Sengketa Pajak Reklasifikasi Sewa sebagai Objek PPh Pasal 4 ayat (2)

MEMO Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai koreksi negatif yang berasal dari reklasifikasi objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) menjadi objek PPh Pasal 23.

Otoritas pajak menyatakan bahwa wajib pajak terikat dengan kontrak karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pihak ketiga. Mengacu pada perjanjian tersebut, kegiatan sewa dikategorikan sebagai objek PPh Pasal 23. Oleh karena itu, otoritas pajak melakukan reklasifikasi objek PPh Pasal 4 ayat (2) menjadi PPh 23 atas sewa ruangan.

Sebaliknya, wajib pajak menganggap dirinya sebagai pihak ketiga yang tidak terikat dengan hal-hal yang disetujui dalam kontrak karya karena perjanjian tersebut hanya mengikat pihak yang disebutkan di dalamnya. Dengan demikian, wajib pajak menilai pemotongan dan pembayaran PPh Pasal 4 ayat (2) atas kegiatan sewa yang dilakukan sudah tepat.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya gugatan yang diajukan oleh wajib pajak. Sementara itu, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan dari otoritas pajak selaku Pemohon PK. Berikut ulasan selengkapnya.

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan yang dilakukan otoritas pajak. Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa kontrak karya yang disepakati Pemerintah Republik Indonesia dengan pihak ketiga tidak mengikat wajib pajak yang bersengketa dalam perkara ini.

Pembayaran sehubungan dengan sewa tanah dan/atau bangunan seharusnya merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2). Dengan demikian, pemotongan pajak yang dilakukan wajib pajak atas penghasilan tersebut sudah benar dan tepat.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak berkesimpulan bahwa koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak dapat dipertahankan dan menyatakan mengabulkan seluruh permohonan banding wajib pajak.

Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.48648/PP/M.I/25/2013 pada 27 November 2013, otoritas pajak (Pemohon PK) secara tertulis mengajukan PK ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 12 Maret 2014.

Pokok sengketa dalam perkara ini tentang koreksi negatif Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp6.536.187 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK menyatakan keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Berdasarkan Pasal 33A ayat (4) UU No. 7/1983, wajib pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi ataupun pertambangan, kewajiban perpajakannya terikat dengan kontrak karya. Mengingat Termohon PK sebagai anak perusahaan dari pihak ketiga maka perlakuan perpajakan dalam kontrak karya juga berlaku untuk Termohon.

Pernyataan tersebut dikuatkan dengan Surat Menteri Keuangan No. S-176/KM04/1996. Pada surat tersebut disebutkan kewajiban perpajakan Termohon PK tunduk pada kontrak karya yang ditandatangani antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pihak ketiga.

Pasal 13 kontrak karya menyebutkan objek pajak yang wajib dilakukan pemotongan PPh adalah bunga, dividen, sewa, royalti, jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa lainnya. Berdasarkan Pasal tersebut, imbalan dan/atau penghasilan berupa sewa merupakan objek PPh Pasal 23.

Berdasarkan uraian di atas, keputusan Pemohon PK melakukan reklasifikasi objek PPh Pasal 4 ayat (2) menjadi PPh Pasal 23 sudah benar dan sesuai ketentuan. Putusan Mejalis Hakim Pengadilan Pajak yang tidak mempertahankan koreksi Pemohon PK adalah tidak tepat. Keputusan yang diberikan tidak sesuai dengan data, fakta, dan peraturan yang berlaku serta harus dibatalkan.

Uraian Pemohon PK di atas berbeda dengan pendapat Termohon PK. Pada kontrak karya sudah disebutkan dengan jelas bahwa pihak yang terikat dengan perjanjian tersebut adalah Pemerintah Republik Indonesia dan pihak ketiga. Pernyataan tersebut ditegaskan oleh Direktur Peraturan Perpajakan II bahwa kontrak karya hanya berlaku bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian.

Perjanjian tersebut tidak mengikat pihak di luar pihak yang terikat perjanjian dan tidak boleh merugikan pihak eksternal tersebut. Oleh karena itu, pihak Termohon tidak terikat atas hal-hal yang disepakati dalam kontrak karya.

Termohon PK berpendapat bahwa kewajiban Termohon PK hanya melakukan pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2). Objek pajak PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut berupa penghasilan dari bunga tabungan atau deposito, penyewaan ruangan, service charge dan jasa konstruksi.

ALASAN-alasan pemohonan Pemohon PK dalam perkara a quo tidak dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan, argumen Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta dan melemahkan bukti yang terungkap dalam persidangan.

Pembayaran penghasilan sehubungan dengan sewa tanah dan/atau bangunan merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2). Pemotongan pajak yang dilakukan Termohon PK sudah tepat dan benar. Oleh karena itu, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) UU No. 16/2009 juncto Pasal 4 ayat (2) UU No. 36/2008 juncto Peraturan Pemerintah No. 29/1996.

Tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan peraturan perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e UU No. 14/2002. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung menyatakan menolak permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK. Dengan ditolaknya permohonan PK maka Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara dalam PK.

Sumber : DDTCNews

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only