JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) bakal memangkas kewenangan atau merasionalisasi pajak daerah dan retribusi daerah demi memperbaiki iklim berusaha di dalam negeri. Hal ini menjadi salah satu substansi dalam Omnibus Law Perpajakan.
Selama ini, daerah disinyalir menetapkan tarif pajak atau pun retribusi daerah secara maksimal agar pendapatan nya lebih besar. Wewenang ini sebesarnya diatur dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Namun, pemerintah daerah tak mau menurunkan tarif itu demi mendukung terciptanya iklim investasi.
Di sisi lain, “Investor membutuhkan kepastian dan biasanya juga akan menghitung economic burden dari usaha mereka setelah dikenakan pajak,” kata Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemkeu Astera Primanto Bhakti, Selasa (11/2).
Lewat Omnibus Law Perpajakan, rasionalisasi pajak daerah akan mencakup dua hal. Pertama, penentuan tarif tertentu atas pajak daerah yang berlaku secara nasional oleh pemerintah pusat. Kedua, kewenangan pemerintah pusat dalam mengevaluasi peraturan daerah (perda) yang terbukti menghambat kemudahan berusaha. Daerah pun wajib melakukan revisi perda paling lama enam bulan setelah hasil evaluasi terbit.
Jika terbukti menghambat investasi maka pemda bisa dikenakan sanksi
Nah, jika pemerintah daerah (pemda) tidak mengubah perda setelah terbukti menghambat, maka Menteri Keuangan bakal memberikan sanksi berupa penundaan hingga pemotongan dana transfer ke daerah. Ketentuan ini tercantum pada pasal 19 ayat 12 draf Omnibus Law Perpajakan.
“Sebenarnya selama ini sudah dievaluasi, tapi compliance Pemda memang masih rendah dalam memberikan rumusan Perda-nya saat rapat. Makanya nanti akan diatur,” tambah Prima.
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi daerah (KPPOD) dalam kajiannya terhadap 1.109 perda pada tahun lalu menemukan bahwa 347 perda masuk kategori bermasalah. Sebanyak 235 perda di antaranya berkaitan dengan perda pajak daerah dan retribusi daerah.
Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng mengatakan, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab persoalan perda investasi dan kegiatan berusaha. Pertama, proses pembentukan perda yang minim partisipasi publik.
Kedua, penanganan perda oleh Kementerian Dalam Negeri yang belum optimal berkaitan dengan alat kelengkapan. Ketiga, adanya konflik kepentingan legislatif dengan eksekutif.
Sumber : Harian Kontan

WA only
Leave a Reply