Wahai Aparat, Usut Tuntas Dugaan Tiga Pelanggaran Berat BPN

PUSAT Kajian Kebijakan Publik, Cianjur Riset Center mendorong agar aparat penegak hukum segera mengusut tuntas adanya dugaan tiga pelanggaran berat yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Cianjur.

Direktur CRC, Anton Ramadhan membeberkan tiga ‘dosa’ BPN, antara lain dugaan pungli pada pengurusan Pertimbangan Teknis (Pertek) Pertanahan, pelanggaran terkait alih fungsi lahan pertanian untuk dijadikan fungsi lain, serta pelanggaran pada pelaksanaan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

“Dugaan-dugaannya sudah sangat kuat, ini tidak bisa dibiarkan, apalagi pihak BPN juga tak berupaya mengklarifikasi sejumlah pemberitaan di media. Jadi, aparat penegak hukum harus segera mengusut tuntas,” ujarnya kepada beritacianjur.com, Senin (13/1/2020).

Terkait alih fungsi lahan, Anton menduga, dalam rentang waktu 2011 hingga 2019, BPN Cianjur diduga kuat mengeluarkan persetujuan terhadap alih fungsi lahan pertanian untuk dijadikan fungsi lain, di antaranya untuk industri dan perumahan.

Anton menegaskan, hal itu melanggar peraturan perundang-undangan. Menurutnya, kebijakan tersebut terdapat dalam Pertimbangan Teknis yang dikeluarkan BPN untuk setiap izin penggunaan tanah.

Kebijakan BPN yang mengarah terhadap alif fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian (industri dan perumahan, red), sambung Anton, jelas melanggar Keputusan Presiden (Keppres) 33 tahun 1990, Keppres Nomor 53 tahun 1989 tentang Kawasan Industri, serta Surat Edaran (SE) Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 460-1594 tanggal 5 Juni 1996, tentang Pencegahan Konversi Tanah Sawah Irigasi Teknis Menjadi Tanah Kering.

“Dari data yang kita peroleh, sejak tahun 2011 hingga 2019 sudah ada ratusan pabrik dan perumahan yang didirikan di atas lahan pertanian,“ tegasnya.

Pada Keppres Nomor 33 tahun 1990, lanjut dia,  Pasal 1 menyebutkan, pencadangan tanah dan/atau pemberian izin lokasi dan izin pembebasan tanah bagi setiap perusahaan industri, dilakukan dengan ketentuan: 1. Tidak mengurangi areal tanah pertanian, 2. Tidak dilakukan di atas tanah yang mempunyai fungsi utama untuk melindungi sumber alam dan warisan budaya, serta sesuai dengan sarana tata ruang wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.

“Sementara pada Pasal 2 disebutkan, selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, pelaksanaan kegiatan pembangunan juga tidak dapat dilakukan pada kawasan pertanian, kawasan hutan produksi serta kawasan lindung,“ ungkapnya.

Sedangkan terkait PTSL, Anton menerangkan, BPN Cianjur diduga melakukan penyimpangan berupa adanya indikasi pengendapan setoran Pajak Penghasilan (PPh) final atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dibayar peserta PTSL.

Sedangkan terkait pungli, dugaannya sempat juga dilontarkan Masyarakat Peduli Cianjur (MPC) dan Cianjur People Movement, yang berdasarkan keluhan sejumlah pengusaha yang tengah mengurus pertimbangan teknis pertanahan. Berdasarkan pengakuan pengusaha, oknum petugas BPN meminta tarif Rp2.000 per meter dari luas yang diajukan.

“Dugaan punglinya sangat kuat. Bayangkan saja, masa BPN memberikan tarif Rp2.000 per meter, padahal kan dalam aturannya tidak seperti itu. Rp2.000 itu memang kecil, tapi jika dikalikan hektaran bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Ini gila,” ujar Ketua MPC, Jajang Supardi.

Sementara itu, pentolan Cepot, Ahmad Anwar menerangkan, tarif untuk Pertek Pertanahan diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 128 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

Jika berdasarkan aturan, sambung pria yang karib disapa Ebes, rumusan tarifnya yakni luas tanah yang diajukan dikalikan Rp67 ribu dibagi 100 ribu dan ditambah Rp5 juta. Alhasil, jika seandainya luas tanah yang diajukan seluas 15 hektar, maka biayanya hanya Rp5.100.500.

“Biaya 5.100.500 itu dari rumusan 150.000 m2 x Rp67.000 : 100.000 + 5.000.000 = Rp5.100.500. Bayangkan jika tarifnya memakai tarif Rp2.000 per meter, yakni Rp2.000 x 150.000 m2 = Rp300.000.000. Ini luar biasa dan dugaan pungutan liarnya kuat serta sangat jelas,” paparnya.

“Jadi kalau secara aturan, tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Pertek Pertanahan itu Luas tanah/100.000 x Harga Satuan Biaya Kegiatan Panitia B (Rp67 ribu) + Rp5 Juta, bukan Rp2 ribu per meternya,” sambungnya.

Ebes menegaskan, dugaan praktik pungutan liar yang terjadi di lingkungan BPN Cianjur ini tak bisa dibiarkan. Aparat penegak hukum harus segera mengusut dan mengungkapnya.

Hingga berita ini diturunkan, setelah berulangkali mencoba mengonfirmasi, namun masih belum ada juga penjelasan dari pihak BPN.

Sumber: beritacianjur.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only