JAKARTA– Angka pertumbuhan Ekonomi Kuartal I 2020 benar-benar mencerminkan dampak Covid-19 terhadap perekonomian di tanah air. Bila pandemi tidak kunjung reda, bukan tidak mungkin akhir tahun ini pertumbuhan ekonomi bisa minus. Meskipun demikian, Pemerintah meyakinkan bahwa upaya mempertahankan pertumbuhan masih terus dilakukan.
Presiden Joko Widodo saat Sidang kabinet Paripurna kemarin (6/5) memilih menghibur diri atas capaian pertumbuhan ekonomi yang tergolong rendah untuk ukuran Indonesia itu. Dia menyampaikan, walaupun hanya tumbuh 2,97% tapi dibandingkan dengan negara lain kinerja ekonomi Indonesia relatif masih baik.
Dia mencontohkan Tiongkok, yang pertumbuhan ekonominya di kuartal pertama 2020 -6,8 persen setelah pada periode yang sama tahun lalu tumbuh 6 persen. ’’Artinya ini year on year deltanya (penurunan) 12,8 persen,’’ urai Jokowi. begitu pula Prancis yang deltanya 6,25 persen, Hongkong (5,9 persen), Spanyol (5,88 persen), hingga Italia (4,95 persen). semuanya menjadi negatif.
Di Indoensia, Covid-19 memukul perekonomian dari sisi permintaan sekaligus penawaran. Indeks manufaktur misalnya, Indonesia berada di level 27,5. Lebih rendah dibandingkan korea selatan yang indeksnya 41,6, atau negara-negara di ASEAN. Malaysia 31,3, Vietnam 32,7, dan Filipina 31,6. Harus dicarikan solusi dan jalan agar kontraksi bisa diperbaiki.
Dia meminta tim ekonomi memperhatikan betul angka-angka yang ada secara mendetail. Mana saja sektor dan subsektor yang mengalami kontraksi paling dalam. ’’Dilihat secara detail dan dicarikan stimulusnya,’’ lanjut Presiden. Sehingga program stimulus ekonomi betul-betul tepat sasaran. Dan pemerintah bisa mulai merancang skenario pemulihan di setiap sektor dan subsektor.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan I 2020 jauh di bawah perkiraan. Seperti diketahui, realisasi pertumbuhan yang mencapai 2,97 persen itu jauh lebih rendah dibanding proyeksi pemerintah yang mencapai 4,6 persen.
‘’Itu jauh dari perkiraan awal kita,’’ ujarnya pada rapat Komisi XI DPR, kemarin (6/5).
Ani menyebut, konsumsi mengalami penurunan yang signifikan. Sehingga, ke depan pemerintah akan mengantisipasi penurunan itu. Dia menyebut, dampak perluasan PSBB juga memicu turunnya konsumsi. ‘’Pembatasan sosial baru mulai berlaku Maret minggu kedua. Kita bayangkan April dan Mei ini PSBB dilakukan meluas, maka konsumsi pasti akan drop jauh lebih besar,’’ tuturnya.
Padahal, konsumsi masyarakat memiliki kontribusi yang amat besar pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, porsinya mencapai 57 persen. Selain itu, lanjut Ani, konsumsi masyarakat di Jakarta dan Jawa berkontribusi hingga 50-55 persen terhadap total konsumsi di Indonesia. ‘’Artinya, kalau sekarang Jakarta dan Jawa yang sudah PSBB pasti konsumi tidak akan tumbuh,’’ imbuhnya.
Dengan kondisi pandemi yang masih berlanjut pada triwulan II dan III, dia pun memproyeksi perekonmian Indonesia dalam skenario sangat berat yakni minus 0,4 persen. ‘’Sehingga kemungkinan masuk skenario sangat berat mungkin terjadi, dari 2,3 persen menjadi minus 0,4 persen,’’ tuturnya.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebut, pemerintah akan terus berupaya bisa menjaga konsumsi masyarakat melalui akselerasi bansos. Meski, diakuinya, besaran nilai bansos yang diberikan pemerintah tidak serta merta mampu mengembalikan pertumbuhan konsumsi yang hilang.
Paling tidak, upaya pemberian bansos itu bisa mengurangi beban masyarakat yang terdampak PHK. ‘’Social safety net, bansos kan meluas. Pemerintah meng-cover minimal tiga bulan, bahkan ada yang sampai enam bulan dan sembilan bulan sampai Desember. Ini kita harap cukup memberi bantalan sosial, tidak berarti bisa substitusi angka konsumsi Rp 5000 triliun yang di Jawa dan Jabodetabek tadi, namun bisa mengurangi mereka yang terdampak PHK dan kehilangan pekerjaan,’’ urainya.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memprediksi puncak penyebaran Covid-19 akan terjadi di bulan April, Mei, hingga pertengahan Juni. Selama periode tersebut, PSBB akan berlangsung di 70 persen wilayah tanah air.
“Maka dari itu, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Q2 tahun 2020 sebesar 0,4 persen,” kata Perry dalam konferensi pers virtual kemarin. Perlahan tapi pasti, pertumbuhan ekonomi naik pada Q3 1,2 persen dan Q4 sebesar 3,1 persen.
Alumnus Iowa State University itu tidak menampik PSBB berdampak terhadap pendapatan masyarakat. Begitu pula pada produksi, investasi, hingga ekspor-impor industri dan dunia usaha.
Menurut Perry, pertumbuhan Indonesia akan membaik pada 2021. Tentunya, dengan penerapan stimulus fiskal dan moneter yanh baik tahun ini. Seperti, suntikan likuiditas perbankan, bantuan sosial, dan restrukturisasi kredit dunia usaha.
Berimbas ke Daerah
Tak hanya secara nasional, capaian pertumbuhan ekonomi di daerah pun ikut menyusut. Di Jawa Timur (Jatim), pertumbuhan ekonomi tercatat senilai 3,04 persen, tak setinggi pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu yang sebesar 5,55 persen. Sector tanaman pangan tumbuh terkontraksi karena factor serangan hama. Serta, pergeseran panen raya dari Bulan Maret ke Bulan April.
Di sisi lain, terjadi peningkatan konsumsi listrik disebabkan imbauan belajar dan bekerja dari rumah. Sector komunikasi dan informasi pun meningkat karena aktivitas yang dikerjakan dari rumah.
Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga yang menyumbang 60,75 persen terhadap struktur PDRB tumbuh 4,47 persen. Angka ini tumbuh melambat disbanding pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal I 2019 yang sebesar 4,87 persen. Namun perlambatan ini tidak terlalu buruk, sebab di tengah pandemic Covid-19, angka konsumsi rumah tangga masih tumbuh positif dan tidak jatuh terlalu dalam.
Di sisi lain, komponen Pembentukan Modal Tetap Brutro (PMTB) tumbuh 4,12 persen, meningkat disbanding capaian pada periode yang sama tahun lalu yang sebesar 3,74 persen. Konsumsi pemerintah juga tumbuh lebih baik, yakni dari 4,81 persen pada kuartal I 2019 menjadi 5,11 persen pada kuartal I 2020.
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim Dadang Hardiwan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga didorong oleh tingginya konsumsi pada saat Imlek, Maulid Nabi dan perayaan hari keagamaan lainnya. “Sedangkan konsumsi pemerintah didorong oleh realokasi APBD untuk penanganan Covid-19. Juga, meningkatnya penyaluran bantuan sosial dalam program jaringan pengaman sosial untuk warga yang terdampak pandemic,” jelasnya.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Jatim Difi Ahmad Johansyah memaparkan, kondisi perekonomian pada kuartal I belum sepenuhnya merekam dampak dari pandemic Covid-19. “Makanya kami harapkan efektivitas dari program jarring pengaman sosial ini, supaya kuartal II tidak semakin berat. Kalau dari sisi investasi dan industri, saya rasa kuartal II akan lebih menantang kondisinya,” ujarnya.
Di samping itu, konsumsi rumah tangga akan tumbuh positif pada kuartal II, meski tidak setinggi pada periode yang sama tahun lalu. Sebab meski Lebaran jatuh pada Bulan Mei, masyarakat cukup konservatif dalam berperilaku konsumsi. Bahkan menurut Difi, terjadi peningkatan jumlah simpanan di bank, yang menandakan konsumsi masyarakat sedikit tertahan.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan, pertumbuhan ekonomi berpotensi terkontraksi lebih signifikan pada kuartal II (Q2) 2020. Mengingat, penurunan aktivitas ekonomi akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mulai berlaku sejak awal April hingga saat ini.
Jika aktivitas perekonomian belum pulih di kuartal III (Q3), maka pertumbuhan ekonomi nasional 2020 berpotensi lebih rendah dari skenario berat pemerintah. ”Yakni, berkisar 0 hingga 1 persen. Sedangkan, pemerintah memperkirakan tumbuh 2,3 persen,” kata Josua melalui pesan singkat kepada Jawa Pos kemarin.
Menurut dia, pemerintah perlu mempercepat realisasi anggaran belanja secara khusus. Selain itu, Bank Indonesia berpotensi memangkas kembali tingkat suku bunga acuan untuk kebijakan jangka pendek. Dengan tujuan, untuk mempercepat transmisi stimulus fiskal.
Secara khusus bagi sisi fiskal, refocusing dan realokasi anggaran perlu menitikberatkan pada penanganan Covid-19. Artinya, penghematan belanja pemerintah pusat perlu ditingkatkan kembali. Sehingga, sisi permintaan, khususnya konsumsi rumah tangga, dapat dipertahankan daya belinya agar pertumbuhan ekonomi tetap positif.
Dari sisi produksi, penurunan kinerja sektor manufaktur mengindikasikan bahwa kegiatan produksi terdisrupsi oleh Covid-19. Mengingat, sebagian besar negara di dunia, termasuk Tiongkok, memberlakukan lockdown yang menggangu pasokan bahan baku produksi manufaktur nasional.
”Selain itu, keputusan pemerintah untuk melakukan PSBB, berarti berhentinya proses sebagian industri manufaktur di luar sektor dikecualikan oleh pemerintah di berbagai daerah berpengaruh signifikan terhadap industri manufaktur. Khususnya, di pulau Jawa yang sebagian besar lokasi industri manufaktur,”
Untuk mengurangi beban sektor usaha dan industri manufaktur, tata pelaksanaan berbagai insentif yang diberikan pemerintah perlu ditingkatkan. Seperti, insentif pajak PPh 21, 22 dan 25. Sehingga, proses pengajuan insentif pajak secara administratif tidak memiliki kendala di lapangan.
Melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I 2020, Insitute Development of Economics and Finance (Indef) menilai bahwa perekonomian Indonesia saat ini ada dalam skenario terburuk. ”Pertumbuhan 2,97 persen ini meleset dari prediksi pemerintah yakni di atas 4,5 persen, dan Bank Indonesia sebesar 4,7 persen,” ujarnya, kemarin,
Bahkan dengan catatan tersebut, Indef memprediksi bahwa besar kemungkinan bahwa kuartal II ekonomi turun lebih tajam. Meski jika dilihat dari data tahunan Kuartal II umumnya lebih baik dibanding Kuartal I, namun Ahmad menilai bahwa situasi pandemi Korona memperberat langkah perbaikan ekonomi. ”Dapat dilihat bahwa semua sektor saat ini sudah terdampak,” tegasnya.
Selain itu, Ahmad juga menilai bahwa penurunan pertumbuhan ekonomi ikut dipengaruhi oleh anjloknya konsumsi rumah tangga. Dia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi pada 2019 Triwulan I didorong oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang mencapai 2,75 persen. ”Kalau sekarang 2,9 pertumbuhan ekonomi rumah tangga hanya 1,56 persen sumbangan dalam PDB. Konsumsi rumah tangga, hampir turun 119 persen,” urainya.
Menurut Ahmad, beberapa catatan yang mempengaruhi penurunan daya beli masyarakat di antaranya adalah kartu sembako yang mengalami keterlambatan, sehingga kurang dapat menambal konsumsi masyarakat. Selanjutnya, stimulus fiskal jilid II, pemerintah menurunkan PPh dan PPN juga kurang memberikan efek. ”Untuk mendorong konsumsi rumah tangga maka bantuan sosial sebaiknya diperbesar untuk 40 persen penduduk. Diperluas untuk menjangkau masyarakat ter-PHK, dirumahkan tanpa dibayar, dan kelompok hampir atau rentan miskin,” bebernya.
Kemudian di sisi lain, lanjut Ahmad, dalam hal investasi pembentukan modal tetap bruto juga dinilai kewalahan. Soal investasi, porsi awalnya pada triwulan 1 distribusinya sekitar 31,91 persen, namun mengalami perubahan karena hampir seluruhnya mengalami penurunan, seperti investasi bangunan, mesin perlengkapan, kendaraan, produk kekayaan intelektual dan lainnya.
Namun porsi terbesar yang terdampak turun yakni sektor bangunan yang distribusinya 24,23 persen menjadi 2,76 persen. Sedangkan untuk mesin dan perlengkapan distribusi pada triwulan 1 awalnya 3,16 persen menjadi -3,92 persen. ”Daya beli juga terdampak terutama bahan bangunan, meskipun kita lihat catatan investasi belum efektif padatriwulan pertama seperti yang disampaikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),” pungkasnya.
Sumber : Procal.co
Leave a Reply