Obral Insentif, Defisit APBN Diprediksi Melebar Capai Rp852 Triliun

JAKARTA – Kucuran insentif yang dilakukan pemerintah sebagai upaya meredam dampak pandemi corona atau Covid-19, diyakini bakal berdampak terhadap melebarnya defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp852 triliun. Meski begitu Indonesia tidak sendirian, lantaran negara lain juga menghadapi persoalan serupa.

“Kondisi ini akan mendorong pelebaran defisit anggaran yang diproyeksikan akan mencapai Rp852 triliun atau setara 5,07% terhadap PDB. Indonesia tidak sendiri, negara lain juga diprediksikan akan mengalami kondisi serupa,” ujar Direktur Riset CORE Piter Abdullah Radjalam di Jakarta.

Seperti diketahui pemerintah telah memutuskan menambah stimulus untuk menanggulangi dampak negatif penyebaran COVID-19. Total tambahan anggaran yang disalurkan mencapai 405 triliun Rupiah atau setara 2,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Tambahan anggaran ini ditujukan untuk bidang kesehatan, perlindungan sosial, insentif perpajakan dan pemulihan ekonomi nasional. Dengan tambahan ini Indonesia menjadi salah satu negara pemberi insentif terbesar di Asia.

Jumlah insentif fiskal pemerintah lebih besar dibandingkan beberapa negara seperti China (1,2% terhadap PDB), Korea Selatan (0,8%), ataupun India (0,5%). Namun angka ini lebih kecil dibandingkan Thailand (3%) ataupun Malaysia (17%).

Sementara itu Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memprediksi penerimaan Perpajakan (pajak dalam arti luas) akan berada di kisaran Rp1.452-1.514 triliunut. Dimana raihan terseb jauh lebih rendah dibandingkan realisasi tahun lalu yang mencapai Rp1.462 triliun.

Negara tetangga Malaysia misalnya, dengan tambahan insentif sebesar RM250 miliar, defisit anggaran Malaysia akan berada dikisaran 4,5% terhadap PDB yang lebih tinggi dibandingkan defisit pada tahun lalu yang mencapai 3,4%. Bahkan Perancis berencana meningkatkan defisit anggarannya hingga 7%.

Defisit ini disebabkan tambahan belanja diproyeksikan tidak bisa diimbangi oleh kenaikan penerimaan negara pada akhir tahun nanti. Pertumbuhan penerimaan negara akan jauh menurun dibandingkan tahun lalu, yang disebabkan oleh 2 faktor utama.

“Dari luar negeri, harga sejumlah komoditas mengalami penurunan imbas dari melambatnya permintaan global termasuk harga minyak mentah yang anjlok di bawah USD25. Selain karena melemahnya permintaan global, ini juga dipicu oleh gagalnya kesepakatan negara-negara produsen khususnya Arab Saudi dan Rusia untuk memangkas produksi minyak,” ungkap Piter.

Dari dalam negeri, terjadi pelemahan permintaan domestik yang berdampak pada melambatnya aktivitas pada sektor-sektor penyumbang penerimaan negara. Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang sudah menunjukkan kontraksi sejak pertengahan tahun lalu, pada Maret 2020 bahkan anjlok lebih dalam hingga ke level 45.

“Melambatnya sektor manufaktur akan berdampak pada penerimaan perpajakan, karena sektor ini menyumbang sekitar 30% dari total penerimaan pajak. Kombinasi kedua faktor ini diprediksikan akan menekan penerimaan negara sampai dengan akhir tahun nanti,” tuturnya.

Sumber: Sindonews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only