Insentif fiskal tak efektif, eks Menkeu Chatib usul dialihkan untuk progam kesehatan

JAKARTA. Efek lanjut virus corona sudah menjalar kemana-mana. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menebar strategi untuk menangkal efek lanjut dari penyebaran virus corona yang punya nama Covid 19 ini.

Stimulus itu, pertama, dengan memberikan kenaikan insentif kepada mayarakat lewat Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), hingga Kartu Prakerja. Tujuannya untuk mendorong daya beli masyarakat, utamanya golongan bawah.

Kedua, pemberian fasilitas fiskal kepada industri manufaktur. Yakni penundaan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) bagi industri manufaktur, khususnya pasal dalam pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 yaitu kepada wajib pajak importir. Ada 19 industri manufaktur yang mendapatkannya.

Ketiga, pemerintah memberikan relaksasi pajak karyawan dalam bentuk PPh 21 yang Ditanggung Pemerintah (DTP) terhitung mulai bulan April hingga enam bulan ke depan, yaitu bulan September.

Relaksasi pajak karyawan ini diberikan untuk seluruh perusahaan di sektor industri manufaktur, baik yang berada di kawasan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) maupun di kawasan non-KITE.

Keempat, relaksasi pajak penghasilan (PPh) pasal 25 bagi wajib pajak korporasi. Relaksasi ini sebagai bagian dari paket kebijakan stimulus jilid dua yang dikeluarkan pemerintah untuk meredam dampak wabah virus corona (Covid-19). Relaksasi diberikan dengan skema pengurangan PPh 25 sebesar 30% selama enam bulan dimulai pada bulan April hingga September 2020.

Pada saat bersamaan, Presiden Joko Widodo juga meminta masyarakat mulai menerapkan pembatasan interaksi sosial alias social distancing dengan bekerja, belajar, dan beribadah di rumah serta menghindari keramaian.

Kebijakan-kebijakan ini tak urung memantik aneka reaksi. Salah satunya dari mantan Menteri Keuangan era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. “Dua kebijakan (fiskal dan social distancing) justru bertolak belakang. Ini tidak ampuh untuk meredam dampak ekonomi akibat virus corona,” ujar Chatib, dalam Twitter resminya, Selasa (17/3).

Masih merujuk cuitnya panjang Chatib di Twitter-nya, menurut dia, saat sosial distancing dijalani, masyarakat akan mengurangi aktivitas, termasuk pergi berbelanja, menghindari keramaian, kontak people to people, maka pola kebijakan yang tujuannya mendorong permintaan melalui belanja tidak akan efektif. “Walau memiliki uang, orang akan mengurangi aktivitas belanjanya,” ucap Chatib.

Masyarakat memang bisa mengalihkan belanja secara online, meski tren naik namun budaya belanja online di Indonesia terbilang masih rendah. Persoalan lainnya adalah masalah ketersediaan barang dari industri. Di tengah seruan bekerja dari rumah serta menurunkannya aktivitas belanja masyarakat, produktivitas industri juga menjadi tantangan.

Oleh karena itu, mantan menteri keuangan ini menyarakankan agar bentuk fiskal stimulus diubah sesuai kondisi agar lebih efektif.

Ada lima saran yang dicuit Chatib atas perubahan stimulus untuk menangkal efek lanjut corona. Yakni pertama, pemerintah perlu mengamankan rantai pasok produk di perkotaan lebih dulu ketimbang pedesaan karena wilayah perkotaan sangat mungkin akan mengalami efek lebih besar ketimbang desa.

Kepadatan penduduk dan intensitas interaksi. Industri juga ada diperkotaan dan juga kebutuhan pasokan makanan lebih tinggi di kota. “Karena itu kota mungkin menjadi prioritas,” ujar Chatib.

Kedua, karena aktivitas ekonomi terganggu akibat berkurangnya interaksi, pemerintah lebih baik mengalokasikan fiskalnya untuk program kesehatan: misalnya memastikan bila penderita corona/ COVID-19 menjadi masif, cukup rumah sakit.

Selain itu, cukup dokter, cukup obat, cukup asuransi bagi penderita. Sehingga negara bisa menanggung. Setelah kondisi bisa diatasi, dan aktifitas menjadi normal, dimana interaksi terjadi, baru melakukan demand management lagi melalui fiskal.

Ketiga, untuk memastikan bahwa kelompok menengah bawah memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mungkin karena terganggunya aktifitas ekonomi, program seperti PKH, BNPT, BLT, Pra Kerja menjadi penting

Empat, mengingat besarnya kebutuhan dana ini, maka pemerintah perlu melakukan relokasi untuk belaja yang kurang penting, atau bukan prioritas, selain tentunya menaikan defisit anggaran lebih tinggi.

Kelima, memberikan jaminan rantai pasok bahan pangan agar tidak menyusut dan menimbulkan kepanikan di masyarakat. Tujuannya, untuk menghindari kenaikan harga dan inflasi di tengah penyebaran virus. “Setelah situasi kembali normal, barulah standard counter cyclical fiscal monetary untuk mendorong aggregate demand bisa dijalankan dan efektif,” ujar dia lagi.

Sumber : Kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only