Ini Sejarah dan Perkembangan PPN di Indonesia

SAAT ini, PPN merupakan bentuk pemajakan atas konsumsi yang diberlakukan di Indonesia. Sebelum diterapkannya PPN, bentuk pemajakan atas konsumsi di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan.

Secara kronologis, sejarah dan perkembangan pemungutan PPN di Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Periode Pajak Pembangunan I (PPb I);
  2. Periode Pajak Peredaran 1950 (PPe 1950);
  3. Periode Pajak Penjualan 1951 (PPn 1951);
  4. Periode Pajak Pertambahan Nilai.

Tulisan ini akan di buat secara berseri mengikuti periodenisasi sejarah dan perkembangan PPN di Indonesia sebagaimana dikelompokkan menjadi 4 bagian seperti di atas. Untuk kali ini dipaparkan periode pertama.

Periode Pajak Pembangunan I (PPb I)

MENURUT Slamet Soelarno, perkembangan pemungutan pajak atas konsumsi di Indonesia dapat dikatakan dimulai dengan berlakunya Pajak Pembangunan I (PPb I). PPb I merupakan salah satu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pemungutan Pajak Pembangunan di Rumah Makan dan Rumah Penginapan (UU PPb I Tahun 1947).

Pajak ini mulai dipungut secara resmi pada 1 Juni 1947 atas semua pembayaran di rumah makan dan rumah penginapan sebesar 10% dari jumlah pembayaran. Pembayaran di sini dimaksudkan sebagai pembayaran atas pembelian makanan dan minuman atau sewa kamar, termasuk pula semua tambahan seperti pegawai, listrik, air, dan lain-lain.

Rumah makan yang biasanya dikunjungi oleh orang-orang yang tergolong penduduk yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran PPb I ini.

PPb I menganut self assesment system. Sistem self assesment itu sendiri menganjurkan wajib pajak agar dapat menghitung pajak, memungut, menyetor, melunasi, dan melaporkan pajaknya sendiri berdasarkan kesadaran dari wajib pajak. Sistem self assesment ini diwujudkan dalam bentuk contante storting system (sistem setor tunai).

Dengan berkembangnya keadaan Indonesia pascakemerdekaan, UU PPb I juga mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan masa itu. Perkembangan ini dibuktikan dengan adanya perubahan dan penambahan atas UU PPb I Tahun 1947 melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1948 tentang Mengadakan Perubahan dan Tambahan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1947 dari Hal Pajak Pembangunan I (UU PPb I Tahun 1948).

Dalam bagian “Menimbang” disebutkan bahwa diubahnya UU PPb I Tahun 1947 dikarenakan adanya kesulitan-kesulitan yang timbul dalam menjalankan UU PPb I Tahun 1947 dan ditambah dengan belum adanya pasal-pasal mengenai penagihan pajak dengan paksa.

Kemudian, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Negara dengan Daerah-Daerah, yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, PPb I yang semula merupakan pajak negara dinyatakan sebagai pajak daerah.

Berubahnya PPb I dari pajak negara menjadi pajak daerah merupakan implementasi dari pelaksanaan otonomi seluas-luasnya di daerah-daerah untuk mengurus keuangannya sendiri.

Selanjutnya, UU PPb I dipungut sendiri oleh daerah apabila daerah telah siap untuk memungutnya. Oleh karena setiap daerah mempunyai peraturan daerahnya sendiri maka dalam pelaksanaan pemungutan PPb I sebagai pajak daerah dapat berbeda-beda.

Misalnya, di Jakarta, PPb I dipungut dengan tarif 5% dan sasaran yang pada mulanya hanyalah rumah makan berkembang ke rumah penginapan dan jasa katering. Demikian pula wajib pajaknya ditentukan berdasarkan kriteria tertentu.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa PPb I merupakan jenis pajak atas konsumsi barang dan jasa yang bersifat terbatas karena hanya dikenakan atas penyerahan barang-barang makanan dan minuman di rumah makan, cafetaria, kedai kopi (coffee shop) atau terbatas pada jasa yang diberikan pada rumah penginapan, seperti sewa kamar pada hotel, losmen, dan rumah penginapan lainnya, tidak termasuk rumah pemondokan.

Jadi, tidak semua konsumsi barang dan jasa menjadi objek PPb I. Namun, meskipun bersifat terbatas, PPb I tetap dapat dianggap sebagai awal perkembangan pajak atas konsumsi di Indonesia, yang merupakan pendahulu dari PPN.

Periode Pajak Pembangunan I (PPb I)

MENURUT Slamet Soelarno, perkembangan pemungutan pajak atas konsumsi di Indonesia dapat dikatakan dimulai dengan berlakunya Pajak Pembangunan I (PPb I). PPb I merupakan salah satu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pemungutan Pajak Pembangunan di Rumah Makan dan Rumah Penginapan (UU PPb I Tahun 1947).

Pajak ini mulai dipungut secara resmi pada 1 Juni 1947 atas semua pembayaran di rumah makan dan rumah penginapan sebesar 10% dari jumlah pembayaran. Pembayaran di sini dimaksudkan sebagai pembayaran atas pembelian makanan dan minuman atau sewa kamar, termasuk pula semua tambahan seperti pegawai, listrik, air, dan lain-lain.

Rumah makan yang biasanya dikunjungi oleh orang-orang yang tergolong penduduk yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran PPb I ini.

PPb I menganut self assesment system. Sistem self assesment itu sendiri menganjurkan wajib pajak agar dapat menghitung pajak, memungut, menyetor, melunasi, dan melaporkan pajaknya sendiri berdasarkan kesadaran dari wajib pajak. Sistem self assesment ini diwujudkan dalam bentuk contante storting system (sistem setor tunai).

Dengan berkembangnya keadaan Indonesia pascakemerdekaan, UU PPb I juga mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan masa itu. Perkembangan ini dibuktikan dengan adanya perubahan dan penambahan atas UU PPb I Tahun 1947 melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1948 tentang Mengadakan Perubahan dan Tambahan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1947 dari Hal Pajak Pembangunan I (UU PPb I Tahun 1948).

Dalam bagian “Menimbang” disebutkan bahwa diubahnya UU PPb I Tahun 1947 dikarenakan adanya kesulitan-kesulitan yang timbul dalam menjalankan UU PPb I Tahun 1947 dan ditambah dengan belum adanya pasal-pasal mengenai penagihan pajak dengan paksa.

Kemudian, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Negara dengan Daerah-Daerah, yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, PPb I yang semula merupakan pajak negara dinyatakan sebagai pajak daerah.

Berubahnya PPb I dari pajak negara menjadi pajak daerah merupakan implementasi dari pelaksanaan otonomi seluas-luasnya di daerah-daerah untuk mengurus keuangannya sendiri.

Selanjutnya, UU PPb I dipungut sendiri oleh daerah apabila daerah telah siap untuk memungutnya. Oleh karena setiap daerah mempunyai peraturan daerahnya sendiri maka dalam pelaksanaan pemungutan PPb I sebagai pajak daerah dapat berbeda-beda.

Misalnya, di Jakarta, PPb I dipungut dengan tarif 5% dan sasaran yang pada mulanya hanyalah rumah makan berkembang ke rumah penginapan dan jasa katering. Demikian pula wajib pajaknya ditentukan berdasarkan kriteria tertentu.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa PPb I merupakan jenis pajak atas konsumsi barang dan jasa yang bersifat terbatas karena hanya dikenakan atas penyerahan barang-barang makanan dan minuman di rumah makan, cafetaria, kedai kopi (coffee shop) atau terbatas pada jasa yang diberikan pada rumah penginapan, seperti sewa kamar pada hotel, losmen, dan rumah penginapan lainnya, tidak termasuk rumah pemondokan.

Jadi, tidak semua konsumsi barang dan jasa menjadi objek PPb I. Namun, meskipun bersifat terbatas, PPb I tetap dapat dianggap sebagai awal perkembangan pajak atas konsumsi di Indonesia, yang merupakan pendahulu dari PPN.

Di Indonesia, PPe merupakan awal pungutan pajak atas pemakaian barang umum dan merupakan pelengkap dari PPb I yang pernah berlaku sebelumnya. Dasar hukum pemungutan PPe di Indonesia adalah Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pajak Peredaran (UU PPe) yang ditetapkan pada 13 Februari 1950 dan diumumkan pada 18 Maret 1950. Oleh karena itu, pajak ini dikenal dengan sebutan PPe 1950.

PPe merupakan pajak pemakaian yang meliputi hampir semua barang-barang yang dipakai atau terpakai habis di Indonesia. Oleh karena itu, yang dikenakan pajak adalah penyerahan barang-barang yang ada di peredaran bebas. Besarnya tarif PPe yang dikenakan adalah sebesar 2% atas setiap penyerahan barang. Sementara itu, yang dijadikan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah harga barang (Rochmat Soemitro, 1990).

Selain dikenakan atas barang, PPe juga dikenakan atas jasa, yaitu semua perbuatan selain penyerahan barang bergerak dan barang tetap, yang dilakukan dengan penggantian. Penggantian di sini dimaksudkan sebagai nilai berupa uang yang harus dilunasi kepada orang yang melakukan pemberian jasa.

PPe mengenal dua macam cara mengenakan pajak. Cara yang pertama adalah pemungutan sekaligus sehingga PPe hanya dikenakan sekali saja atas hasil akhir. Pemungutan ini dapat dilakukan pada awal lajur produksi, yaitu pada waktu penyerahan oleh produsen atau pabrikan maupun pada salah satu mata rantai berikutnya.

Sementara itu, cara kedua adalah dipungut pajak tiap kali terdapat pemindahan barang-barang bersangkutan ke tingkat berikutnya. Sistem pemungutan ini dikenal dengan sistem pemungutan bertingkat atau berkali-kali pada seluruh tingkat peredaran barang di lajur produksi dan distribusi. Pada setiap penyerahan barang tersebut, tidak dilakukan penyesuaian atau pengurangan apapun.

Oleh karena dikenakan secara berkali-kali tersebut dan dengan tidak adanya pengurangan apa pun pada setiap lajur, menyebabkan penambahan pada kalkulasi harga pokok barang. Hal ini menjadikan beban pajak berlipat ganda, melebihi tarif yang sebenarnya berlaku untuk peredaran barang-barang tersebut. Beban inilah yang pada akhirnya harus dipikul oleh konsumen.

Atas dasar alasan tersebut, para usahawan dan parlemen pada waktu itu menyatakan keberatan atas penerapan PPe yang dianggap menimbulkan distorsi atau penyimpangan ekonomi yang serius serta tidak menunjang keadilan. Oleh karena itu, pada 1 Oktober 1951, UU PPe ditarik dan dinyatakan berakhir setelah undang-undang ini berjalan selama sembilan bulan.

SETELAH Periode Pajak Pembangunan I (PPb I) dan Periode Pajak Peredaran 1950 (PPe 1950), kelas pajak kali ini akan memberikan penjabaran mengenai Periode Pajak Penjualan 1951 (PPn 1951). Periode PPn 1951 merupakan urutan ketiga dari empat periode sejarah dan perkembangan pemungutan PPN di Indonesia.

Penerapan PPb I dan PPe 1950 dapat dikatakan masih menggunakan sistem pajak bekas kolonial Belanda. Penerapan ini tidak mustahil karena Belanda merupakan negara yang pernah menjajah Indonesia sehingga jalan pikiran para pembuat konsep dan kebijakan masih banyak dipengaruhi konsep dan kebijakan negara Belanda.

Oleh karenanya, untuk menghilangkan sisa kolonial di Indonesia dikeluarkanlah Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan (UU PPn) sebagai dasar hukum pemungutan pajak penjualan yang dikenal dengan Pajak Penjualan 1951 (PPn).

UU PPn mulai berlaku pada 1 Oktober 1951. PPn tidak lain merupakan pengganti PPe yang telah berlaku sebelumnya. PPn dipungut atas harga penjualan barang-barang yang bukan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari.

Adapun contoh dari barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari yang tidak dikenai PPn antara lain beras, jagung, garam, minyak kelapa, gula, minyak tanah, kacang, kedelai, ikan asin, sayuran, dan sebagainya (Suwito Ardiyanto, 1981).

Di samping PPn atas penyerahan barang, PPn juga dipungut atas penyerahan jasa. Akan tetapi, tidak semua jasa yang diserahkan dikenai PPn. Terdapat 18 jenis jasa yang ditetapkan oleh UU PPn sebagai jasa kena pajak, seperti jasa notaris, jasa akuntan, jasa advokat, makelar, komisioner, dan sebagainya.

Wajib pajak pada PPn adalah pengusaha (produsen) atau importir barang-barang yang bukan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari. Produsen atau importir atas barang-barang ini yang bertanggung jawab atas pengenaan PPn (Rochmat Soemitro, 1990).

PPn merupakan pajak dengan sistem pemungutan satu kali pada tingkat pabrikan, yaitu pada saat penyerahan barang. Namun, terdapat suatu ketentuan dalam Pasal 31 UU PPn yang mengatur bahwa apabila barang tersebut diolah kembali oleh pabrikan selanjutnya, PPn atas penyerahan barang yang telah diolah kembali tersebut dapat dikurangkan dengan PPn yang telah disetor sebelumnya.

Pasal tersebut juga mengatur pengurangan terhadap pajak masukan yang dipungut dari harga barang yang dimasukkan dan dipakai di daerah pabean Indonesia. Dengan demikian, UU PPn tersebut mengatur pemungutan PPn dan Pajak Masuk, di samping juga memungut Pajak Kemewahan.

UU PPn ini telah banyak mengalami perubahan perluasan terkait dengan subjek pajak, objek pajak, serta tarifnya. Mulanya, yang menjadi subjek pajak hanyalah pabrikan. Namun, setelah 1 Januari 1960 diperluas termasuk juga pengusaha jasa.

Demikian juga dengan tarif pajaknya juga mengalami perubahan. Awalnya menggunakan tarif umum 10% berubah menjadi 20%. Selain itu, tarif khusus terhadap barang-barang mewah yang awalnya 20% berubah menjadi 50% (Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tahun 1995 Nomor 20 dan 24, Moch. Soebakir, dan Edi Slamet Irianto).

Lebih lanjut, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486 Tahun 1974, tarif PPn kembali mengalami perubahan dengan dibaginya tarif PPn menjadi 3 golongan sebagai berikut (Suwito Ardiyanto, 1981):

  1. 0%, yaitu bagi barang-barang yang dibebaskan dari PPn, misalnya barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari dan koran.
  2. 5%, misalnya untuk barang-barang berupa karton, kertas bungkus, kertas tulis, kertas cetak, karbon, dan lain-lain.
  3. 10%, yang berlaku untuk barang-barang yang tidak termasuk a dan b.

Perlu diketahui, sistem PPn juga memberikan hak kepada produsen dan importir untuk meminta kembali pajak yang telah mereka bayar dari pembeli atau konsumen. Caranya adalah dengan menaikkan harga semua barang hasil usaha produsen atau yang diimpor sebesar 3% dari harga sebenarnya. Jadi, pada hakikatnya dalam sistem PPn, pembeli atau konsumen yang menanggung beban PPn.

Pada perkembangan selanjutnya, Pasal 31 UU PPn yang memperkenankan penghitungan dan pemberian pengembalian dari pajak yang telah dibayar, dihapuskan. Penghapusan ini dikarenakan ketentuan dalam Pasal 31 UU PPn sering disalahgunakan oleh wajib pajak untuk menghindari pajak yang harus dibayar.

Akan tetapi, ternyata, dihapusnya Pasal 31 UU PPn dianggap menyebabkan terjadinya pungutan pajak atas pajak karena PPn yang sebelumnya dikenakan ketika barang diproduksi, dimasukkan sebagai salah satu komponen harga jual barang. Akibatnya, ketika barang selesai diproduksi dan diserahkan kepada pihak selanjutnya, PPn akan dikenakan sekali lagi atas harga barang yang didalamnya sudah termasuk PPn (Rochmat Soemitro, 1990).

Kelemahan lain dari sistem PPn adalah sulit melakukan pengawasan dalam penerapannya sehingga relatif mudah untuk melakukan penyelewangan, seperti penjual tidak menyetor pajaknya dengan benar. PPn tidak mempunyai sarana yang dapat digunakan untuk meneliti kebenaran laporan dan pembukuan wajib pajak (Tim Surabaya Post, 1986).

SETELAH Periode Pajak Pembangunan I (PPb I), Periode Pajak Peredaran 1950 (PPe 1950), dan Periode Pajak Penjualan 1951 (PPn 1951)kelas pajak kali ini akan memberikan penjabaran mengenai Periode Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Periode ini merupakan bagian terakhir dari empat periode sejarah dan perkembangan pemungutan PPN di Indonesia.

Kebutuhan akan sistem pajak yang lebih modern sudah dirasakan sejak perekonomian Indonesia berkembang. Terlebih, adanya tekanan untuk meningkatkan penerimaan negara dalam rangka menunjang perekonomian di masa yang akan datang, membuat Pemerintah bertekad untuk mengadakan reformasi perpajakan (Tim Surabaya Post, 1986).

Pada akhir 1983, Pemerintah Indonesia mencanangkan reformasi perpajakan yang kedua setelah reformasi perpajakan1970 sebagai langkah mengoptimalkan penerimaan pendapatan dari sektor pajak. Pada reformasi perpajakan1983 ini, di samping diperkenalkannya prinsip self assessment dalam menghitung Pajak Penghasilan (PPh), juga terjadi perubahan terhadap PPn (Fuad Bawazier, 2011).

Perubahan terhadap PPn ini merupakan perubahan yang menyeluruh dan mendasar atas UU PPn. Alasannya, UU PPn dianggap tidak lagi memungkinkan untuk dapat memenuhi kebutuhan atau menampung aktivitas ekonomi masyarakat yang terus berkembang.

Sebetulnya, sebagai upaya menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, UU PPn telah mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan. Akan tetapi, hanya secara tambal sulam.

Selain itu, adanya tren penerapan pajak konsumsi dengan sistem PPN oleh negara-negara industri maupun negara berkembang selama dua puluh tahun terakhir, juga menjadi pemicu perubahan penerapan PPn menjadi PPN di Indonesia.

Untuk mencapai sasaran kebutuhan pembangunan yang dikehendaki, seperti meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, serta pemerataan beban pajak, sistem PPn dianggap perlu diganti.

Akan tetapi, penggantian sistem yang baru ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menghilangkan sisi negatif dari sistem PPn yang selama ini berlaku, yaitu menghilangkan efek pajak atas pajak (cascading effect) dari penerapan PPn.

Atas dasar alasan-alasan tersebut di atas, UU PPn dianggap tidak dapat digunakan lagi untuk memenuhi kebutuhan dan diganti dengan sistem PPN yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah (UU PPN Nomor 8 Tahun 1983).

Alasan UU PPn tidak lagi sesuai dengan perkembangan perekonomian dan adanya tuntutan penerimaan negara yang semakin tinggi dinyatakan dalam Bagian Umum dari Penjelasan UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 sebagai berikut:

“Sistem Perpajakan yang berlaku dewasa ini, khususnya Pajak Penjualan 1951, tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan Negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak.”(dengan penambahan penekanan)

Dalam pelaksanaannya, UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1983 yang pada awalnya akan diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1984. Namun, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1984 (Perppu), pemerintah memutuskan untuk menangguhkan pelaksanaan UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 menjadi selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 1986.

Penangguhan masa berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983, menurut penjelasan Perppu ini, disebabkan karena belum siapnya berbagai pihak yang bersangkutan untuk melaksanakan undang-undang tersebut mulai 1 Juli 1984. Penundaan ini dilakukan karena ketidaksiapan tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan gangguan yang dapat merugikan negara dan masyarakat.

Meskipun demikian, pelaksanaan UU PPN yang ditangguhkan selambat-lambatnya pada 1 Januari 1986, telah mulai diberlakukan pada 1 April 1985. Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1985 sebagai pengganti dari Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1983 (Soerjono Sastrohadikoesoemo, 2004).

Pada awal penerapannya, UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 hanya mengatur secara langsung penjualan pertama dari Barang Kena Pajak (BKP). Transaksi lanjutan, dari distributor ke sub-distributor dan lanjutannya ke konsumen, pengenaan PPN-nya diatur oleh Peraturan Pemerintah.

Demikian pula jenis jasa yang dikenai PPN, pengaturannya juga dikembalikan ke Peraturan Pemerintah (Soerjono Sastrohadikoesoemo, 2004).

Dalam kurun waktu 35 (tiga puluh lima) tahun sejak disahkan pada tanggal 31 Desember 1983, UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 telah mengalami tiga kali perubahan:

  1. perubahan pertama dilakukan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 (UU PPN Nomor 11 Tahun 1994), mulai berlaku pada 1 Januari 1995;
  2. perubahan kedua dilakukan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (UU PPN Nomor 18 Tahun 2000), mulai berlaku pada 1 Januari 2001; dan
  3. perubahan yang ketiga dilakukan dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN Nomor 42 Tahun 2009), mulai berlaku pada 1 April 2010.

Dalam konsiderans “Menimbang” UU Nomor 42 Tahun 2009 mencantumkan dasar pertimbangan perubahan ketiga UU PPN sebagai berikut:

  1. lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan;
  2. menciptakan sistem perpajakan yang sederhana;
  3. mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri.

Sementara itu, dalam memori penjelasan bagian UMUM dari UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 dapat dilihat latar belakang dilakukannya perubahan UU PPN, yaitu sebagai berikut:

“PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan PPN sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis terus menciptakan jenis serta transaksi bisnis baru. Sebagai contoh, di bidang jasa, banyak timbul transaksi jasa baru atau modifikasi dari transaksi sebelumnya yang pengenaan Pajak Pertambahan Nilainya belum diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.”

Dari kutipan Penjelasan Bagian UMUM dari UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 di atas dapat disimpulkan bahwa latar belakang dilakukannya perubahan terhadap UU PPN adalah karena terjadinya perkembangan transaksi bisnis dan ekonomi yang sangat dinamis sehingga dibutuhkan UU PPN yang mampu mencakup berbagai perkembangan tersebut.

Selain itu, dari penjelasan bagian UMUM dari UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 juga dinyatakan secara tegas dan lugas bahwa PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam daerah pabean.

Sumber: DDTC.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only