Mempelajari Dampak Hukum Pajak Internasional terhadap Aturan Domestik

PEREKONOMIAN global yang semakin terintegrasi dan perdagangan antarnegara yang terus bereskalasi membuat perhatian terhadap sistem pajak internasional meningkat.

Sistem pajak berbagai negara dirumuskan sedemikian rupa agar tidak menimbulkan pemajakan berganda ataupun penghindaran pajak. Dengan demikian, terdapat batasan bagi suatu negara dalam menentukan arah kebijakan pajaknya.

Namun, apakah sebenarnya terdapat ‘hukum pajak internasional’ yang tidak boleh dilanggar? Pertanyaan mendasar ini menjadi basis penulisan buku berjudul ‘International Tax as International Tax Law’ yang diracik oleh Reuven S. Avi-Yonah pada 2007.

Buku ini memberikan pemaparan konsep dasar pajak internasional serta membangun paradigma berpikir kritis mengenai dampaknya terhadap aturan pajak domestik serta interaksi antarnegara. Melalui tulisan yang relatif ringan untuk disimak, pembaca akan memahami keberadaan ‘hukum pajak internasional’ mengikat sistem pajak setiap negara dengan mudah.

Secara formal dan legal, memang benar bahwa tidak terdapat suatu hukum internasional terkait pajak yang terhadapnya setiap negara harus tunduk. Namun, secara konseptual, Avi-Yonah menjelaskan dengan menarik bagaimana setiap negara pada akhirnya harus tunduk dalam derajat tertentu terhadap norma-norma pajak internasional.

Dalam kerangka berpikir tersebut, pembaca akan diajak menyelami bagaimana esensi dari rezim pajak internasional memengaruhi perumusan peraturan sistem pajak di setiap negara.

Selain itu, masing-masing negara juga perlu memilih, apakah memajaki setiap penghasilan menurut status residen seseorang (rezim worldwide) atau badan atau berdasarkan sumber penghasilannya (rezim territorial).

Seperti yang dijabarkan dalam buku ini, setiap penghasilan idealnya hanya dipajaki satu kali, tidak kurang dan tidak lebih. Jika lebih dari satu maka perdagangan dan transaksi internasional akan terdistorsi. Namun, jika kurang dari satu kali berarti terdapat penghindaran atau pengelakan pajak.

Atas dasar prinsip tersebut, profesor University of Michigan Law School tersebut menguraikan bagaimana pada akhirnya Perjanjian Penghindaran Pemajakan Berganda (P3B) dan peraturan pajak domestik harus disesuaikan.

Contohnya, banyak negara ‘terpaksa’ memperhitungkan pajak yang sudah sebelumnya dibayar di negara lain (sebagai sumber penghasilan) untuk mengurangi pajak terutang. Contoh lain juga turut dijelaskan adalah bagaimana jenis-jenis penghasilan tertentu sebaiknya dipajaki dan siapa yang seharusnya memiliki hak pemajakan lebih besar.

Lebih jauh, koordinasi antarnegara juga mau tidak mau menjadi semakin intens. Jika kita lihat saat ini, berbagai inisiatif diluncurkan dalam konsensus internasional, seperti BEPS Action Project, automatic exchange of information (AEoI), dan pemajakan ekonomi digital.

Dengan adanya kesepakatan tersebut, negara-negara menjadi terikat dan harus menyesuaikan sistem pajaknya agar harmonis dengan prinsip-prinsip yang sudah disepakati bersama.

Atas dasar motif perebutan modal, Avi-Yonah juga memprediksi bagaimana arah kompetisi tarif dan insentif pajak akan semakin intensi di masa mendatang. Di sisi lain, dia juga menjelaskan bagaimana berbagai benturan kepentingan antarnegara akan menyebabkan diskusi akan berlangsung alot sehingga kesepakatan tidak terjadi dengan mudah.

Intinya, dalam buku ini kita akan lebih paham bahwa kedaulatan pajak setiap negara semakin tertekan dan dibatasi oleh berbagai aspek eksternal. Bisa saja suatu negara tetap memaksakan aksi sepihak tanpa memperhitungkan prinsip pajak internasional. Namun, pada akhirnya negara itu justru kehilangan basis pemajakan karena subjek pajak bisa dengan mudahnya berpindah yurisdiksi.

Sumber : DDTC News

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only