Pelaku UMKM respons positif kebijakan yang menurunkan nilai batas ekspor

JAKARTA. Terhitung mulai 30 Januari 2020 mendatang, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) akan menetapkan ketentuan baru terkait ambang batas nilai pembebasan bea masuk dan pajak barang impor.

Beleid tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 199 Tahun 2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak Atas Impor Barang Kiriman.

Ketua Asosiasi Usaha UMKM Indonesia (Akumindo) M. Ikhsan Ingratubun mengatakan, pihaknya menyambut baik adanya aturan tersebut. Apalagi kebijakan ini dibuat agar usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam negeri mampu bersaing dengan produk luar.

“Asosiasi UMKM menyambut baik, walaupun kebijakan itu agak terlambat,” ujar Ikhsan kepada Kontan.co.id, Selasa (14/1).

Pasalnya menurut Ikhsan, saat ini produk impor dengan harga di bawah US$ 75 telah membanjiri pasar Indonesia. Untuk itu, Ia mengimbau agar para pelaku usaha UMKM harus mulai bersiap untuk memproduksi barang yang serupa dengan barang impor yang telah membanjiri pasar Indonesia.

Namun, jika ditanya apakah sektor UMKM Indonesia telah mampu bersaing dengan barang-barang impor tadi, jawabannya tentu saja belum. Selain akan membutuhkan banyak waktu bagi sektor UMKM untuk dapat bersaing, ada beberapa hal yang yang juga dibutuhkan oleh pelaku usaha di sektor ini.

Pertama, yaitu Undang-Undang Pemberdayaan UMKM. Kedua, mengenai pemberian modal kerja. Pasalnya, hampir setiap sektor UMKM yang saat ini dibanjiri oleh produk impor, mengalami kebangkrutan karena tidak mampu membayar utang.

Mengenai pemberian modal kerja, menurut Ikhsan pemberian modal ini bisa diberikan oleh pemerintah atau bank dan diatur di dalam UU Pemberdayaan UMKM. Ikhsan mencontohkan, cara lain untuk memberdayakan UMKM juga dapat dilakukan dengan mengubah Undang-Undang Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) atau Permodalan Nasional Madani (PNM) menjadi seperti semula.

Jika pemerintah tidak melakukan perubahan kebijakan, Ikhsan khawatir nantinya penurunan ambang batas nilai pembebasan bea masuk dan pajak barang impor ini tidak akan berdampak pada sektor UMKM. Bahkan, kemungkinan terburuk sektor UMKM tidak mampu bersaing.

“Kalau tidak mampu bersaing kan sama saja. Walaupun diturunkan harganya menjadi US$ 3, tapi UMKM Indonesia mampu atau tidak memproduksi barang-barang yang sama seperti itu?,” tandas Ikhsan.Ia juga menuturkan, setidaknya butuh waktu paling lambat sekitar 2 tahun untuk sektor UMKM dapat bersaing dengan produk luar. Namun tentu saja harus dibarengi dengan perubahan kebijakan oleh pemerintah, seperti kebijakan terkait pembelian barang dan jasa.

“Nah itu juga harus juga dibarengi dengan kebijakan-kebijakan tersebut. Jadi produk-produk UKM Indonesia itu harus dibeli,” kata Ikhsan.

Seperti yang diketahui, pemerintah menurunkan batasan nilai pembebasan bea masuk atas barang kiriman dari semula US$ 75 menjadi US$ 3. Namun, pungutan pajak dalam rangka impor (PDRI) berlaku normal atau tetap.

Kemudian, pemerintah juga melakukan rasionalisasi terhadap kebijakan tarif. Pemerintah memangkas tarif bea masuk dari semula 27,5% hingga 37,5% dengan rincian bea masuk sebesar 7,5%, PPN 10%, PPh 10% (NPWP), dan PPh 20% (tanpa NPWP), menjadi hanya 17,5% dengan perincian bea masuk sebesar 7,5%, PPN 10% dan PPh 0%.

Namun demikian, kebijakan tarif tersebut tidak berlaku bagi tiga jenis barang, yaitu tas, sepatu, dan produk tekstil seperti baju. Menurut DJBC, tarif ketiga barang ini mengikuti bea masuk tarif normal atau most-favored-nation (MFN).

Adapun rincian tarif bea masuk untuk tas sebesar 15% – 20%, sepatu sebesar 25% – 30%, dan tekstil sebesar 15 – 25%. Sementara PPN ketiga barang tersebut masih tetap 10% dengan PPh sebesar 7,5% – 10%.

Sumber: Kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only