Hari Film Nasional : Lika-Liku Bioskop di Tanah Air

JAKARTA- Pertumbuhan industri film memberikan pengaruh besar terhadap industri bioskop di Tanah Air. Bioskop masih menjadi saluran utama distribusi film walaupun memang tak lagi menjadi satu-satunya seperti dahulu.

Jumlah layar bioskop di seluruh Indonesia terus tumbuh dari tahun ke tahun. Terlebih setelah pemerintah menghapus industri perfilman, tak terkecuali usaha bioskop dari daftar negatif investasi (DNI).

Menurut Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GBPSI) Djonny Syafruddin jumlah layar bioskop di seluruh Indonesia saat ini mencapai 1.918 layar. Adapun, pada 2018 jumlahnya baru mencapai 1.756 layar.

Namun, bertambahnya jumlah layar bioskop tersebut bukan tanpa persoalan. Djonny tak menampik bahwa Indonesia masih sangat membutuhkan penambahan layar bioskop, akan tetapi penambahan tersebut seharusnya diatur dengan baik agar tidak terkonsentrasi di daerah tertentu saja.

“Seharusnya diatur oleh pemerintah agar kehadiran bioskop-bioskop baru di daerah tidak malah membunuh bioskop yang sudah ada sebelumnya. Harus dilihat bagaimana masyarakat disana, pasarnya seberapa besar. Jangan sampai oversupply,” katanya kepada Bisnis.com belum lama ini.

Di sisi lain, menurut Djonny penghapusan usaha bioskop dari DNI yang diikuti oleh masifnya penetrasi asing tak dapat dipungkiri sukses membuat PT Nusantara Sejahtera Raya (Cinema XXI/21) selaku pemain terbesar di industri bioskop nasional tergerak untuk berekspansi ke kota/kabupaten lapis dua yang belum terjamah bioskop.

“Mereka (asing) membuka bioskop-bioskop baru ke kota-kota kecil, termasuk di luar Jawa. Akhirnya hal tersebut membuat Cinema 21/XXI tergerak untuk membuka bioskop di kota-kota kecil di luar Jawa yang belum ada bioskop,” ungkapnya.

Selain itu, menurut Djonny permasalahan terbesar yang dihadapi oleh pengusaha bioskop di Indonesia saat ini adalah tidak meratanya tarif pajak yang dikenakan.

Dia menyebut tidak adanya penyamarataan tarif pajak membuat pemerintah daerah tingkat kabuupaten/kota bisa seenaknya menentukan besaran pajak yang dikenakan.

Tak jarang pajak yang dikenakan oleh pemda terhadap bioskop terlampau tinggi lantaran disamakan dengan panti pijat, spa, karaoke, dan tempat hiburan malam. Padahal, bioskop menurut Djonny adalah salah satu sarana edukasi masyarakat.

Oleh karena itu, dia mendesak agar pemerintah bisa menyamaratakan pajak bioskop di Tanah Air maksimal 10% agar industri perfilman bisa berkembang dan memberikan kontribusi lebih besar.

Head of Corporate Communication & Brand Management Cinema XXI/21 Dewinta Hutagaol mengatakan pihaknya mendukung penuh langkah GPBSI yang meminta penyamarataan tarif pajak bioskop di seluruh Indonesia.

Senada, Public Relations Manager PT Graha Layar Prima. Tbk (CGV Indonesia) Hariman Chalid menyebut pihaknya sepakat dengan GPBSI yang mengajukan penyamarataan tarif pajak bioskop.

Namun, belum meratanya tarif pajak bioskop di Indonesia bukan menjadi hambatan utama pihaknya melakukan ekspansi CGV Indonesia. Terdapat sejumlah hambatan yang kemudian diketahui setelah pihaknya melakukan studi kelayakan, salah satunya adalah ada atau tidaknya pasar yang dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi daerah setempat.

Hasil dari studi kelayakan itu juga yang nantinya digunakan untuk memutuskan jenis layanan apakah yang bisa dihadirkan oleh CGV Indonesia. Saat ini CGV Indonesia memiliki 68 bioskop dengan 396 layar dengan beberapa jenis layanan.

“[Pendapatan tiket] tidak bisa jadi patokan karena tidak semua bioskop punya layanan Special Auditorium ini. Selain tiket, ada pendapatan dari penjualan makanan dan minuman serta iklan atau event yang berkontribusi masing-masing 25% dan 10%,” ungkapnya kepada Bisnis.com baru-baru ini.

Adapun, terkait dengan kehadiran layanan over-the-top (OTT), Hariman meyakini bahwa bioskop masih belum bisa tersaingi lantaran layanan tersebut tidak bisa memberikan pengalaman menonton yang berbeda dengan dukungan perangkat audio dan visual termutakhir. Demikian halnya dengan Djonny yang menyebut layanan OTT bukan cara yang tepat untuk menikmati film.

Alur Distribusi dan Penayangan

Kemudian terkait dengan alur distribusi dan penayangan film di bioskop Djonny menjelaskan seluruh produser terlebih dahulu membawa film mereka masing-masing ke pihak Cinema XXI/21 sebelum nantinya didistribusikan ke bioskop-bioskop lainnya.

“Tapi ini bukan monopoli, murni keinginan produser dalam negeri yang tak mau repot. Jadi masuk dulu ke mereka (Cinema XXI/21),” tegasnya.

Untuk film-film dari luar negeri, Djonny mengungkapkan selama ini bioskop di Indonesia mengandalkan importir film yang jumlahnya mencapai puluhan perusahaan. Adapun, untuk jadwal penayangan dan pemilihan lokasi pemutaran film dipertimbangkan dengan menyesuaikan kebiasaan masyarakat yang ada di daerah tempat bioskop itu berdiri.

Sementara itu, Head of Programming & Content CGV Indonesia Haryani Suwirman mengatakan pihaknya terlebih dahulu melakukan penyesuaian dengan karakteristik peononton di suatu daerah sebelum menentukan film apakah yang layak untuk ditayangkan di bioskop CGV Indonesia. Penyesuaian tersebut dilakukan berdasarkan survei dan analisis terhadap film-film serupa.

Kemudian untuk penentuan lama tayang suatu film pihaknya melihat bagaimana antusiasme dari penonton serta performa dari film tersebut yang diukur dari berapa jumlah tiket yang terjual setelah hari pertama penayangan dan tingkat keterisian kursi apakah tak kurang dari 60%.

Hadirnya Bioskop Alternatif

Tumbuhnya industri perfilman di Tanah Air mendorong kehadiran bioskop-bioskop alternatif. Selain menayangkan film-film non-arus utama, tak jarang bioskop alternatif menawarkan pengalaman menonton yang berbeda dengan bioskop pada umumnya.

Salah satu diantaranya adalah Cinecenter yang terletak di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Diinisiasi oleh Orlow Seunke, seorang produser sekaligus sutradara yang pada 2012 mendirikan Indonesian Film Center (IdFilm Center), sebuah museum virtual untuk film-film Indonesia bekerjasama dengan budayawan Toeti Heraty Noerhadi Rooseno.

Publicist IdFilm Center/Cinecenter Kasifa Akbari mengatakan pihaknya menayangkan film-film dari dalam maupun luar negeri di dua ruang putar. Penonton cukup merogoh kocek Rp30.000 untuk sekali penayangan film atau menyewa satu ruang putar dengan harga Rp1 juta untuk 2,5 jam.

“Pertama, Studio Room berkapasitas 25 orang, suasananya lebih santai dengan sofa dan karpet lesehan. Kedua, Cinema Room berkapasitas 30 orang yang sama seperti bioskop [pada umumnya],” tuturnya ketika ditemui oleh Bisnis.com belum lama ini.

Lebih lanjut, Kasifa menjelaskan film-film yang ditayangkan di Cinecenter disesuaikan setiap pekannya dengan tema tertentu. Dia juga memastikan bahwa seluruh film yang diputar legal dan ikut memberikan keuntungan kepada produser.

Kasifa menambahkan pihaknya mencoba menjajaki kerjasama dengan sejumlah kedutaan besar untuk pemutaran film-film selain film Indonesia dan Hollywood. Menurutnya variasi film yang ditayangkan berpengaruh terhadap jumlah penonton yang datang.

Sementara itu, Direktrur Komersial dan Marketing Perum Perusahaan Film Negara (PFN) Elprisdat mengatakan pihaknya berniat membuka ‘bioskop rakyat’. Tujuan utamanya tentu memperluas akses masyarakat kelas menengah ke bawah terhadap film-film berkualitas dan mengakomodasi produser dalam negeri yang karyanya tidak mendapatkan kesempatan untuk tayang di jaringan bioskop nasional.

Perum PFN bakal membuka sampai dengan 1000 layar ‘bioskop rakyat’ di 500 kota/kabupaten di seluruh Indonesia yang belum memiliki bioskop memanfaatkan aset milik BUMN lain dengan skema sinergi BUMN.

Setiap tahunnya, mulai 2024 akan dibuka 200 layar yang setiap layarnya hanya membutuhkan investasi sebesar Rp2,5 miliar. Standar yang digunakan tetap sama seperti jaringan bioskop nasional, menggunakan film dengan format Digital Cinema Package (DCP).

Sumber: Bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only