Penerimaan PPN, PPnBM & PPh Migas Anjlok, Ini Penyebabnya

Jakarta, – Lagi-lagi penerimaan pajak Indonesia kembali tak capai target, kali ini malah makin jauh dar target APBN. Penerimaan perpajakan yang tak capai target disebabkan oleh faktor eksternal maupun internal.

Penerimaan pajak masih menjadi sumber pendapatan negara. Lebih dari 80% pendapatan RI disumbang oleh pajak. Target penerimaan pajak tahun kemarin dipatok sebesar Rp 1.577,6 triliun di APBN 2019. Namun realisasi sementara hingga akhir tahun hanya mencapai Rp 1.332,1 triliun saja atau 84,4%.

Realisasi sementara penerimaan pajak tahun 2019 juga melorot dibanding tahun lalu. Pada 2018 capaian realisasi penerimaan pajak mencapai 92,2% dari APBN. Penerimaan pajak tumbuh 1,4% dibanding tahun sebelumnya. Angka pertumbuhan itu tentunya sangat minimalis jika dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak tahun lalu yang tumbuh hingga14,1%.

Dari empat jenis pajak yang dipungut pemerintah. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN & PPnBM) serta Pajak Penghasilan Migas (PPh Migas) realisasinya mengecewakan.

Capaian PPN & PPnBM tahun 2019 tercatat hanya Rp 532,9 triliun atau 81,3% dari APBN. Angka tersebut lebih rendah dibanding tahun lalu yang realisasinya mencapai Rp 537,3 triliun. Itu artinya realisasi sementara PPN & PPnBM mengalami kontraksi 0,8% dibanding tahun lalu.

Di saat yang sama penerimaan PPh Migas justru anjlok yang paling dalam. Tahun 2019 penerimaannya mencapai Rp 59,1 triliun dari target APBN Rp 66,2 triliun atau mencapai 89,3%. Miris betul, karena tahun 2018, penerimaan realisasi PPh Migas mencapai Rp 64,7 triliun artinya jika penerimaan tahun 2019 dibanding 2018 mengalami kontraksi 8,7%.

Lesunya penerimaan pajak diakibatkan oleh kombinasi sektor eksternal maupun internal. Dari sektor eksternal perang dagang yang terjadi antara AS dan China menjadi salah satu pemberat roda perekonomian global.

Akibatnya volume perdagangan terkontraksi dan arus investasi menjadi melambat. Harga-harga komoditas seperti batu bara dan minyak mentah mengalami koreksi. Dampaknya juga dirasakan RI yang ekonominya masih bertumpu pada sektor komoditas.

Sejak awal tahun 2019 hingga kuartal III, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan. Pada Q1 ekonomi RI tumbuh 5,07%, kemudian tumbuh melambat menjadi 5,05% pada Q2 dan pertumbuhan ekonomi Sang Garuda kembali terpangkas di Q3 jadi 5,02%.

Berbagai Penyebab Turunnya PendapatanLesunya penerimaan pajak terutama PPN & PPnBM serta PPh Migas juga kena dampaknya. PPN merupakan pajak yang dikenakan untuk setiap transaksi sedangkan PPnBM merupakan pajak yang dipungut atas penjualan barang mewah.

Jika PPN mengalami penurunan artinya ada indikasi terjadi penurunan transaksi. Kalau transaksi mengalami penurunan artinya ada indikasi daya beli masyarakat juga ikut terkerek turun.

Laju konsumsi rumah tangga memang masih tumbuh positif di atas 5%, tetapi ketika melihat inflasi inti tumbuh melambat jelang akhir tahun bisa jadi indikasi bahwa daya beli masyarakat RI juga melemah. Komponen ini menggambarkan pengeluaran yang bersifat persisten, susah turun-naik. Selama inflasi inti masih terakselerasi, berarti masyarakat masih mau membeli barang dan jasa yang harganya cenderung stabil.



Ketika harga barang dan jasa yang semacam ini masih bisa naik, artinya konsumsi masih tumbuh sehat. Namun yang terjadi sejak Oktober adalah perlambatan laju inflasi inti. Ini bisa diartikan bahwa konsumen mulai menahan diri. Pelemahan konsumsi sepertinya sudah tidak bisa dipungkiri lagi.

Sementara penerimaan PPh Migas juga mengalami kontraksi yang dalam. Realisasi penerimaan PPh Migas turun diakibatkan oleh tiga hal. Pertama adalah rata-rata harga jual minyak yang turun di tahun 2019. Menurut kementerian keuangan ICP tahun 2019 mencapai US$ 62/barel jauh dari asumsinya sebesar US$ 70/barel. Penurunan harga ini diakibatkan karena turunnya permintaan minyak dunia.

Faktor kedua yang juga turut melemahkan realisasi penerimaan PPh Migas adalah dari sisi produksi. Lifting migas RI semakin jauh dari asumsi. Pada 2019 lifting minyak mentah RI rata-rata 741 ribu barel per hari (bpd), sementara asumsinya 775 ribu bpd. Lifting tersebut juga lebih rendah dibanding realisasi tahun 2018 yang mencapai 778 ribu bpd.

Lifting gas juga mengalami penurunan menjadi 1.050 ribu barel ekuivalen minyak dari target 1.250 ribu barel ekuivalen minyak. Lifting ini gas tahun ini juga lebih rendah dibanding tahun lalu yang mencapai 1.145 ribu barel ekuivalen minyak.

Faktor ketiga yang juga mempengaruhi lemahnya penerimaan PPh Migas adalah penguatan rupiah. Nilai tukar rupiah pada 2019 rata-rata mencapai Rp 14.146/US$ lebih rendah dibanding asumsi yang mencapai Rp 15.000/US$ dan rata-rata tahun lalu yang mencapai Rp 14.247/US$.

Tak dapat dipungkiri, kondisi eksternal dan internal jadi pemicu sengkarut penerimaan pajak yang rendah dan jauh dari target APBN.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only