Menanti Solusi Restitusi Pajak

JAKARTA – Pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau yang biasa disebut sebagai restitusi adalah hak wajib pajak (WP) yang dijamin oleh UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Pihak otoritas pajak perlu menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) apabila jumlah pajak yang dibayar ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah pajak terutang. Restitusi juga dapat dipercepat bagi pengusaha kena pajak (PKP) berisiko rendah dan WP yang memenuhi kriteria tertentu.

Kedua pengembalian kelebihan pembayaran pajak ini umum dikenal masing-masing sebagai restitusi dari hasil pemeriksaan dan restitusi dipercepat. Tahun lalu, realisasi restitusi dari hasil pemeriksaan tumbuh hingga 14,15% (yoy) dari Rp77,29 triliun menjadi Rp88,22 triliun.

Sementara itu, realisasi restitusi dipercepat tumbuh drastis dari Rp22,13 riliun pada 2018 menjadi Rp31,69 triliun pada 2019, tumbuh 43,18% (yoy).

Data ini menunjukkan bahwa fasilitas restitusi ini benar-benar dimanfaatkan oleh WP, terutama restitusi dipercepat yang menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 39/2018 berfungsi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga likuiditas dari WP.

Namun, pelaksanaan restitusi baik yang melalui pemeriksaan maupun yang dipercepat tidak lolos dari masalah. Merujuk pada Laporan Hasil Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern (LHP SPI) Kementerian Keuangan tahun 2018, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan dua catatan terkait pelaksanaan restitusi dari hasil pemeriksaan.

BPK menemukan fakta bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak segera menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP) setelah diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP).

Dalam LHP SPI tersebut, BPK menemukan bahwa sepanjang Januari hingga November 2018 pihak DJP telah menerbitkan SKPKPP sebanyak 1.247 kohir atau surat/ daftar penetapan pajak pada 33 Kanwil DJP senilai Rp12,56 triliun. Namun, atas SKPKPP tersebut belum diterbitkan SPMKP sehingga pada 31 Desember 2018 terdapat utang kelebihan pembayaran pajak yang belum dapat dilunasi dan masih tercatat sebagai penerimaan negara.

Padahal UU KUP beserta PMK turunannya yakni PMK No. 244/2015 telah mengatur bahwa pengembalian kelebihan pembayaran pajak harus dilakukan paling lama satu bulan setelah terbitnya SKPLB. Ketika dikonfirmasi kepada DJP, pihak DJP berargumen bahwa WP terlambat menyampaikan nomor rekening dalam negeri sehingga SPMKP tidak dapat diterbitkan dan disampaikan ke KPPN.

Lebih lanjut, SKPKPP terbit berdekatan dengan batas waktu bengajuan SPMKP di akhir tahun yakni pada 14 Desember sehingga SPMKP tidak dapat diterbitkan atau diterima oleh KPPN.

Selain mengakibatkan pengembalian pembayaran pajak kepada WP dapat melebihi satu bulan sebagaimana yang diatur dalam UU dan PMK, DJP juga berpotensi membayar imbalan bunga kepada WP akibat keterlambatan penerbitan SKPKPP senilai Rp163,7 juta dan imbalan bunga akibat belum terbitnya SKPKPP senilai Rp13,29 miliar.

Masalah ini timbul karena DJP kala itu tidak memiliki aturan yang tegas mengenai jangka waktu penerbitan SKPKPP ke SPMKP dan belum ada pula sistem pemantauan atas penerbitan SJPJPP hingga terbitnya Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).

BPK juga menemukan adanya pengembalian kelebihan pajak yang melewati batas waktu yang diperbolehkan. 

Dalam pengujiannya, BPK menemukan adanya SPT Msa maupun Tahunan yang diindikasikan tidak seharusnya diberikan karena masa pajaknya telah melewati waktu permohonan restitusi.

Hasil pengujian BPK juga menemukan bahwa restitusi masa baik PPN maupun PPh yang telah melewati batas waktu mencapai Rp320,01 miliar, sedangkan restitusi tahunan PPh yang melewati batas waktu mencapai Rp44,76 miliar. Dengan demikian, indikasi pembayaran restitusi melebihi batas waktu yang diperbolehkan untuk dilakukan pengembalian mencapai total Rp364,78 miliar.

Permasalahan ini menimbulkan SPT Lebih Bayar yang diajukan WP diindikasikan tidak sah dan tidak dapat dijadikan landasan penerbitan ketetapan pajak lebih bayar.

Masalah ini timbul karena Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terkait lalai dalam memproses SPT Lebih Bayar WP yang secara materiil tidak sah. Sistem informasi penatauaaan pengembalian kelebihan pembayaran pajak juga dinilai masih belum memadai.

Setumpuk masalah pun masih berlanjut pada realisasi restitusi tahun 2019 lalu.

Di hadapan Komisi XI DPR RI, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan realisasi restitusi pada pertengahan tahun 2019 tumbuh signifikan. Namun, petumbuhan restitusi yang terlampau tinggi tersebut tidak sebanding dengan pertumbuhan penerimaan pajak.

“Ini menimbulkan alarm, ada kemungkinan terdapat abuse,” ujar Sri Mulyani kala itu pada 30 Januari 2020.

Sri Mulyani secara khusus menyorot penerimaan PPN yang tidak tumbuh signifikan, tetapi terdapat pertumbuhan restitusi PPN yang tinggi.

Restitusi atas PPN dalam negeri tercatat mencapai Rp102,14 triliun atau tumbuh 25,22% (yoy) dibandingkan realisasi 2018 yang mencapai Rp81,56 triliun. Di satu sisi, penerimaan PPN dalam negeri tercatat tumbuh Rp346,31 triliun atau tumbuh 3,7% (yoy). Secara bruto, penerimaan PPN dalam negeri sesungguhnya tumbuh 6,6% (yoy).

Sebagai respon atas situasi ini, pihak DJP sendiri mengatakan akan melakukan post audit atas restitusi dipercepat yang tumbuhnya memang signifikan. Hal ini dilakukan dalam rangka mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan restitusi.

“Sekarang kita lakukan mitigasinya, kita pastikan yang dapat adalah yang berhak, yang sekarang terjadi kan kita meneliti saja tanpa pemeriksaan setelah pemberian restitusi dipercepat,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama, Senin (2/3/2020).

Menurut Yoga, Compliance Risk Management (CRM) akan memperkuat manajemen risiko DJP dan nantinya akan ada post audit atas WP yang terindikasi memiliki ketidakpatuhan tinggi.

Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo menilai setumpuk masalah terkait restitusi perlu didalami dan tidak dapat digeneralisasi.

“Adanya abuse tak lantas menjadi alasan kebijakan percepatan restitusi jadi buruk. Musti dicek proporsi dan probabilitasnya,” kata Yustinus, Selasa (3/3/2020).

Menurut Prastowo, ini perlu diuji lebih lanjut apa yang menjadi penyebab dari timbulnya indikasi abuse atas restitusi yang merugikan DJP serta pencairan restitusi yang terhambat yang merugikan WP.

Terkait pencairan restitusi yang terhambat, Yustinus mengatakan terdapat indikasi bahwa terhambatnya pencairan terjadi karena performa penerimaan pajak yang seret. Namun, hal ini terjadi spesifik atas KPP tertentu, tidak terjadi secara nasional. “Ini timbul karena kebijakan setempat, bukan nasional,” kata Yustinus.

Sumber: bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only