Kontraksi Ekonomi vs Stimulus, Bikin IHSG Naik-Turun

Jakarta – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berfluktuasi antara pelamahan dan penguatan pada perdagangan Kamis (2/4/2020). Stimulus fiskal yang digelontorkan pemerintah, serta proyeksi kontraksi ekonomi Indonesia membuat IHSG bergerak turun-naik-turun.

Beberapa saat setelah perdagangan dibuka, IHSG langsung merosot 1,5% ke 4.393,669. Bursa kebanggaan Tanah Air ini kemudian berbalik menguat nyaris 1% ke 4.504,756.

Tapi sayang, di akhir perdagangan sesi I, IHSG kembali masuk ke zona merah, melemah 0,12% di 4.460,479.

Berdasarkan data RTI, nilai transaksi sepanjang sesi I sebesar Rp 2,91 triliun, dengan investor asing melakukan jual bersih senilai 374,65 miliar.
Sentimen negatif datang dari bursa saham AS (Wall Street) yang kembali ambles pada perdagangan Rabu kemarin. Indeks Dow Jones, S&P 500, dan

Nasdaq merosot lebih dari 4%. Sebagai kiblat bursa saham dunia, pelemahan Wall Street tentunya mengirim hawa negatif ke pasar Asia hari ini.
Sementara itu dari dalam negeri, dampak pandemi virus corona (COVID-19) mulai terlihat di sektor riil.

Badan Pusat Statistik (BPS) Rabu kemarin melaporkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) tercatat 885.067 di bulan Februari. Anjlok 30,42% dibandingkan bulan sebelumnya dan 28,85% dibandingkan periode yang sama pada 2019.

COVID-19 juga sudah menggerogoti sektor manufaktur RI, yang aktivitasnya mengalami kontraksi di bulan Maret.

Aktivitas industri dicerminkan oleh Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur, yang menggambarkan pembelian bahan baku/penolong dan barang modal yang akan digunakan untuk proses produksi pada masa mendatang. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal, di atas 50 berarti industri sedang ekspansif sementara di bawah 50 artinya kontraktif alias mengkerut.

IHS Markit melaporkan PMI Indonesia Maret 2020 adalah 45,3. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 51,9 sekaligus menjadi yang terendah sepanjang sejarah pencatatan PMI yang dimulai pada April 2011.

Itu artinya sektor manufaktur RI sudah mulai menurunkan hingga menghentikan produksinya.

Kondisi seperti ini masih akan berlangsung setidaknya dua bulan ke depan mengingat puncak pandemi COVID-19 di Indonesia diperkirakan pada April dan Mei.

Saat sektor manufaktur terpukul, perekonomian juga akan merosot mengingat sektor indursri berkontribusi nyaris 20% dari struktur produk domestic bruto (PDB) Indonesia.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, kemarin mengatakan ada 2 skenario dampak COVID-19 ke perekonomian, yakni berat dan sangat berat. Dalam skenario berat, PDB diprediksi tumbuh 2,3%, sementara skenario sangat pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa minus 0,4%.

“KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini turun jadi 2,3% dan lebih buruk bisa negatif 0,4%. Sehingga kondisi ini menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi dan berpotensi menekan lembaga keuangan karena kredit tidak bisa dibayarkan dan perusahaan alami kesulitan dari revenue,” tutur Sri Mulyani yang juga Ketua KSSK, Rabu (1/3/2020).

Meski demikian, pelaku pasar juga masih melihat stimulus fiskal yang dikeluarkan pemerintah guna memerangi COVID-19.

Presiden Joko Widodo pada hari Selasa mengumumkan stimulus senilai Rp 405,1 triliun yang akan digunakan untuk dana kesehatan Rp 75 triliun, jaring pengaman sosial atau sosial safety net (SSN) Rp 110 triliun, insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat Rp 70,1 triliun.

Termasuk Rp 150 triliun yang dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional.

“Termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha menjaga daya tahan dan pemulihan ekonomi,” jelas Jokowi, Selasa (31/3/2020).

Dengan stimulus tersebut, plus stimulus moneter dari Bank Indonesia (BI) harapannya pandemi COVID-19 bisa segera diatasi dan perekonomian bisa segera bangkit.

Stimulus tersebut akan tertuang pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu No 1/2020).

Perppu No 1/2020 memberi mandat kepada pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk melakukan hal-hal yang di luar kebiasaan, bahkan di luar rambu aturan perundang-undangan. Misalnya pemerintah diperkenankan memperlebar defisit anggaran di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Atau BI dipersilakan masuk ke lelang Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana.

Dengan gelontoran stimulus fiskal oleh pemerintah defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 bisa mencapai 5,07% PDB.
Moody’s Investors Service menilai kebijakan pemerintah menaikkan defisit APBN terhadap PDB menjadi 5,07% dapat mempertahankan kepercayaan investor terhadap pemerintah.

Sumber : CnbcIndonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only