Jangan Setengah Hati Menjaga Stamina Ekonomi

Insentif fiskal dan non-fiskal hadapi efek Covid-19 sulit belum efektif angkat ekonomi

JAKARTA, Pemerintah siap memberikan stimulus fiskal dan non-fiskal menangkal efek lanjut dari sebaran wabah korona atau Covid-19.

Stimulus itu berupa, pertama, pelonggaran pembayaran pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yakni ditanggung pemerintah (DTP) untuk sektor usaha tertentu. Kebijakan ini diharapkan bisa memberi tambahan penghasilan bagi pekerja.

Kebijakan ini akan berlaku selama 6 bulan sajak aturan terbit yakni April 2020. PPh Pasal 21 DTP selama ini diatur lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 43/PMK.03/2009. Fasilitas ini diberikan ke pekerja di pertanian, perkebunan dan peternakan, perburuan dan kehutanan, perikanan dan industri pengolahan dengan jumlah penghasilan bruto di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Aturan ini akan direvisi, “Fokusnya untuk manufaktur,” tandas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto, Rabu (11/3). Ada 10 industri olahan yang akan mendapatkannya.

Kedua, insentif PPh Pasal 22 Impor. Ketiga, insentif PPh Pasal 25. Dua insentif ini juga bakal berlaku selama enam bulan sejak diterbitkan.

Keempat, insentif restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dipercepat. Pemerintah menaikkan batas maksimal restitusi PPN dipercepat dari Rp 1 Miliar jadi Rp 5 miliar.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, tujuan insentif ini agar industri mandapat ruang di saat kesulitan. “Pemerintah ingin meringankan beban,” tegas, kemarin.

Alhasil, kebijakan insentif memberikan likuiditas perusahaan yang terpapar korona, switching cost untuk pemindahan negara asal impor atau tujuan ekspor serta membantu likuiditas pekerja. Makanya, pemerintah juga akan memberikan insentif non-fiskal berupa kemudahan impor. Misalnya, menghapus larangan terbatas bagi sektor tertentu dan integrasi sistem online Inaport di pelabuhan dan Bea Cukai.

Hingga kini, pemerintah masih menghitung total anggaran yang dibutuhkan untuk stimulus ini. Kelak, Presiden Joko Widodo akan mengumumkan kebijakan ini.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, insentif fiskal pemerintah kurang nendang. Aturan PPh Pasal 21 DTP tak signifikan menambah penghasilan buruh. Terlebih, insentif ini hanya berlaku bagi pekerja sektor manufaktur. “Pemerintah harusnya membebaskan PPh Pasal 21 seluruh sektor, selama dua bulan,” kata dia.

Pemerintah bisa mengevaluasi efektivitas kebijakan itu bagi peningkatan konsumsi. “Jangan sampai insentif sudah keluar, tapi tak berdampak,” ujarnya.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roelani mengusulkan, pemerintah memberi insentif berupa penundaan pembayaran utang. Dalam kondisi saat ini industri harus menjaga arus kas.

Pembayaran utang pokok bisa ditangguhkan enam bulan hingga 12 bulan. “Kami usul ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar dibayar bunganya dulu,” terang Rosan.

Sementara Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara menyarankan, selain PPh pasal 21, pemeritah bisa memangkas tarif PPN dari 10% menjadi 6%-7%. Ini akan mendukung pelonggaran kebijakan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI).

Pemangkasan PPN bisa mendorong daya beli. Tentu, dibanding tarif PPN akan memangkas penerimaan negara lebih besar. Sebab selama ini, PPN masih menjadi tulang punggung penerimaan sektor perpajakan.

Hanya, kondisi saat ini darurat. Bukan mustahil, efek Covid 19 bahkan bisa lebih besar dari wabah virus SARS maupun krisis 2008-2009.Sebab, saat ini negeri ini sudah terpapar virus korona.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only