PSBB Diterapkan, Ekonomi Jakarta Bisa Tekor Triliunan

Jakarta – Virus corona atau Coronavirus Desease-2019 (Covid-19) menular dengan begitu cepat dan masif. Aktivitas masyarakat terpaksa harus dibatasi demi mempersempit ruang gerak penularan virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut.

Berdasarkan data satelit pemetaan ArcGis pada Senin (13/4/2020) pukul 05:24 WIB, pasien positif corona di seluruh dunia mencapai 1.844.410 orang. Korban jiwa pun semakin bertambah menjadi 113.672 (tingkat kematian/mortality rate 6,16%).

Di Indonesia, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat kasus positif corona per 12 April adalah 4.241. Sementara korban meninggal adalah 373 orang (tingkat kematian 8,79%).

Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rata-rata laju pertumbuhan kasus baru di Indonesia adalah 25,18%/hari selama periode 3 Maret-10 April. Dalam periode yang sama, kasus corona di dunia ‘hanya’ naik 7,22%/hari. Oleh karena itu, penyebaran virus corona di Tanah Air masih ganas dan harus menjadi perhatian.

Provinsi DKI Jakarta masih menjadi daerah dengan kasus corona terbanyak di Indonesia yaitu 2.044 (48,19%). Oleh karena itu, pemerintah provinsi di bawah komando Gubernur Anies Rasyid Baswedan mulai menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai 10 April.

Dalam PSBB, terdapat aturan yang lebih ketat dan memiliki sanksi mengikat ketimbang imbauan social distancing. Misalnya, semua warga yang keluar rumah wajib menggunakan masker, jam operasional transportasi publik dibatasi, kapasitas penumpang kendaraan (umum dan pribadi) maksimal 50% dari daya angkut, dan sebagainya. Kepolisian dan Polisi Pamong Praja akan menjadi penegak hukum, bakal ada sanksi bagi yang melanggar.

Menyusul Ibu Kota, beberapa daerah di sekitarnya juga bakal menerapkan PSBB. Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan akan segera mengimplementasikan kebijakan tersebut.

Interaksi daerah-daerah tersebut dengan Jakarta memang sangat erat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, penduduk berusia lima tahun ke atas yang merupakan komuter (pengelaju) di Jakarta pada 2019 berjumlah 1.094.691 orang.

Dengan penerapan PSBB, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah penyangganya, maka jutaan orang tersebut akan sulit masuk ke Ibu Kota. Sebab hanya orang-orang yang bekerja di sektor yang dianggap vital yang boleh masuk ke Jakarta.

Para komuter tersebut kebanyakan adalah kelas menengah. Data BPS menyebutkan sebagian besar komuter di Jakarta berpenghasilan di atas Rp 5 juta/bulan.

Jika mereka berstatus pekerja di sektor formal, maka gaji mungkin masih akan diterima penuh. Namun kerugian bagi ekonomi Jakarta adalah para pengelaju itu tidak makan, minum, belanja, karaoke, dan sebagainya di Ibu Kota. Ada kegiatan ekonomi yang hilang.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jakarta dari sektor akomodasi, makanan, dan minuman pada 2019 adalah Rp 136,54 triliun. Sumber ini bakal sulit diharapkan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Jakarta.

Jasa pendidikan juga dipastikan tidak bisa menyumbang ke PDRB karena aktivitas belajar-mengajar diliburkan. Sektor ini menyumbang hampir 5% dari PDRB Jakarta pada 2019.

Demikian pula jasa transportasi, yang sulit diandalkan karena pembatasan jam operasional. Sektor transportasi dan pergudangan berkontribusi terhadap hampir 4% dari perekonomian Jakarta tahun lalu.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal membuat skenario perhitungan penerapan PSBB di Jakarta. Menurutnya, 75% perekonomian Jakarta akan terhenti. Nilainya mencapai Rp 70,86 triliun, atau laju PDRB berkurang 2,78 poin persentase.

Pada 2019, ekonomi Jakarta tumbuh 5,89%. Jika berkurang 2,78 poin persentase, maka pertumbuhan ekonomi Jakarta tahun ini adalah 3,11%.

PSBB bertujuan untuk menyelamatkan nyawa ribuan atau bahkan jutaan nyawa dari ancaman virus corona. Menyelamatkan nyawa memang layak menjadi prioritas utama.

Namun jika PSBB berjalan terlalu lama, maka harus diperhatikan dampaknya terhadap ekonomi. Ribuan atau bahkan jutaan dapur tidak bisa mengebul karena tidak ada ‘bahan bakar’ berupa penghasilan. Ini sangat berisiko memunculkan letupan keresahan sosial. Amit-amit jabang bayi…

Sumber : CnbcIndonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only