Kerugian Negara Jika Tak Lapor SPT: Penerimaan Seret hingga Utang Membengkak

Pemerintah mewajibkan setiap wajib pajak untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) setiap tahun. Hal ini guna melihat kepatuhan wajib pajak.

Kepatuhan wajib pajak dihitung berdasarkan jumlah wajib pajak yang menyampaikan SPT, dengan total jumlah wajib pajak yang memiliki kewajiban menyampaikan SPT.

Selama ini, rasio kepatuhan pajak Indonesia belum pernah mencapai 100 persen, masih di kisaran 70 persen. Di tahun ini, pemerintah menargetkan rasio kepatuhan pajak sebesar 80 persen.

Tahun lalu, jumlah wajib pajak yang melaporkan SPT hanya 13,37 juta wajib pajak, sementara yang seharusnya melaporkan SPT sebanyak 18,33 juta. Sehingga, rasio kepatuhan hanya 72,9 persen.

Jika dilihat dari rasio kepatuhan tersebut, masih banyak wajib pajak yang absen menyampaikan SPT. Padahal ini menjadi salah satu cara untuk turut membangun negeri.

Ada sejumlah kerugian bagi negara jika wajib pajak tak melaporkan SPT, berikut kumparan rangkum:

Pelaporan SPT Tahunan menjadi bagian dari upaya memaksimalkan penerimaan negara. Perlu diingat bahwa perpajakan di Indonesia menganut sistem self assessment, utamanya untuk Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Penentuan besaran pajak terutang dilakukan oleh wajib pajak itu sendiri. Sehingga wajib pajak harus menuntaskan kewajiban pajaknya, mulai dari menghitung, membayar, hingga melaporkan pajak.

Semakin tinggi kepatuhan wajib pajak, maka penerimaan pajak akan semakin meningkat, demikian pula sebaliknya.

Dalam APBN 2020, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan (pajak dan bea cukai) sebesar Rp 1.786,4 triliun. Target penerimaan pajak sendiri hanya Rp 1.577,6 triliun.

Kepatuhan pajak menjadi penting bagi pembangunan infrastruktur, seperti jalan, irigasi, jembatan, hingga sejumlah proyek sanitasi dan akses air.

Kepatuhan pajak yang rendah akan membuat penerimaan pajak tak mencapai target. Akibatnya pembangunan infrastruktur juga akan tersendat.

Pajak yang tak mencapai target akan mempengaruhi kas pemerintah. Penerimaan yang seret, sementara belanja negara harus tetap berjalan.

Akibatnya, pemerintah harus menambah pendapatan negara dari sumber lain, salah satunya pembiayaan atau utang.

Kekurangan pajak yang tinggi akan membuat defisit semakin melebar. Sehingga pembiayaan yang diperlukan juga semakin tinggi.

Hingga akhir Maret 2020, total utang pemerintah pusat mencapai Rp 5.192,56 triliun. Angka ini naik 4,93 persen jika dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar Rp 4.948,18 triliun.

Rasio utang pemerintah per akhir bulan lalu mencapai 32,12 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini masih dalam batas aman sesuai Undang-Undang (UU) Keuangan Negara Nomor 17 tahun 2003, yakni batas maksimal rasio utang sebesar 60 persen.

Sementara itu, pemerintah melakukan penarikan utang baru hingga akhir Maret sebesar Rp 76,48 triliun. Terdiri dari realisasi SBN sebesar Rp 83,90 triliun dan pinjaman sebesar Rp 7,42 triliun.

Hingga akhir Maret 2020, pemerintah telah membayar bunga utang sebesar Rp 73,84 triliun, atau tumbuh 4,63 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Adapun sepanjang tahun ini, pemerintah menargetkan pembayaran bunga utang sebesar Rp 295,21 triliun.

Sumber: Kumparan.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only