Sri Mulyani Waspadai Aktivitas Manufaktur RI Turun Terdalam di Asia

Aktivitas manufaktur Indonesia menurun paling dalam di Asia. Hal ini terlihat dari Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur RI menurut IHS Markit sebesar 27,5 pada April yang baru dirilis hari ini.

“PMI April turun menjadi 27,5 dari bulan sebelumnya 43,5. Ini paling dalam di Asia,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja bersama Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat melalui konferensi video di Jakarta, Senin (4/5).

Sri Mulyani menjelaskan, angka PMI tersebut bahkan lebih tajam jika dibandingkan dengan Jepang dan Korea Selatan. Lemahnya sektor manufaktur ini berpotensi mengakibatkan penurunan ekonomi domestik secara keseluruhan. “Sehingga harus kita waspadai,” ujarnya.

Selain Indonesia, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa PMI Manufaktur dan Jasa Eropa juga tertekan. PMI Manufaktur dan Jasa Eropa pada April terus terkontraksi, bahkan hingga level terendah sejak 2009.

Di sisi lain, business confidence Jerman pun turut mencatatkan rekor terendah. Kemudian, penjualan ritel Inggris terkontraksi 5,8%, sebagai rekor terendah.

Sepanjang periode Maret 2020, indeks manufaktur juga terkontraksi cukup dalam. PMI Indonesia pada Maret berada di kisaran 45,3, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya di level 51,9. Penurunan tersebut juga tercatat terendah dalam sembilan tahun periode survei atau sejak April 2011.

Sepanjang periode Maret 2020, indeks manufaktur terkontraksi cukup dalam. Perusahaan informasi dan analisis keuangan berbasis di London, IHS Markit melaporkan, PMI Indonesia pada Maret berada di kisaran 45,3, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya di level 51,9. Penurunan tersebut juga tercatat terendah dalam sembilan tahun periode survei atau sejak April 2011.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan kontraksi industri manufaktur dalam negeri pada akhir kuartal I tahun 2020 disebabkan penyebaran Covid-19 di sejumlah daerah. Penurunan utilitas industri di berbagai sektor tak bisa dihindari.

“Beberapa industri mengalami penurunan kapasitas produksi hampir 50%, kecuali industri alat kesehatan dan obat-obatan,”katanya dalam keterangan resmi pada April lalu.

Sejumlah industri yang mendapat pukulan berat imbas pandemi corona yakni, industri otomotif; industri besi baja; industri semen; industri pesawat terbang, industri elektronika dan peralatan telekomunikasi; industri tekstil; industri mesin dan alat berat. Namun, Agus berdalih, kondisi tersebut tak hanya terjadi di Indonesia.

Sebelumnya, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, industri manufaktur saat ini tengah terpukul dari berbagai sisi. Dari sisi suplai, pasokan bahan baku industri banyak yang terganggu terutama yang berasal Tiongkok lantaran pandemi corona berpengaruh signifikan terhadap industri di sana.

Selain itu, faktor pelemahan nilai tukar rupiah juga memberi pukulan cukup berat karena menyebabkan ongkos pembelian bahan baku menjadi lebih mahal.

Sementara di sisi demand, pandemi corona ditambah dengan banyaknya perusahaan yang tutup sementara menyebabkan daya beli masyarakat serta permintaan terhadap produk industri menurun. Penurunan itu terutama dialami pekerja informal dan pekerja lepas.

“Jika hal ini terus terjadi, PMI manufaktur bisa semakin drop pada peride Lebaran atau di Mei 2020. Karena, tanpa ada pandemi, aktivitas produksi pabrik pada saat itu memang minim karena banyak hari libur,” katanya kepada katadata.co.id.

Padahal, periode Maret-April seharusnya merupakan masa dimana aktivitas produksi bekerja optimal untuk memenuhi permintaan selama ramadan dan lebaran. Selain itu, dia juga menghkhawatirkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dapat semakin menurunkan permintaan produk industri, apalagi daya beli kelas menengah kian anjlok.

Sumber: Katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only