Genjot Penerimaan, Kekayaan Bersih dan Warisan Bisa Dipajaki

JAKARTA – Pemerintah perlu mempertimbangkan pungutan pajak atas kekayaan bersih dan warisan dalam rangka mengoptimalkan penerimaan pajak.

Pilihan ini bisa dilakukan untuk mengimbangi PPh Badan yang akan dikurangi tarifnya dari 25% menjadi 20%, seperti yang akan dicantumkan dalam Omnibus Law.

Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji mengatakan selain mengenakan pajak atas orang kaya, pemerintah juga bisa mempertimbangkan untuk mengenakan pajak atas warisan.

Pajak warisan bisa dikenakan sekali yakni ketika WP menerima harta yang diwariskan kepadanya.

Bawono berargumen terdapat landasan yang kuat untuk mengenakan pajak atas kekayaan bersih dan pajak warisan tersebut.

“Umumnya pajak ini bisa dijustifikasi ketika pemungutan PPh OP di suatu negara belum optimal sehingga atas penghasilan yang belum optimal dipajaki tersebut diakumulasikan pada kekayaan,” ujar Bawono, Minggu (26/1/2020).

Pengenaan pajak ini juga bisa dijustifikasi ketika ada kencenderungan semakin tingginya ketimpangan kekayaan dan adanya akumulasi kekayaan antargenerasi.

Credit Suisse sendiri mencatat koefisien gini kekayaan di Indonesia mencapai 0,84 pada 2018 lalu. Hal ini tidak terlepas dari konsentrasi kekayaan pada sebagian kecil rekening dan penguasaan properti.

Namun, persoalan dari pengenaan pajak atas kekayaan bersih dan pajak warisan adalah keduanya bukan merupakan solusi jangka pendek.

Oleh karena itu, dalam jangka pendek perluasan basis pajak serta pemanfaatan teknologi dalam rangka peningkatan kepatuhan memiliki prospek yang baik untuk menjaga momentum penerimaan pajak ke depan.

Saat ini, Indonesia masih memiliki tantangan berupa informalitas perekonomian yang tinggi sehingga banyak penghasilan yang masih susah dipajaki. Melalui digitalisasi sistem serta akses data yang semakin luas, tantangan perpajakan atas sektor informal ini akan semakin terminimalisir.

Menurut Bawono, tarif Pajak PPh Badan yang dipangkas dapat menciptakan risiko penurunan penerimaan pajak pada tahun-tahun ke depan. Hal ini pun menjadi PR bagi DJP untuk memperbaiki kinerja ekstensifikasi pada tahun-tahun ke depan.

Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Yon Arsal mengatakan pihaknya akan melanjutkan program ekstensifikasi sehingga pengurangan potensi penerimaan pajak dari sisi tarif dapat ditambal dengan semakin bertambahnya basis pajak, terutama WP Orang Pribadi (OP) nonkaryawan.

“Memang klasik sih, tetap ekstensifikasi dan intensifikasi, tapi cara kerjanya diperbarui dengan data sekarang ini untuk meng-expand basis pajak itu,” ujar Yon, pekan lalu.

Harapannya, PPh Badan yang tertekan potensi pajaknya dapat ditambal dengan sumbangsih Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yakni PPh Pasal 21 dari WP OP karyawan serta PPh OP dan PPh Final dari WP OP nonkaryawan.

Meski demikian, data DJP menunjukkan penambahan basis pajak WP OP nonkaryawan melalui ekstensifikasi tidak secara otomatis diikuti oleh kepatuhan dalam pelaporan SPT.

Dokumen DJP sendiri mencatat WP OP nonkaryawan yang telah terdaftar pada suatu tahun berjalan masih banyak yang tidak membayar pada tahun selanjutnya.

Contohnya, dari WP OP nonkaryawan yang terdaftar pada 2016 yang sebanyak 570.127 WP, hanya 285.206 yang melakukan pembayaran pada 2016 dan hanya 115.092 yang membayar pajak pada 2017.

Dengan ini, pengawasan terhadap WP OP nonkaryawan baru hasil ekstensifikasi masih belum dilakukan secara optimal oleh DJP.

Hal yang sama pun terjadi pada 2018. Dari 554.998 WP OP nonkaryawan yang terdaftar pada 2017, hanya 152.971 WP OP nonkaryawan yang membayar pajak pada 2018.

Secara nominal, ekstensifikasi yang dilakukan juga tidak menghasilkan nominal penerimaan pajak yang tinggi. Sementara itu, penerimaan negara hasil ekstensifikasi pada 2018 tercatat hanya sebesar Rp27,11 triliun, 2% dari penerimaan pajak 2018.

Sumber: Bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only