Obligasi Holding Period akan Tahan Capital Inflow

Chief Economist & Head of Research PT Samuel Aset Manajement, Lana Soelistianingsih mengatakan untuk ke depannya pemerintah perlu menjalankan kebijakan yang dapat membuat aliran modal asing (capital inflow) yang masuk betah untuk berada di dalam pasar keuangan. Misalnya dengan membuat obligasi yang memiliki holding period.

Selama ini tenor obligasi yang ada sekitar 5 sampai 30 tahun. Untuk obligasi dengan tenor 5 tahun maka harus memiliki holding period selama 3 tahun. “Investor tersebut juga diberi insentif lebih besar misalnya pajak atas capital gain-nya dikurangi atau imbal hasilnya lebih tinggi sehingga minimal dia bertahan di Indonesia.

Gak langsung keluar ketika ada gonjang ganjing kita bisa pegan mereka selama tiga tahun,” ungkap Lana di Jakarta. akhir pekan lalu. Jika pemerintah tidak jeli maka saat terjadi gejolak perekonomian global investor asing akan langsung melakukan penarikan dana dari pasar keuangan domestik.

Hal ini yang akan berdampak langsung terhadap ketahana ekonomi dan fluktuasi nilai tukar rupiah. “Kita harus kreatif membuat obligasi ataupun dana asing bisa lebih lama di Indonesia sekarang ini asing mau beli tapi mudah juga untuk keluar dari Indonesia,” ucapnya.

Ia mengatakan kondisi yang terjadi saat ini yaitu tren suku terus menurun walaupun selisihnya positf. Bila terjadi gejolak maka bank sentral biasanya merespon dengan menambah likuiditas. Upaya menurunkan suku bunga itu yang biasa dilakukan semua bank sentral. Termasuk bI dan the fed juga. Hanpur semua bank sentral menurunkan suku bunganya tahun 2019.

Ini antisipasi agar mengurang gejolak perekonomian. “Karena investor tahu bank sentral respon artinya bank sentral alert ya jangan sampai kejadin resesi sehingga mereka lebih konfidens lagi. Biasanya respon bank sentral sangat diperhatikan pelaku pasar,” ucap Lana.

Adanya aliran modal ini juga menjadi langkah jangka pendek untuk mengatasi defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD). Dengan adanya aliran modal asing maka akan meningkatkan kondisi neraca finansial yaitu melalui portofolio.

Dalam hal ini Surat Berharga Negara (SBN) menjadi pilihan. Imbal hasil SBN juga terdampak dari suku bunga acuan BI. Oleh karena itu bila suku bunga acuan BI rendah minat investor untuk membeli obligasi juga menjadi rendah. “Dengan konteks ini BI agak terbatas untuk menurunkan suku bunga lagi karena ada potensi obligasi kita menjadi lebih mahal Karena kebutuhan menutup CAD dari neraca finansial utamanya dari portofolio,” kata Lana.

Selama ini kondisi neraca pembayaran berasal dari penjumlahan antara neraca transaksi berjalan yang positif dengan neraca finansial yang surplus. Untuk menciptakan neraca finansial yang surplus maka ada tiga komponen yang harus digenjot yaitu portofolio, investasi langsung asing (Foreign Direct Investment/FDI) dan utang. “Tiga komponen ini yang bisa menutup defisit transaksi berjalan,” imbuh Lana.

Untuk meningkatkan FDI pemerintah sedang memperbaik iklim usaha. Namun hal ini tidak bisa dilakukan dalam waktu cepat. Namun saat jumlah FDI meningkat maka jumlah dana yang masuk ke pasar keuangan domestik bisa bertahan dalam jangka waktu lama. “Untuk membangun FDI dibutuhkan kerja cepat mengenai omnibus law harus terealisasi, iklim usaha harus membaik.

Saat ini Indonesia masih kalah dengan negara tetangga,” ucapnya. Peneliti Center of Economic Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan tingginya capital inflow melalui investasi portofolio yang masuk juga menyebabkan kerentanan terhada perekonomian.

Khususnya akan berpengaruh target peengurangan defisit pada neraca transaksi berjalan. Jika dilihat komponen pendapatan primer mengapa dia begitu besar aliran investasi yang masuk ke Indonesia bukan dalam bentuk investasi langsung asing (Foreign Direct Investment/FDI) tetapi dalam bentuk portofolio.

“Tentu ini memang di satu sisi dia akan berdampak positif terhadap pasar keuangan dan penguatan rupiah tetapi kita termasuk negara yang sangat fragile terhadap volatilitas nilai tukar,” ucap Yusuf. Hal ini perlu diantisipasi dengan berbagai kebijakan.

Sebenarnya pemerintah sudah memberikan banyak wacana salah satunya penuruna pajak deviden agar investasi tidak cepat keluar masuk. Namun bila berkaca pada kebijakan negara lain seharusnya pemerintah tidak hanya memberikan kebijakan keringanan pajak tetapi juga memberikan persyaratan untuk investasi portofolio.

Misalnya Tiongkok yang mengatur agar portofolio yang masuk ke pasar uang harus ditaruh dalam jangka waktu tertentu. “Ketika masuk dia harus di hold misalnya enam bulan dia gak bisa keluar masuk. Ini mungkin yang bisa menjadi pertimbangan pemerintah,” ucap Yusuf.

Sebelumnya Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan aliran modal asing yang masuk akan tetap berada di pasar keuangan domestik. BI dan Pemerintah terus melakukan sejumlah kebijakan untuk melakukan bauran kebijakan baik secara fiskal maupun moneter. “Sekarang kalau fundamental kuat dan capital inflow masuk tentunya akan lebih permanen ada di perekonomian,” ucap Dody.

Dengan kondisi fundamental yang terjaga maka investor tidak segan-segan untuk menaruh uangnya lebih lama di Indonesia. Hal ini turut menjaga kestabilan ekonomi dan pemerintah bisa mendorong roda perekonomian. “Bila modal yang masuk tetap bertahan di Indonesia, diharapkan akan menimbulkan efek yang lebih permanen dalam perekonomian,” ucap Dody.

Kehadiran inflow ini juga menjadi upaya untuk mengurangi defisit transkasi berjalan yang ada. Apalagi neraca perdagangan juga sudah menunjukan tren positif dimana defisit neraca perdagangan 2019 mengalami penurunan dari tahun 2018.

“Tahun ini neraca pembayaran juga membaik dari tahun 2019. Jadi CAD kita cenderung lebih baik di 2,5-3% dari PDB (Produk Domestik Bruto). Poinnya semakin besar inflow yang masuk dan bisa menutup defisit cad dan membuat rupiah semakin stabil,” ucap Dody.

Sumber : Investor Daily

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only