Penerimaan Pajak Merosot, Kemampuan Pemerintah Bayar Utang Dipertanyakan

Realisasi penerimaan pajak terus merosot selama tiga bulan pertama tahun ini. Sejumlah pihak pun mempertanyakan kemampuan pemerintah untuk membayar utang.

Hingga akhir Maret 2020, penerimaan pajak hanya Rp 241,6 triliun atau turun 2,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy). Sektor pajak migas maupun nonmigas sama-sama mengalami kontraksi.

Realisasi Pajak Penghasilan (PPh) migas hanya Rp 10,3 triliun atau anjlok 28,6 persen (yoy). Sementara PPh nonmigas juga hanya Rp 231,3 triliun atau turun 0,8 persen (yoy).

Sementara jika digabung dengan bea dan cukai, maka realisasi perpajakan mencapai Rp 279,9 triliun atau hanya tumbuh 0,4 persen (yoy). Padahal di Maret 2019, penerimaan perpajakan bisa tumbuh hingga 6,2 persen (yoy).

Sejumlah pihak mengkhawatirkan kemampuan pemerintah dalam membayar utang. Apalagi pada dua pekan lalu, pemerintah baru menerbitkan surat utang berdenominasi dolar AS atau global bond senilai USD 4,3 miliar. Ini merupakan penerbitan surat utang terbesar dalam sejarah RI.

Tak hanya itu, salah satu seri yang diterbitkan dalam global bond tersebut memiliki tenor hingga 50 tahun, juga merupakan jatuh tempo pelunasan utang terlama yang pernah dilakukan pemerintah.

Seri tersebut yakni RI0470 yang jatuh temponya pada 15 April 2070. Nominal yang diterbitkan sebesar USD 1 miliar dengan imbal hasil 4,50 persen.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, penerbitan surat utang yang memiliki jatuh tempo hingga 2070 tersebut akan membebani generasi selanjutnya. Belum lagi setiap tahunnya mesti membayar bunga yang dinilai cukup besar.

“Pemerintah yang ngotot untuk penerbitan Global dengan tenor 50 tahun 2070, anak cucu generasi milenial, adiknya milenial, bawahnya lagi sampai 2070 itu masih menanggung beban atas pembiayaan terhadap krisis di tahun 2020,” kata Bhima dalam keterangannya, Senin (20/4).

Untuk menutup defisit jangka pendek akibat pandemi COVID-19, lanjut Bhima, pemerintah sebaiknya juga mengambil langkah untuk memangkas gaji pejabat negara untuk percepatan penanganan virus corona.

“Tidak ada solidaritas yang menunjukkan dari pemerintah pusat. Saya enggak ngerti kenapa gaji presiden, wakil presiden, stafsus milenial itu tidak disumbangkan, misalkan 50 persen atau 60 persen untuk penanganan COVID-19,” jelasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PAN Ahmad Yohan menuturkan, pemerintah perlu memperhatikan profil utang, termasuk kemampuan membayar utang maupun bunga utang dalam jangka panjang.

“Bukan kita tidak setuju pemerintah berutang, tapi profil utang juga perlu dilihat dari berbagai pendekatan agar lebih solvable. Jangan sampai kita mengobral yield tinggi pada pemegang obligasi hanya untuk menarik utang besar, tapi bermasalah ke depan dalam hal kemampuan membayar,” kata Yohan.

Selain itu, Yohan pun mengingatkan pemerintah mengenai surat utang lainnya yang akan diterbitkan untuk penanganan corona, yakni Pandemic Bond. Meski hingga saat ini belum ada skema yang jelas mengenai penggunaan Pandemic Bond, dia berharap obligasi ini tak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menjelaskan, nantinya Pandemic Bond ini juga dapat digunakan oleh BUMN melalui suntikan penyertaan modal negara (PMN).

“Kami selalu menyarankan agar peruntukkannya harus benar-benar menyentuh sektor ekonomi yang dapat tumbuh dan padat karya selama masa pandemi, agar lebih efektif dan tepat sasaran,” kata dia.

Yohan bilang, selama ini Komisi XI selalu mengevaluasi PMN di sejumlah perusahaan pelat merah. Dari hasil tersebut, kata dia, hanya sedikit yang memberikan dampak ke sektor riil ekonomi.

“Jangan sampai cuma mengalir ke sektor padat modal. Oleh sebab itu DPR juga akan mengawasi struktur peruntukkan Pandemic Bond ini,” tutur Yohan.

Sementara itu, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) juga mengkhawatirkan kemampuan bayar pemerintah.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat (BPP) Hipmi Ajib Hamdani menilai, pemerintah tidak tepat dalam mengambil pertimbangan untuk menerbitkan global bond dengan tenor yang sangat lama.

“Keputusan ini memang positif untuk jangka pendek, tapi akan memberatkan neraca keuangan untuk jangka panjang,” katanya.

Dia menjelaskan, global bond tersebut juga akan menimbulkan dampak pada perekonomian. Pertama, defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) akan melebar, kedua memperlambat perekonomian karena pajak akan semakin digenjot. Padahal, selama ini dinilainya sangat sulit mengejar target pajak.

“CAD dengan tambahan utang dan bunga yang tinggi dan unstructured ini, maka akan banyak crowding out dalam 50 tahun ke depan untuk pembayaran utang. Kedua, dengan beban APBN yang makin berat, penopang utama pembayaran utang ini adalah dari pajak,” tambahnya.

Adapun total utang pemerintah hingga akhir Maret sebesar Rp 5.192,56 triliun. Angka ini naik 4,93 persen jika dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar Rp 4.948,18 triliun.

Rasio utang pemerintah per akhir bulan lalu mencapai 32,12 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Hingga akhir Maret 2020, pemerintah telah membayar bunga utang sebesar Rp 73,84 triliun, atau tumbuh 4,63 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sepanjang tahun ini, pemerintah menargetkan pembayaran bunga utang sebesar Rp 295,21 triliun.

Sumber : Kumparan.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only