Penerimaan Bakal Terkerek

JAKARTA, Efektivitas stimulus fi skal serta implementasi pengenaan pungutan atas perdagangan melalui sistem elektronik diyakini mengerek penerimaan pajak pertambahan nilai yang tertekan, sejalan dengan belum berakhirnya pandemi COVID-19.

Berdasarkan realisasi APBN per Maret 2020, penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) tercatat mencapai Rp92 triliun, tumbuh sebesar 2,5% (yearon-year/yoy).

Realisasi PPN dalam negeri tercatat Rp51,63 triliun, tumbuh 10,27% (yoy). Adapun, kontribusi PPN dalam negeri terhadap penerimaan pajak mencapai 21,4%. 

Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan tumbuhnya PPN pada Maret 2020 lebih mencerminkan kegiatan ekonomi pada Februari 2020, bukan Maret 2020. 

Artinya, PPN juga diproyeksikan menurun sama seperti kinerja pajak penghasilan (PPh) yang terkontraksi per Maret 2020. 

“Ini menggambarkan adanya kegiatan ekonomi yang cukup positif. Namun pada bulan berikutnya akan kita antisipasi karena ada potensi perlemahan konsumsi akibat PSBB [pembatasan sosial berskala besar],” kata Sri Mulyani, Selasa (21/4). 

Kementerian Keuangan memprediksi, konsumsi rumah tangga tumbuh di angka 4,8% (yoy) pada kuartal I/2020, kemudian akan melambat pada kuartal II/2020 (2,3% yoy) dan pada kuartal III/2020 (2,4% yoy). Kondisi ini akan berdampak pada penerimaan PPN. Konsumsi rumah tangga baru pulih pada kuartal IV/2020 (3,5% yoy). 

Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Ihsan Priyawibawa mengatakan, penerimaan PPN dalam negeri berpotensi tumbuh pada April dan bulan selanjutnya ketika stimulus pajak mulai membuahkan hasil. 

Ihsan menambahkan, penyokong lain adalah pengenaan PPN atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang bakal diberlakukan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020. 

“Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan basis pajak termasuk PPN,” kata Ihsan. Dia menambahkan, target PPN 2020 sudah mempertimbangkan penerimaan pajak dari PMSE. Meski demikian, Ihsan masih belum mengungkapkan potensi PPN dari PMSE ini. “Dengan kondisi yang sangat berubah, hitungannya saya sampaikan nanti setelah kondisinya lebih stabil,” kata Ihsan. 

MASIH BURUK 

Sementara itu, pandemi COVID-19 memaksa pemerintah makin mengandalkan penerimaan negara dari PPN. Padahal, performa PPN di Indonesia terbilang masih buruk. 

Berdasarkan catatan Bisnis, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa penerimaan dari PPN masih belum optimal karena terhambat dari sisi IT serta banyaknya pengecualian pungutan. Penerimaan PPN Indonesia masih sebesar 50% dari potensi yang ada. 

Kebijakan PPN di Indonesia pun menjadi sorotan dari World Bank di mana threshold omzet pengusaha kena pajak (PKP) masih terlalu tinggi, yakni mencapai Rp4,8 miliar. Masih banyak pula barang kena pajak dan jasa kena pajak (BKP/JKP) yang dikecualikan dari pengenaan PPN. 

Partner Tax Research and Training Services DDTC Bawono Kristiaji mengatakan, PPN masih tetap bisa dijadikan andalan sepanjang tidak ada guncangan dari sisi suplai dan tidak ada gangguan dari sisi daya beli masyarakat.

“Pemerintah di berbagai negara perlu melihat PPN sebagai pajak yang perlu diamankan, pembaruan kebijakan pada aspek PPN akan semakin relevan,” kata Bawono.

Pada tahun lalu, penerimaan dari PPN dalam negeri tercatat mencapai Rp346,31 triliun, sedangkan penerimaan PPN dalam negeri pada tahun ini ditargetkan mencapai Rp344,5 triliun. 

Dengan demikian, target penerimaan PPN dalam negeri hanya terkontraksi sebesar 0,5% (yoy) dibandingkan dengan realisasi pada tahun lalu.

Sumber: Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only