Mesin Bekerja, Buruh Terancam

Di era teknologi seperti sekarang ini, buruh harus mampu meningkatkan keterampian dan produktivitasnya. Jika tidak, perkembangan teknolgi akan menghilangkan kesempatan kerja bagi para buruh.

Kecenderungan itu bahkan sudah muali terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Laju pertumbuhan investasi tahun lalu, misalnya, terbukti tak mampu mengungkit penyerapan tenaga kerja.

Pasalnya, investasi baru yang masuk lebih mengandalkan modal alias mesin. Walhasil jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan semakin minim.

Sebagai gambaran, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat sepanjang 2019 realisasi penanaman modal di Indonesia mencapai Rp 809,6 triliun. Angka ini di atas target sebesar 102,2% atau setara dengan 792 triliun.

Tapi, lonjakan investasi ini ternyata tak berbanding luurus dengan penyerapan tenaga kerjanya. Sepanjang periode itu, penyerapan tenaga kerja justru menyusut. BKPM melaporkan, penyerapan tenaga kerja di 2019 Cuma 1,03 juta orang.

Angka ini hanya naik tipis sekitar 69.948 orang dibanding tahun 2018 yang jumlahnya 960.052 orang. Ada pun realisasi investasi 2018 mencapai Rp 721,3 triliun.

“Penyerapan tenaga kerja 2019 itu mencakup semua sektor, baik proyek penanaman modal dalam negeri (PDMN) maupun penanaman modal asing (PMA),” kata Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.

Sejatinya, tren penurunan penyerapan tenaga kerja sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai gambaran, BKPM mencatat realisasi investasi sepanjang 2016 mencapai Rp 612,8 triliun, meningkat 12,4% dibandingkan realisasi investasi 2015 yang sebesar Rp 545,4 triliun.

Tapi, lonjakan investasi ini ternyata tak berbanding lurus dengan penyerapan tenaga kerjanya. Sepanjang 2016 itu, penyerapan tenaga kerja 2016 cuma 1,39 juta orang.

Angka itu turun dibandingkan penyerapan tenaga kerja 2015 yang sebanyak 1.435.711 orang. Kondisi berlanjut di 2017. Dengan realisasi investasi Rp 692,8 triliun, penyerapan tenaga kerjanya hanya 1,17 juta orang, di bawah serapan tenaga kerja 2016. Padahal, realisasi investasi 2017 tumbuh 13,1% dibandingkan realisasi tahun 2016.

Mayoritas sektor jasa

Munurut Bahlil, rendahnya penyerapan tenaga kerja lantaran mayoritas investasi dalam beberapa tahun terakhir lari ke sektor jasa. Celakanya, ssebagian investasi yang masuk manufaktur bersifat padat modal dengan memanfaatkan teknologi tinggi.

Dengan memanfaatkan teknologi maka mata rantai produksi menjadi lebih ringkas, sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan pun menjadi lebih minim.

“Semankin hari, dunia berubah, banyak pekerjaan sekarang digantikan robot. Dan ini tidak bisa dihindari, tenaga kerja sekarang banyak digantikan oleh teknologi,” terang Bahlil.

Kondisi itu diperparah dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang cenderung rendah, sehingga tidak banyak angkatan kerja Indonesia yang terserap. Bahkan, Bahlil menyebut tingkat pendidikan tenaga kerja di Indonesia rata-rata masih sekolah dasar (SD) dan sekolah menegah pertama (SMA).

Alhasil, tidak banyak tenaga kerja yang terserap meski investasi meningkat. “Kewajiban kita semua adalah meningkatkan skill mereka lewat berbagai pelatihan,” unjar Bahlil.

Dengan begitu, semakin banyak lapangan kerja yang dihasilkan seiring dengan peningkatan skill tenaga kerja.

Saat ini, kata Bahlil, setiap 1% pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mampu menyerap tidak lebih dari 110.000 orang. Padahal di 2013, setiap 1% pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih mampu menyerap tenaga kerja kurang lebih 270.000 orang.

Untuk memaksimalkan penyerapan tenaga kerja, ia  juga berharap investasi di sektor manufaktur bisa terus menigkat. Tahun ini, BKPM menargetka investasi sektor manufaktur mencapai Rp 246,3 triliun. Angka itu lebih tinggi dibandingkan realisasi investasi manufaktur pada 2019 dan 2018, yang masing-masing sebesar Rp 216 triliun dan Rp 222,3 triliun.

Pengusaha tekstil Ade Sudrajat tak heran dengan kondisi ini. Ia menyebut penyerapan tenaga kerja semakin rendah, lantaran belakangan ini investasi yang masuk lebih banyak ke sektor padat modal, bukan padat karya.

Ditambah lagisekarang ini investor lebih gemar mengotomasi pabrik dan penggunaan teknologi termutakhir. “Sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan lebih sedikit,” kata Ade yang juga mantan Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).

Di sisi lain, jumlah angkatan kerja baru bertambah dengan cepat yakni sekitar 2 juta orang per tahun. “Industri di dalam negeri tidak bisa mengimbangi pesatnya pertumbuhan angkatan kerja itu,” ujarnya.

Penyataan Ade ini klop dengan data BKPM. Realisasi investasi 2019 memang lebih banyak masuk ke sektor padat modal ketimbang padat karya.

Laju pertumbuhannya pun konsisten mengalami kenaikan dalam empat tahun terakhir. Data BKPM menyebut, realisasi investasi di sektor jasa, baik dari PMDN maupun PMA pada 2019 mencapai Rp 466,4 triliun. Angka itu menguasai lebih dari separuh atau realisasi investasi Indonesia sepanjang tahun lalu.

Bahkan, bila dirunut ke belakang, realisasi investasi sektor jasa selalu menjadi yang terbesar dalam enam tahun terakhir. “Selama banyak lari ke sektor padat modal dan sektor jasa maka sudah pasti penyerapan tenaga kerja akan turun,” ujar Ade.

Perkuat manufaktur

Danang Girindrawardana, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan, supaya penyerapan tenaga kerja meningkat, emerintah harus fokus memperkuat industri manufaktur dalam negeri, termasuk industri bahan bakunya. “Tanpa penguatan sektor manufaktur maka industri ini akan terus ditinggal oleh investor,” katanya.

Meunurut Danang, orientasi Indonesia saat ini terkesan jadi negara jada perdagangan tanpa kekuatan manufaktur yang seimbang. Menurut dia, pola pikir dan orientasi ituharus diubah.

“Kalau manufakturnya tumbuh, maka jasa perdagangan pasti ikut tumbuh, bukan sebaliknya,” ujar dia.

Perkuat manufaktur

Maka itu, ia berpendapat, perlu terobosan pemerintah membangun sektor manufaktur guna menampung pertumbuhan angka tenaga kerja setiap tahunnya. “Jasa perdagangan tidak akan mampu menciptakan lapangan kerja sejumlah itu,” ujarnya.

Mohammad Faisal, Ekonom Center of Reform on Ecomomics (CORE) Indonesia mengakui, saat ini sektor padat modal dan sektor jasa sedang menjadi primadona para investor. Beberapa sektor jasa yang banyak dilirik investor adalah jasa kontruksi, jasa kesehatan hingga pariwisata.

Bahkan, sektor jasa transportasi, entertain, dan kecantikan juga mengalami pertumbuhan investsi beberapa tahun belakangan. Bukan saja minim tenaga kerja, karakter pekerja yang dibutuhkan sektor ini pun berbeda dengan padat karya.

Menurut Faisal, sektor padat modal membutuhkan tenaga kerja lebih terampil. Kondisi itu berbanding terbalik dengan Indonesia yang justru surplus tenaga kerja unskill.

“Sehingga jangan hanya terpaku pada manufaktur, tapi juga perlu menyiapkan tenaga kerja terampil yang dibutuhkan sektor jasa. Jangan sampai investasi banyak masuk, tetapi lapangan kerja semakin sulit,” jelasnya,” ucapnya.

Padahal, melalui Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, pemerintah sudah menargetkan bisa membuka lapangan kerja untuk sebanyak 3 juta orang Faisal menyebut, bisa saja target yang ditetapkan tersebut tercapai, asalkan pemerintah memahami adanya pergeseran kebutuhan tenaga kerja dan menyiapkan suplai tenaga kerja yang relevan dengan kebutuhan investasi.

Dalam Omnibus Law juga perlu ditekankan sektor-sektor mana saja yang pelu diperkuat. Perlu juga diperjelas, dari target 3 juta serapan tenaga kerja tersebut, berapa potensi yang bisa diserap oleh masing-masing sektor manufaktur, jasa, industri primer dan lainnya.

“Jadi harus mencapai standar sesuai dengan pengeseran tren investasi. Kalau memang trennya ke arah padat modal atau jasa, ya tenaga kerja kita harus disiapkan untuk memenuhi permintaan itu,” ujar Faisal lagi.

Tanpa adanya terobosan, Faisal khawatir jumlah pengangguran makin banyak. Dampak dari lonjakan pengangguran menyebabkan makin merosotnya daya beli masyarakat.

Pada akhirnya bisa menyebabkan pertumbuhan ekonomi stagnan di 5% bahkan lebih rendah lagi. “Maka itu sekarang harus balik fokus ke sektor manufaktur,” ujanya.

Sekjen KementerianPerindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono, mengatakan, Pemerintah terus mengupayakan perbaikan kinerja manufaktur. Salah satunya dengan memperbaiki iklim investasi agar bisa menarik investasi sebanyak mungkin.

Sumber: tabloid kontan 10 feb -16 feb 2020         

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only