Sengketa PPN atas Penyerahan yang Dianggap Belum Dilaporkan

MEMO ini merangkum sengketa pajak pertambahan nilai (PPN) atas penyerahan dalam negeri yang dianggap belum dilaporkan. Sengketa tersebut bermula dari ekualisasi antara harga pokok penjualan (HPP) dengan pajak masukan pada tahun pajak 2010.

Dari hasil ekualisasi, otoritas pajak menemukan adanya pembelian yang belum dilaporkan wajib pajak. Atas pembelian yang belum dilaporkan, otoritas pajak menganggap adanya penjualan yang juga belum dilaporkan oleh wajib pajak. Selanjutnya, otoritas pajak mengenakan PPN sebesar 10% sebagai penyerahan dalam negeri atas penjualan yang belum dilaporkan tersebut.

Di sisi lain, wajib pajak tidak sependapat dengan otoritas pajak. Menurut wajib pajak, atas pembelian yang dianggap belum dilaporkan tersebut, sudah dilaporkan pada tahun pajak 2009. Hal ini dikarenakan barang yang dibeli sudah diterima wajib pajak pada Desember 2009, sedangkan tagihan (invoice) dan faktur pajak baru diterbitkan pada Januari 2010.

Wajib pajak yang tidak setuju atas koreksi yang dilakukan otoritas pajak telah melakukan upaya keberatan. Keberatan yang diajukan oleh wajib pajak ditolak oleh otoritas pajak sehingga wajib pajak melakukan banding. Putusan Pengadilan Pajak kemudian menyatakan mengabulkan permohonan banding wajib pajak.

Merespons keputusan tersebut, otoritas pajak memutuskan untuk menempuh upaya hukum peninjauan kembali PK. Pada akhirnya, Mahkamah Agung menolak permohonan dari Pemohon PK. Berikut ulasan selengkapnya.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa No.00800/207/10/431/12 Masa Pajak Juni 2010 tertanggal 24 September 2012.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat wajib pajak dapat membuktikan selisih dari ekualisasi pembelian dengan DPP Pajak Masukan. Pembelian yang dilakukan pada 2009, telah dibebankan dalam harga pokok penjualan 2009. Namun, faktur pajaknya baru diterbitkan pada 2010. Oleh karena itu, pengkreditan baru bisa dilakukan oleh wajib pajak pada 2010. Pencatatan atas pembelian yang dilakukan wajib pajak sudah sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Berdasarkan Pasal 69 ayat (1) huruf e dan Pasal 78 Undang-Undang (UU) No.14/2002 tentang Pengadilan Pajak, majelis hakim meyakini dalil yang dikemukakan wajib pajak sudah benar. Artinya, koreksi yang dilakukan oleh otoritas pajak tidak dapat dipertahankan. Dengan demikian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak mengabulkan seluruhnya permohonan banding wajib pajak.

Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-60388/PP/M.XVA/16/2015 tertanggal 23 Maret 2015, Dirjen Pajak mengajukan Permohonan PK secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 14 Juli 2015. Pada proses PK ini, otoritas pajak – sebagai Pemohon PK – menghadapi wajib pajak sebagai Termohon PK.

Pokok permasalahan sengketa pajak ini adalah koreksi DPP PPN Masa Pajak Juni 2010 senilai Rp297.344.088 yang tidak dapat dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Menurut Pemohon, hasil ekualisasi antara pembelian dan pajak masukan berasal dari faktur pajak pembelian bahan baku. Pemohon PK telah melakukan pengecekan perhitungan, tapi hasilnya belum sama dengan perhitungan Termohon PK.

Saat proses pemeriksaan dan keberatan, Termohon PK hanya memberikan bukti terima barang dan faktur pajak masukan. Dokumen lain terkait pemeriksaan tidak diberikan. Pemohon PK berdalih bahwa tidak ada prosedur pemeriksaan dan peminjaman dokumen yang dilanggar. Prosedur sudah sesuai dengan ketentuan dalam PMK Nomor 82/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.

Pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang diminta saat pemeriksaan tapi tidak diberikan oleh Termohon tidak dapat dipertimbangkan dalam penyelesaian tingkat keberatan. Pengecualian diberikan jika data informasi berada di pihak ketiga dan belum didapatkan oleh Temohon PK saat pemeriksaan.

Hal tersebut sesuai ketentuan dalam Pasal 26 A ayat (4) UU No.28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No.9/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan.

Ketentuan dalam Pasal 26A ayat (4) UU No. 28/2007 merupakan pedoman yang harus dijalankan oleh Pemohon PK dalam menjalankan tugas. Adapun dokumen baru yang dimaksud tidak dapat dipertimbangkan dalam proses keberatan. Jika hakim mempertimbangkan data-data yang disampaikan saat persidangan maka hal tersebut akan menjadi preseden yang buruk kedepannya.

Di sisi lain, Termohon PK menyatakan bahwa terdapat 11 faktur pajak yang ditunjukkan dalam persidangan. Semua faktur tersebut terbit atas dasar invoice yang diterbitkan pada Januari 2010.

Pencatatan atau pembukuan Termohon PK dilakukan berdasarkan tanda terima barang dengan nilai yang dicatat dalam ledger. Nilai yang tercatat sesuai pesanan dikalikan dengan kurs BI saat tanggal dterimanya barang. Terhadap transaksi 11 faktur tersebut, barang diterima pada Desember 2009. Termohon PK sudah mencatatnya dalam ledger pembelian 2009.

Menurut Termohon PK, dokumen yang dipinjamkan saat pemeriksaan dan keberatan hanya bukti terima barang dan faktur pajak masukan. Dokumen lain yang berkaitan dengan pembelian pada 2010 dan 2009 telah diminta oleh Pemohon PK.

BERDASARKAN fakta-fakta yang telah disampaikan di persidangan oleh kedua belah pihak, majelis hakim menilai argumen permohonan wajib pajak tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya sudah tepat dan benar.

Berdasarkan uji kebenaran materi para pihak di pengadilan, Termohon PK sudah menyerahkan bukti pendukung yang memadai dan benar. Alasan Pemohon PK dalam perkara a quo yang menyatakan koreksi DPP PPN Masa Pajak Juni 2010 senilai Rp297.344.088 tidak dapat dibenarkan.

Setelah meneliti dan menguji kembali pendapat dari kedua belah pihak, hakim tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti yang terungkap dalam perkara. Tidak terdapat putusan pengadilan pajak yang bertentangan dengan peraturan perpajakan.

Dengan ditolaknya permohonan PK maka Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum membayar biaya perkara dalam sengketa PK ini.

Sumber : DDTC News

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only