Potensi Penerimaan Makin Besar

JAKARTA — Potensi penerimaan pajak dari transaksi digital atau perdagangan melalui sistem elektronik makin besar sejalan dengan banyaknya masyarakat di Tanah Air yang menjalankan work from home untuk memangkas rantai penyebaran Covid-19.

Atas dasar itulah pemerintah bakal mengimplementasikan pajak atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) dengan dasar hukum Perppu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/ atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Melalui Perppu itu, pemerintah mengadopsi pasal pengenaan pajak atas PMSE dalam Omnibus Law Perpajakan dan berencana untuk mengenakan pajak Pertambahan nilai (PPN) atas pemanfaatan barang kena pajak (BKP) tidak berwujud serta jasa kena pajak (JKP) dari luar daerah pabean.

Selain itu juga mengadopsi pengenaan pajak penghasilan (PPh) atau pajak transaksi elektronik (PTE) bagi subjek pajak luar negeri yang memenuhi signifi cant economic presence.

Mengacu pada naskah akademik Omnibus Law Perpajakan, nilai transaksi digital di Tanah Air memang sangat besar. Pada 2017 misalnya, diperkirakan transaksi barang digital secara total mencapai Rp102,67 triliun.

Dengan demikian, potensi penerimaan PPN dari transaksi tersebut bisa mencapai Rp10,26 triliun. Mengingat penggunaan layanan digital meningkat di tengah wabah Covid-19, potensi PPN dari PMSE berpotensi lebih tinggi dari nominal tersebut.

Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji mengatakan, akibat Covid-19 aktivitas perekonomian bergeser ke digital sehingga secara otomatis penggunaan penyelenggara PMSE luar negeri juga meningkat.

“Seharusnya ini juga selaras dengan kepatuhan dan pembayaran pajak kepada Indonesia sebagai negara pasar,” kata Bawono kepada Bisnis, Rabu (1/4).

Menurutnya, pajak dari kegiatan pelaku usaha PMSE luar negeri ini bisa menjadi sumber baru di tengah prospek penerimaan pajak yang melemah.

Selama ini, pengenaan pajak atas pelaku-pelaku luar negeri tersebut belum optimal karena kendala pada ketentuan perpajakan di dalam negeri. Bawono menambahkan, Perpu No. 1/2020 masih mengupayakan pengenaan pengenaan PPh, sedangkan PTE baru dikenakan apabila pengenaan PPh tidak memungkinkan.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengatakan, pengenaan pajak atas PMSE ini cukup beralasan sejalan dengan meingkatnya pemanfaatan platform digital di tengah pandemi virus corona. “Meski demikian, di tatatan implementasi perlu dipikirkan mekanisme yang efektif dan keselarasan dengan global framework OECD [The Organisation for Economic Cooperation and Development] yang akan dituntaskan,” ujar Yustinus.

KEBERATAN

Sementara itu, Ditjen Pajak Kementerian Keuangan sudah siap dengan dinamika yang muncul apabila ada negara mitra yang keberatan dengan pengenaan pajak digital ini.

Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol mengatakan, sengketa pajak lazimnya bisa diselesaikan melalui mutual agreement procedure (MAP), terutama dengan negara yang sudah terjalin perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dengan Indonesia.

“Indonesia sudah berpengalaman menangani sengketa pajak baik transfer pricing maupun tidak melalui MAP dengan banyak negara mitra seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, China, Belanda, Belgia, Amerika Serikat, dan Singapura,” jelas John kepada Bisnis.

Adapun munculnya klausul mengenai pengenaan pajak atas PMSE bertujuan untuk memberikan perlakuan yang sama antara pelaku usaha PMSE lokal maupun asing serta menghasilkan tambahan penerimaan pajak.

“Perlakuan pajak atas PMSE ini mulai berlaku sejak diumumkan dan berikutnya akan diikuti dengan aturan pelaksanannya berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan,” kata John.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only