Menjaga Kepercayaan Investor Global

Di tengah kondisi pelemahan perekonomian global akibat dihantam pandemi penyakit virus korona atau coronavirus disease 2019 (Covid-19), ternyata kepercayaan investor global terhadap ekonomi Indonesia masih cukup kuat. Kepercayaan investor global itu seiring berbagai upaya yang dilakukan pemerintah, salah satunya menggelontorkan stimulus fiskal dan nonfiskal. Kuatnya kepercayaan investor global itu juga karena prospek ekonomi Indonesia ke depan yang masih cukup baik.

Pemerintah bersama Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) tengah berupaya sekuat tenaga mencegah dampak terburuk akibat wabah Covid-19 di sektor kesehatan hingga perekonomian. Dengan langkah stimulus fiskal yang diluncurkan pemerintah, serta diperkuat oleh fungsi bank sentral, OJK dan LPS, pertumbuhan ekonomi tahun ini dijaga agar tidak jatuh di bawah 2,3% di tengah situasi pandemi Covid-19. Jika tidak ada langkah bersama-sama, dalam skenario berat yang diungkap pemerintah, pertumbuhan ekonomi tahun ini mencapai 2,3%. Bahkan, dalam skenario sangat berat akibat pendemi Covid-19, bisa turun lebih dalam yakni minus 0,4%. Skenario terberat ini bisa dicegah jika ada upaya-upaya melalui berbagai koordinasi dan stimulus.

Melalui upaya stabilisasi di sektor keuangan dan nilai tukar rupiah, mata uang garuda ini diharapkan akan bergerak stabil dan cenderung menguat hingga mengarah ke level Rp 15.000 per dolar AS pada akhir 2020. Sedangkan jika tidak melakukan langkah-langkah bersama, kurs rupiah bisa mencapai Rp 17.000 per dolar AS dalam skenario berat atau Rp 20.000 per dolar AS dalam skenario sangat berat. Angka-angka tersebut bukanlah proyeksi, tapi hanya skenario pengandaian atau what if scenario.

Kepercayaan investor global menjadi modal bagi Indonesia untuk menerbitkan surat utang di pasar keuangan. Dana dari penjualan surat utang itu nantinya akan digunakan pemerintah untuk membiayai upaya penanganan Covid-19 yang mencapai Rp 405,1 triliun, mulai dari aspek kesehatan, pemulihan ekonomi hingga jaminan sosial. Dengan kepercayaan investor yang masih besar, surat utang negara (SUN) maupun surat berharga negara (SBN) dan surat berharga syariah negara (SBSN) yang diterbitkan pemerintah punya prospek diserap pasar.

Pemerintah Indonesia harus bersaing dengan negara-negara yang juga butuh pendanaan dari pasar keuangan untuk mengatasi dampak Covid-19 terhadap perekonomian mereka. Untuk pasar dalam negeri, penyerapannya masih memungkinkan karena dari lelang SBN minggu lalu mencapai Rp 20 triliun atau melebihi target sebesar Rp 15 triliun. Begitu juga pasar luar negeri, masih dimungkinkan menerbitkan obligasi global yang nilainya bisa ditingkatkan dari US$ 8 miliar hingga lebih dari US$ 10 miliar.

Jika instrumen investasi tersebut banyak diserap pasar, hal itu akan mendorong aliran modal asing masuk (capital inflow) ke Indonesia. Masuknya dana asing ke Indonesia, baik lewat global bond atau investor asing beli SUN/SBN di dalam negeri, akan menambah pasokan valuta asing valas, sehingga mendorong penguatan rupiah. Kurs rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Kamis (2/4) kemarin terkoreksi di tengah variasi pergerakan mata uang Asia. Rupiah ditutup melemah 45 poin menjadi Rp 16.495 dari sebelumnya Rp 16.450 per dolar AS.

Seandainya surat utang pemerintah itu tidak diserap pasar karena kondisi perekonomian global dan nasional saat ini yang tidak normal akibat wabah virus korona, BI diberi kewenangan untuk membelinya di pasar lelang/primer. Landasan hukumnya adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang mengatur sistem keuangan negara untuk mengatasi pandemi Covid-19.

Jika mengacu Undang-undang Bank Indonesia, bank sentral hanya dibolehkan menyerap surat utang pemerintah di pasar sekunder, sebagai salah satu bentuk stabilisasi nilai tukar, menghindari kenaikan jumlah uang beredar yang mempengaruhi inflasi. Sedangkan dalam Perppu tersebut, BI diberikan kewenangan untuk membeli SUN/SBN atau SBSN sebagai salah satu sumber dana untuk menutupi kebutuhan tambahan biaya penanganan Covid-19.

Langkah BI itu dilakukan jika memang diperlukan dan sebagai the last of lending resort. Artinya, BI baru akan membeli SUN/SBN atau SBSN itu dalam urutan terakhir setelah pemerintah menghitung dahulu anggaran yang sudah ada, termasuk realokasi anggaran untuk pembiayaan penanganan Covid-19 dan kemampuan pasar untuk menyerap instrumen investasi itu.

BI bisa membeli surat utang pemerintah ketika kapasitas pasar baik investor dalam negeri dan luar negeri tidak bisa menyerap, misalnya karena suku bunga SBN yang tinggi atau tidak rasional sehingga bank sentral bisa turun di pasar primer. Langkah BI ini bukan memberikan dana talangan (bailout) ataupun Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) seperti saat krisis 1998. Sebab, jika kondisinya sudah normal kembali, kapasitas pasar bisa menyerap, BI akan kembali ke aturan Undang-undang Bank Indonesia dan tidak membeli SUN/SBN atau SBSN di pasar primer, tapi di pasar sekunder.

Sumber : Investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only