Stimulus Baru Efek Korona Bagi Pebisnis

Pemerintah siapkan quantitative easing hadapi krisis akibat wabah virus korona

Jakarta, Pemerintah sepertinya akan habis-habisan menyelamatkan dunia usaha dari efek negatif penyebaran virus korona (Covid-19). Setelah memberikan berbagai insentif fiskal dan non fiskal, kini pemerintah menyiapkan gelontoran likuiditas untuk membantu arus kas perusahaan.

Guyuran likuiditas ini dengan menerbitkan surat utang recovery bond. Recovery bond akan diterbitkan dalam mata uang rupiah. Bertindak sebagai pembeli siaga kelak adalah Bank Indonesia (BI) atau investasi swasta yang berminat.

Dana hasil penerbitan surat utang ini akan digelontorkan lagi ke dunia usaha yang mengalami kesulitan arus kas dalam skema kredit khusus. “Skema kredit khusus ini kami buat seringan mungkin bagi pengusaha untuk membangkitkan kembali usahanya,” kata Sekuritas Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso, Kamis (26/3).

Ada dua syarat bagi perusahaan bisa memakai fasilitas ini. Pertama, tidak boleh melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerjanya sama sekali. Kedua, jika terpaksa PHK, mereka harus mempertahankan 90% dari jumlah pekerjanya tanpa memotong gajinya.

Hanya rencana ini baru bisa berjalan jika sudah merevisi Undang-Undang UU No. 23/1999 yang diubah dengan UU no 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Pada Pasal 55 ayat (4) UU itu, BI dilarang membeli Surat Utang Negara untuk diri sendir, kecuali di pasar sekunder. Karenanya, pemerintah akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Perpu untuk mengubah pasak tersebut.

Hanya Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman enggan menjabarkan mekanisme penerbitan recovery bonds ini. “Masih dikaji. Berbagai bentuk dan skema alternatif SBN kami diskusikan, termasuk bond untuk recovery,” kata dia.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menilai, recovery bond ini merupakan skema kebijakan pelonggaran likuiditas atau quantitative casing. “Ini yang dilakukan oleh The Fed (bank sentral AS) dalam menghadapi dampak wabah korona saat ini,” tandas Piter.

Skema quantitative easing, ini merupakan kebijakan paling ideal. Skema lain yang sudah ada dijalankan pemerintah seperti penerbitan SBN di pasar domestik maupun global, pinjaman bilateral atau multilateral, banyak kelemahan di tengah pandemi Covid-19.

Meskipun begitu, Piter menilai recovery bond ini tidak bisa disebut sebagai fungsi lender of the last resort. Sebab fungsi itu adalah fungsi yang dijalankan bank sentral saat sistem perbankan mengalami kesulitan likuiditas.

“Praktik ini dikenal sebagai quasi-fiscal, yaitu bank sentral membantu pemerintah dalam pembiayaan fiskal atau APBN,” tandas dia.

Sedangkan Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto kebijakan ini memiliki risiko. Pertama, risiko inflasi. “Artinya BI akan menukarkan rupiah dengan surat utang sehingga jumlah uang beredar naik yang kemudian akan mendorong inflasi,” katanya.

Kedua, risiko penyalahgunaan atau moral hazard oleh dunia usaha. Karena itu butuh sistem, mekanisme, dan standar prosedur yang jelas dan ketat penyalurannya.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only