Pajak Daerah Ketinggian Bisa Ganggu Investasi

Jakarta -Kementerian Keuangan menyebut tarif pajak yang diterapkan oleh pemerintah daerah (pemda) mengganggu masuknya investasi ke Indonesia. Oleh karena itu, lewat UU omnibus law perpajakan pemerintah pusat merasionalkan tarif pajak nasional.

Hal itu diungkapkan Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Astera Primanto Bhakti di gedung Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pusat, Jakarta Pusat.

Prima mencontohkan masih banyak pemerintah daerah yang menerapkan tarif pajak maksimal mengikuti batas atas penerapan tarif pajak yang diatur oleh UU pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).

“Kita lihat di sini pajak-pajak daerah yang ada ini disikapi secara beragam jadi banyak daerah yang komplain karena yang namanya pajak daerah dalam UU PDRD itu kesanya adalah selling jadi batas atasnya yang di taruh jadi berfariasi ada yang diambil tengah dan ada yang diambil diatas hampir nggak ada yang ngambil batas bawah, jadi kebanyakan itu kalau nggak tengah ya atas,” kata Prima, Jakarta, Selasa (11/2/2020).

Prima mengungkapkan banyak pemda yang menerapan tarif pajak di batas atas karena demi mengejar penerimaan asli daerah (PAD). Sehingga penerapannya suka tidak sejalan dengan kebijakan pusat yang mulai menurunkan atau membebaskan beberapa tarif pajak.

“Oleh karena itu maka tarif daripada pajak daerah ini kalau yang sudah eksesif (berlebihan) ini bisa di rasionalisasikan yaitu misalnya tadinya tarifnya 5% ternyata skala di perekonomian dia harusnya hanya 3% dan itu hampir setengah maka pemerintah pusat dapat melakukan persyaratan baru dan itu bisa berlaku secara nasional,” ujar dia.

“Kalau dilihat dari porsi pajak daerahnya ini rasionya masih sangat rendah ada sekitar 2% dan ini sangat rendah, tapi yang rendah ini pun kami peringatan juga bisa mengganggu investasi jadi kita ingin agar pemerintah daerah dalam penerapan tarif pajak tidak mengganggu sistem investasi,” tambahnya.

Menurut Prima, rasionalisasi pajak daerah sudah masuk ke dalam pilar kelima UU omnibus law perpajakan yakni menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri.

Di sini pemerintah menetapkan kebijakan pemajakan bagi transaksi elektronik yang mana penunjukan platform memungut PPN, pengenaan pajak kepada subjek pajak luar negeri (SPLN) atas transaksi elektronik di Indonesia.

Kedua, kebijakan mengenai rasionalisasi pajak daerah yang mana dengan penetapan tarif pajak daerah yang berlaku nasional, dan evaluasi terhadap perda PDRB terhadap kebijakan fiscal nasional. Sedangkan kebijakan selanjutnya adalah relaksasi penentuan jenis barang kena cukai.

“Untuk itu maka di sini akan diatur, kalau misalnya daerah itu dia raperdanya tidak sesuai dengan kebijakan fiskal nasional maka di sini bisa menggunakan sanksi,” jelas dia.

“Sanksinya bisa dua hal, diminta untuk mencabut, atau kalau masih raperda tentunya raperdanya tidak atau perlu diadjustment dan yang kedua adalah kalau misalnya ini tetap dilaksanakan tentunya kita punya mekanisme sanksi mengenai trasfer ke daerah, maksudnya adalah supaya daerah tidak mengenakan suatu pungutan yang sifatnya eksesif terhadap suatu kegiatan usaha,” tambahnya.

Sumber: Detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only