Jakarta, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro mengaku menunggu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait insentif pajak jumbo atau biasa disebut super deductible bagi perusahaan yang berinvestasi untuk riset dan pengembangan (R&D).
Bambang mengatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani baru meluncurkan aturan teknis untuk diskon pajak jumbo bagi perusahaan yang berinvestasi pada bidang vokasi. Insentif pajak itu tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan yang diterbitkan pada September 2019 lalu.
“Kami menunggu PMK karena yang ada baru Peraturan Pemerintah (PP) dan itu tidak operasional. Apalagi kalau urusan pajak banyak detail sehingga harus ada peraturan operasional yaitu PMK,” katanya, Kamis (30/1).
Ia menuturkan pihaknya telah melakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan dalam menentukan skema pemberian potongan pajak. Harapannya, PMK dapat diluncurkan oleh Sri Mulyani pada medio pertama tahun ini.
“Mudah-mudahan (semester I), harusnya bisa karena semu aspek dari PMK sudah siap tinggal pengundangan dan pemahaman di tingkat operasional,” paparnya.
Porsi Riset Swasta Meningkat
Bambang menargetkan melalui pemberian pelonggaran pajak itu, kontribusi sektor swasta kepada pendanaan riset meningkat kurang lebih 20 persen dalam lima tahun. Ia mengungkapkan porsi swasta saat ini hanya sekitar 20 persen.
Mayoritasnya atau sekitar 80 persen masih disuntik oleh pemerintah dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Paling tidak dalam lima tahun yang ingin saya kejar paling tidak swasta naik menuju 40 persen, sehingga peran pemerintah turun menjadi 60 persen, tapi bukan berarti anggaran diturunkan,” ujarnya.
Ia mengungkapkan porsi swasta kepada pendanaan riset di Indonesia sudah tertinggal dengan negara lain, sebagai contoh Malaysia. Pasalnya, Negeri Jiran telah lama menerapkan insentif pajak bagi perusahaan yang menanamkan modal di riset.
Sedangkan Indonesia, lanjutnya, cenderung menjadi pasar karena faktor penduduknya yang banyak.
“Jadi kita tidak boleh keburu puas dengan pasar di Indonesia, karena nilai tambah besar bukan pada pasar tapi pada pengembangan produk melalui R&D,” ungkapnya.
Sumber: cnnindonesia.com
Leave a Reply