Praktisi Nilai Kemenko Maritim Hambat Tarif Penyeberangan

Semarang, — Praktisi transportasi Bambang Haryo Soekartono menyayangkan keterlibatan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi dalam penetapan tarif angkutan penyeberangan yang berimbas pada penetapan tarif yang sudah diusulkan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

“Kemenko Maritim dan Investasi sekarang malah justru menghambat kemudahan usaha karena birokrasi makin panjang dan bertele-tele, tidak sesuai dengan jargon Presiden memangkas regulasi dan birokrasi,” kata Bambang Haryo Soekartono  yang juga anggota DPR 2014-2019 tersebut, Rabu (22/1).

Menurut Bambang, pembahasan tarif di Kemenhub sudah molor selama 1,5 tahun dan belum pernah naik sejak 3 tahun lalu. Sesuai regulasi, evaluasi tarif penyeberangan seharusnya dilakukan 6 bulan sekali.
Terkait, evaluasi tarif penyeberangan sendiri sebenarnya bukan domain Kemenko Maritim dan Investasi, melainkan Kemenko Perekonomian. Jika pun terlibat, menurut Bambang, Kemenko Maritim dan Investasi sebaiknya hanya mengawasi dan membantu agar birokrasinya lancar. Bukan justru menciptakan birokrasi baru.

“Saya khawatir angkutan penyeberangan berhenti operasi dalam waktu dekat karena kesulitan membayar gaji karyawan dan kewajiban lain. Kalau penyeberangan kolaps dampaknya sangat luas, angkutan penumpang dan logistik terhenti sehingga ekonomi akan mandeg,” kata Bambang.

Atas permasalahan ini, Bambang mendesak Presiden Joko Widodo turun tangan untuk segera melakukan penyelesaian, karena bila terus molor akan berakibat kondisi usaha penyeberangan nasional semakin kritis.

“Bapak Presiden, Bapak Jokowi, saya minta turun tangan selesaikan hal ini. Ini sangat riskan, kalau terus molor, kondisi usaha penyeberangan nasional semakin kritis”, tegasnya.

Selain terganjal birokrasi, Bambang menambahkan sektor pelayaran kini dibebani banyak regulasi baru yang menambah biaya hingga 100 persen, belum termasuk kenaikan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga 1.000 persen.

Bambang menyebut, sejak era Orde Baru, birokrasi evaluasi tarif telah dipangkas dengan menghilangkan mekanisme melalui DPR RI sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 21/1992 tentang Pelayaran. Ketentuan ini diperkuat dengan PP No. 82/1999 tentang Angkutan di Perairan, yang menyebutkan penetapan tarif cukup melalui Menteri Perhubungan.

“Orde Baru sekalipun menyadari tarif angkutan adalah masalah krusial karena menyangkut keselamatan penumpang dan logistik. Seharusnya pemerintahan Jokowi yang berorientasi maritim lebih sensitif dan responsif,” tuturnya.

Sumber: cnnindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only