Aturan Pajak PMSE Segera Terbit

JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak segera menyiapkan peraturan pemerintah dan peraturan Menteri Keuangan terkait dengan pengenaan pajak atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) No. 1/2020 memasukkan klausul Omnibus Law Perpajakan terkait PMSE. 

Dua klausul terkait PMSE yakni pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud serta jasa kena pajak dari luar daerah pabean serta pengenaan pajak penghasilan (PPh) atau pajak transaksi elektronik (PTE) bagi subjek pajak luar negeri yang memenuhi signifi cant economic presence. 

Terkait PPN, pedagang serta penyedia jasa luar negeri ataupun penyelenggara PMSE baik dalam negeri ataupun dalam negeri diperintahkan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN setelah ditunjuk oleh Menteri Keuangan. 

Mengenai PPh, pedagang serta penyedia jasa luar negeri ataupun penyelenggara PMSE luar negeri yang memenuhi ketentuan signifi cant economic presence dapat diperlakukan sebagai badan usaha tetap (BUT) dan dikenai PPh. 

Significant economic presence terpenuhi apabila pihak tersebut memiliki peredaran bruto konsolidasi grup usaha mencapai jumlah tertentu, memiliki penjualan di Indonesia mencapai jumlah tertentu, atau pengguna aktif di media digital mencapai jumlah tertentu. 

Apabila pelaku dan penyelenggara PMSE ini tidak bisa dijadikan BUT karena terganjal perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B), pemerintah akan mengenakan pajak transaksi elektronik (PTE). PTE dikenakan atas transaksi penjualan kepada pengguna di Indonesia. “Kita segera siapkan PP dan PMK untuk melaksanakan Perppu tersebut. Mudah-mudahan segera bisa efektif,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama, Rabu (1/4). 

Dia menegaskan pihaknya sudah memiliki rancangan aturan teknis dari klausul pengenaan pajak atas PMSE tersebut karena norma dasarnya sudah tertuang dalam Omnibus Law Perpajakan. 

Langkah tersebut merupakan perluasan kebijakan perpajakan guna menghadapi dampak COVID-19. “Kayak Zoom ini. Mereka tidak eksis di Indonesia tetapi sekarang kegiataan ekonominya besar,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam pemaparan live Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Rabu (1/4). 

Dia menegaskan hal tersebut perlu dilakukan untuk menjaga basis pajak, sehingga Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat memungut PPN dan pajak transaksi elektronik. “Kalau nggak punya BUT [badan usaha tetap] seperti Netflix dan Zoom maka dia bisa jadi SPLN,” kata Menkeu. 

Langkah pemerintah tersebut yang antara lain bisa menjangkau Netflix dan Zoom dinilai tepat. “Bagaimana pun pemerintah perlu running. Pada masa-masa seperti ini, pemerintah memang harus memiliki kebijakan yang dapat membuat perekonomian terus bergerak,” ujar pengamat ekonomi digital Universitas Indonesia Fithra Faisal. 

Selain itu, kata Fithra, pemberlakuan PPN tidak akan bermasalah bagi pemain besar di ranah platform digital seperti Netfl ix atau Zoom yang juga tercatat berada di zona hijau di pasar saham global. Indonesia pun dipandang sebagai pasar yang menjanjikan. Sejauh ini Netflix belum bersedia berkomentar mengenai pengenaan pajak tersebut.

Namun pemerintah dinilai harus tetap berhati-hati dalam menerapkan aturan perpajakan tersebut. Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo, pemerintah perlu menerapkan pajak yang moderat terhadap SPLN.

Pasalnya, penerapan pajak yang agresif justru bisa menjadi kontraproduktif bagi perekonomian atau bertentangan dengan upaya pemerintah dalam mendatangkan investasi. “Kalau agresif, mereka malah menghindar dari pasar Indonesia.”

Dihubungi secara terpisah, pakar teknologi informasi Abimanyu Wahyu Hidayat menilai pengenaan pajak terhadap SPLN merupakan hal yang wajar. Pasalnya, segala bentuk transaksi yang terjadi di Indonesia harus dikenakan pajak sesuai dengan masing-masing kategori transaksi. 

Di sisi lain DJP menyatakan siap dengan dinamika yang muncul apabila ada pihak dari negara mitra yang keberatan dengan pengenaan pajak atas PMSE. “Indonesia sudah berpengalaman menangani sengketa pajak,” kata Direktur Perpajakan Internasional DJP John Hutagaol. 

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerrard Plate menegaskan aturan tersebut relevan dengan kondisi perpajakan di dalam situasi apapun, di mana penyerapan pajak baru tidak lagi mengacu kepada kehadiran kantor secara fi sik tetapi juga kehadiran manfaat ekonomi atau yang lazim disebut new nexus system. 

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only