan meminta para perusahaan digital untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN.

Ketujuh, rasionalisasi pajak daerah untuk mengatur kembali kewenangan pemerintah pusat dalam menetapkan tarif pajak daerah secara nasional. Kedelapan, mengumpulkan seluruh fasilitas perpajakan di dalam satu bagian.

Sumber: ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only