Obat dan Alat Kesehatan Bebas PPN dan PPh

JAKARTA — Obat-obatan, peralatan kesehatan, dan jasa yang diperlukan untuk penanganan Covid-19 tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan selama April hingga September 2020. Pengajuan pembebasan pungutan pajak dapat dilakukan secara daring.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hestu Yoga Saksama, Minggu (12/4/2020), mengatakan, fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diberikan untuk badan/instansi pemerintah, rumah sakit rujukan, dan pihak lain yang ditunjuk untuk membantu penanganan pandemi Covid-19.

”Insentif PPN dan Pajak Penghasilan (PPh) diberikan untuk masa pajak April hingga September 2020,” kata Hestu yang dihubungi di Jakarta.

Pembebasan pajak itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pemberian Fasilitas Pajak terhadap Barang dan Jasa yang Diperlukan dalam Rangka Penanganan Pandemi Covid-19.

Regulasi itu menyebutkan, PPN tidak dipungut atau ditanggung pemerintah untuk barang-barang yang diperlukan dalam rangka penanganan Covid-19, seperti obat-obatan, vaksin, peralatan laboratorium, pendeteksi, pelindung diri, perawatan pasien, dan peralatan pendukung lainnya.

Selain barang, pemerintah juga tidak memungut PPN atas jasa yang diperlukan untuk penanganan Covid-19, seperti terkait jasa konstruksi, jasa konsultasi, teknik, manajemen, dan jasa persewaan.

Pembebasan dari pemungutan atau pemotongan juga berlaku atas PPh Pasal 22 impor, Pasal 22 atas penjualan barang, Pasal 21 atas penghasilan yang diterima wajib pajak orang pribadi dalam negeri, serta Pasal 23 atas penghasilan yang diterima wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap. Tarif pungutan PPN sebesar 10 persen, sementara PPh bervariasi kisaran 15-25 persen.

Wajib pajak dapat mengajukan surat keterangan pembebasan PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 melalui surat elektronik (e-mail) kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar. Pengajuan akan diproses dalam lima hari kerja. Adapun pembebasan PPh Pasal 22 Impor dan PPh Pasal 21 tidak perlu mengajukan surat keterangan.

Hestu menambahkan, Direktorat Jenderal Pajak sedang menyiapkan aplikasi untuk pengajuan surat keterangan bebas berbasis daring. Aplikasi dapat diakses melalui ponsel atau melalui laman DJPonline.

”Kami akan meluncurkan aplikasi berbasis daring itu pekan depan untuk memudahkan wajib pajak,” ujarnya.

Ubah paradigma pajak

Sementara itu, peneliti Danny Darussalam Tax Center, B Bawono Kristiaji, mengemukakan, hingga awal April ini sudah ada 113 negara yang merilis instrumen pajak dalam rangka penanganan Covid-19, antara lain Yunani dan China. Negara-negara itu tidak hanya memberikan fasilitas pembebasan PPN dan PPh untuk alat kesehatan dan farmasi.

”Sebagian negara, misalnya, menangguhkan kewajiban perpajakan dan memberikan insentif untuk menjamin arus kas perusahaan,” kata Bawono.

Menurut Bawono, sejauh ini Indonesia termasuk negara yang relatif progresif dalam merilis instrumen pajak. Di tengah pandemi Covid-19, paradigma pajak memang harus diubah bukan untuk mengoptimalkan penerimaan, tetapi menjaga situasi ekonomi dan menanggulangi dampak pandemi yang semakin eksponensial.

Pemberian insentif akan meningkatkan belanja pajak Indonesia. Meski demikian, peningkatan tidak signifikan karena penerimaan dari sektor jasa kesehatan selama ini tidak menjadi kontributor utama. Penerimaan pajak masih ditopang oleh sektor manufaktur dan pertambangan.

”Dengan demikian, relaksasi PPh dan PPN untuk sektor kesehatan dan farmasi sepertinya bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan,” katanya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, kebijakan pembatasan sosial jangan sampai menimbulkan kekacauan karena pasokan dan distribusi logistik tersendat, terutama peralatan kesehatan, obat-obatan, dan barang kebutuhan pokok. Relaksasi pajak dapat menjadi stimulus untuk menjamin ketersediaan logistik.

”Selain pembebasan PPN, pemerintah dapat memberikan keringanan pajak-pajak terkait impor dan bea masuk, khususnya alat pelindung diri dan obat-obatan. Pemberian insentif dapat diperpanjang sesuai kebutuhan,” ujarnya.

Sebelumnya, pemerintah telah memberikan insentif keringanan pajak bagi sektor-sektor tertentu yang terdampak Covid-19. Dalam paket stimulus Jilid I, insentif pajak diberikan untuk mendukung sektor pariwisata berupa tarif nol persen untuk pajak hotel dan restoran di 10 destinasi wisata senilai Rp 3,3 triliun. Insentif tersebut dinilai tidak efektif.

Adapun dalam paket stimulus Jilid II, insentif pajak khusus diberikan untuk sektor manufaktur yang terdampak Covid-19. Insentif berupa relaksasi PPh Pasal 21, relaksasi PPh Pasal 22 impor, relaksasi PPh Pasal 25, dan restitusi PPN pada 19 sektor tertentu. Estimasi empat insentif pajak itu senilai Rp 22,92 triliun.

Sumber: Kompas.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only