Pemerintah Pangkas Tarif PPh Badan di Masa Corona, Tepatkah?

Jakarta – Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis ( CITA) Yustinus Prastowo menilai menilai kebijakan pemerintah yang memberi kelonggaran pajak, khususnya penurunan tarif Pajak Penghasilan Badan, dalam paket stimulus ekonomi di tengah mewabahnya Virus Corona alias Covid-19 sudah tepat. “Hemat saya, Pemerintah sudah berada pada rel kebijakan yang tepat. Tinggal perluasan cakupan, akselerasi, dan implementasi terus dikawal,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Kamis, 9 April 2020.

Menurut Prastowo dengan adanya insentif fiskal itu para pelaku usaha selayaknya bersyukur. Pasalnya, ia melihat kebijakan tersebut dapat menyambung nafas perusahaan di tengah terpaan wabah Corona.

Kelonggaran pajak itu, menurut dia, sudah bisa dinikmati sebagian besar wajib pajak badan selain kategori UKM dan yang dikenai pajak final. Tak cuma itu, konsekuensi tarif pajak turun adalah berkurangnya angsuran PPh Pasal 25 Tahun 2020, setidaknya sejak April 2020.

Belakangan, pemerintah memang telah menggelontorkan sejumlah stimulus, dimulai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23 Tahun 2020. Dengan beleid itu, pemerintah memberi insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah untuk sektor manufaktur, pembebasan PPh Pasal 22 impor bahan baku sektor manufaktur, pengurangan PPh Pasal 25, dan percepatan restitusi Pajak Pertambahan Nilai. Cakupan sektor yang menerima insentif juga akan diperluas seiring meluasnya dampak Covid-19.

Puncak kebijakan fiskal, tutur Yustinus, adalah terbitnya Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Dari sisi perpajakan, selain merelaksasi administrasi perpajakan dan rencana mengenakan pajak atas perdagangan melalui sistem elektronik, Pemerintah juga menurunkan tarif PPh Badan, dari 25 persen menjadi 22 persen di tahun ini, lalu menjadi 20 persen mulai tahun depan.

Yustinus melihat penurunan tarif pajak tak bisa berdiri sendiri, melainkan harus diikuti perubahan kebijakan lain yang kondusif bagi keberlangsungan usaha. Pemerintah juga telah menerbitkan Perpres Nomor 54 Tahun 2020, yang antara lain mengatur penyesuaian target penerimaan perpajakan, realokasi, dan penggeseran belanja APBN agar lebih efektif dan tepat sasaran mengatasi dampak virus Corona.

“Penyesuaian target pajak dimaksudkan pula untuk memoderasi beban fiskus dan relaksasi pemungutan pajak, selain untuk menghitung kebutuhan pembiayaan,” tutur Prastowo.

Adanya gelontoran insentif itu, Prastowo meminta semua pihak agar tidak terburu-buru menilai kebijakan itu tidak tepat di masa krisis atau berpihak kepada kelompok tertentu. Ia justru mengajak agar kebijakan tersebut didukung dan didorong agar penerapannya konsisten. Menurut dia, sangat dimaklumi bila masyarakat berharap akan ada paket insentif susulan, yang sedang dirumuskan.

Pasalnya, di tengah situasi yang luar biasa saat ini dibutuhkan cara pandang dan strategi yang luar biasa pula. Kadang diperlukan pula tenggang rasa dan sedikit kesabaran.

“Di sisi Pemerintah, sudah menjadi keharusan jika situasi mahasulit ini mensyaratkan kecermatan. Rupiah demi rupiah yang dikumpulkan harus betul-betul terjaga demi pembiayaan aneka kebutuhan yang datang bertubi-tubi,” kata Prastowo.

Prastowo pun melihat kebijakan penurunan tarif pajak yang diberikan pemerintah sejatinya juga sudah dilakukan oleh sejumlah negara. Misalnya Thailand dan Vietnam mematok tarif 20 persen, India menurunkan tarif dari 30 persen menjadi 25 persen, dan Malaysia juga menyesuaikan tarif menjadi 24 persen. Adapun pada 2018 Amerika Serikat memangkas tarif dari 35 persen menjadi 21 persen.

Adapun soal UMKM, Prastowo melihat saat ini beban pajak mereka masih sangat terbuka direlaksasi meski tarif saat ini sudah cukup rendah, 0,5 persen. Namun, menurut dia, skema penyelamatan terpenting bagi UKM saat ini adalah membantu pembiayaan, misalnya melalui relaksasi berupa penundaan pembayaran cicilan maupun suntikan modal kerja.

Sumber: Tempo.co

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only