Pasar Saham RI Jadi Korban Corona, Investasi Aman ke Mana?

Jakarta – Di awal 2020, kondisi pasar saham Indonesia tidak kondusif. Sama seperti bursa saham lainnya di regional, pasar saham Indonesia terhantam sentimen negatif penyebaran virus corona yang masif dari China. Kinerja pasar saham negatif.

Sejak awal tahun hingga kini, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun sekitar 5%. Ini juga berimbas pada penurunan kinerja reksa dana saham yang angkanya juga mirip dengan penurunan IHSG.

Presiden Direktur PT Mandiri Manajemen Investasi, Nurdiaz Alvin Pattisahusiwa, mengatakan meski kinerja saham di awal tahun negatif, namun masih ada prospek yang positif sampai akhir tahun ini.

“Di 2020 prospek saham masih bagus. Awal tahun ini memang ada wabah corona dan sentimen negatif dari domestik seperti permasalahan pada lembaga keuangan. Tapi prospek saham di 2020 masih positif terutama pada semester dua,” ujar Alvin dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Senin (10/2/2020).

Prospek positif pasar saham di tahun ini, ujar Alvin, ditopang oleh kebijakan sektor moneter yang akomodatif serta kebijakan fiskal dengan omnibus law. Dalam omnibus law akan muncul reformasi perpajakan dan tenaga kerja, yang selama ini ditunggu-tunggu oleh pelaku usaha dalam negeri.

Secara fundamental, Alvin mengatakan kinerja IHSG juga masih menarik, terlihat dari price book value (PBV) dan PE (price earning) Ratio-nya. “Pada 2003-2004, saat SARS mewabah, itu butuh 3 bulan untuk pasar saham kembali normal. Jadi terkait sentimen ini tidak perlu panik melakukan aksi jual. Waspada perlu, tapi harus juga menggunakan logika untuk sentimen jangka panjang,” jelas Alvin.

PBV adalah perbandingan nilai pasar suatu saham terhadap nilai bukunya sendiri sehingga kita dapat mengukur tingkat harga saham apakah overvalued atau undervalued. Jadi makin rendah nilai P/BV suatu saham, saham tersebut dikategorikan undervalued.

Adapun Price To Earning Ratio adalah alat utama penghitungan harga saham suatu perusahaan dibandingkan dengan pendapatan perusahaan.

Lantas apa investasi yang menjanjikan hingga akhir tahun?

Alvin menjelaskan, sentimen negatif memang menyelimuti saham-saham berkapitalisasi menengah dan kecil, akibat permasalahan yang terjadi pada beberapa lembaga keuangan, contoh saja kasus Jiwasraya. Jadi, saham berkapitalisasi besar bisa jadi pilihan.

Saham kapitalisasi besar atau big cap yang menarik, ujar Alvin, adalah perbankan, konsumsi, dan perkebunan.

“Kredit perbankan tahun lalu cuma 6%, tahun ini bisa 10-11%. Dari sisi saham konsumsi, kebijakan kartu prakerja bisa menjadi buffer untuk sektor konsumsi. Di sektor perkebunan memang volatilitasnya tinggi, karena tergangtung harga komoditas seperti CPO. Tapi untuk CPO ada permintaan baru dari India,” papar Alvin.

Selain itu, rencana penurunan pajak penghasilan (PPh) untuk korporasi dalam omnibus law juga jadi sentimen positif pasar saham dalam jangka waktu panjang. Dalam omnibus law, ujar Alvin, PPh korporasi akan turun dari 25% menjadi 23% di 2021, dan lanjut menjadi 20% di 2023. Untuk perusahaan yang terdaftar di pasar modal, PPh-nya juga akan turun menjadi 17% di 2023.

“Ini akan meningkatkan laba perusahaan, terutama yang terdaftar di pasar modal. Kalau ini terlaksana di 2021, biasanya investor saham akan masuk enam bulan sebelumnya,” jelas Alvin.

Mandiri Manajemen Investasi hingga akhir Januari 2020 memiliki dana kelolaan Rp 58,7 triliun, naik Rp 800 miliar dalam sebulan. Sedangkan bila ditambah kantor cabangnya di Singapura, maka dana kelolaannya mencapai Rp 634 triliun. Kenaikan ini berbeda dengan kondisi reksa dana secara keseluruhan, di mana dana kelolaannya turun dari Rp 542 triliun menjadi Rp 537 triliunan.

Sumber: CNBCIndonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only