Pemerintah Godok Aturan Tata Niaga dan Harga Nikel

JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah membahas aturan anyar untuk tata niaga dan harga nikel domestik dari penambang ke perusahaan smelter.

Review tata niaga dan harga nikel ini menyusul protes para penambang yang terkena dampak larangan ekspor bijih (ore) nikel kadar rendah sejak 1 Januari 2020. Buntutnya, mereka mogok produksi lantaran harga pembelian dari smelter rendah, sedang kewajiban setor royalti naik dua kali lipat.

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, dalam pengaturan tata niaga ini, pemerintah ingin memastikan harga nikel domestik tidak merugikan penambang maupun pengusaha smelter. Atas dasar itu, dalam pengaturan yang tengah digodok, tata niaga bijih nikel kadar rendah harus mempetimbangkan Harga Pokok Produksi (HPP).

Sehingga, harga tidak boleh lebih rendah dari HPP ore nikel penambang maupun HPP untuk pemrosesan produk di smelter. Misalnya, pengolahan ore menjadi nickel pig iron (NPI) atau feronikel. “Supaya berkeadilan antara penambang  dan penusaha smelter pemerintah kan harus ada di tengah. Nah, itu yang lagi didiskusikan,” kata Yunus saa dihubungi KONTAN, Jum’at (17/1).

Yunus mengakui, saat ini penambang memikul beban yang lebih berat, lantaran ada kenaikan tarif royalti untuk ore nikel dari 5% menjadi 10%. Karenanya, Yunus memastikan bahwa perhitungan HPP sebagai dasar harga domestik ini juga harus memasukkan komponen penambahan biaya akibat kenaikan tarif royalti.

Kemeneterian ESDM juga berjanji akan melibatkan seluruh stakeholders penambang dan pengusaha smelter dalam pembahasan kebijakan tata niaga dan harga nikel, termasuk Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan Asosiasi Perumahan Peleburan dan Pemurnian Indonesia (AP3I).

Sebelumnya, Seketaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan, smelter lokal lebih memilih untuk menyerap ore nikel dengan kadar tinggi. Sementara harga nikel kadar rendah yang dipatok ke smelter berada di bawah standar HPP.

Oleh sebab itu, Meidy meminta supaya pemerintah mempertegas aturan terkait tata niaga dan harga domestik ke dalam bentuk regulasi khusus, supaya nilai keekonomian penamban lebih terjamin.

Meidy tidak menyebut berapa jumlah penambang yang kini memilih untuk tidak berproduksi. Yang jelas, para penambang itu tersebar di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.

Mengenai penambang mogok produksi, Yunus mengklaim, belum berdampak signifikan terhadap produksi dan menyerapan nikel secara nasional. “Kondisi ini masih terbilang wajar,” sebut dia.

Sumber: surat kabar kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only