Komisi XI dan Menkeu Sri Mulyani Terlibat Perdebatan

Jakarta – Jajaran Komisi XI DPR dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) terlibat perdebatan panjang dipicu oleh permintaan parlemen agar bunga surat utang Indonesia tak tinggi.

Di dalam rapat virtual, Rabu (6/5/2020), DPR meminta agar Kemkeu dan Bank Indonesia (BI) melakukan sesuatu yang bisa memastikan penduduk Indonesia di masa mendatang tak terbeban dengan bunga surat utang yang tinggi.

Awalnya, anggota Komisi XI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Hendrawan Supratikno yang menyarankan agar Kemenkeu dan BI bersepakat. Bahwa surat utang Pemerintah dibeli saja oleh Bank Indonesia dengan bunga (yield) rendah.

Pasalnya, BI dan Kemenkeu masih menggunakan mekanisme pasar dimana surat utang Indonesia hanya laku dengan bunga hingga 8 persen. BI sendiri beralasan biaya operasi moneternya di angka sekitar 4,8 persen.

“Ini kan kondisi sedang tidak normal. Saya sarankan misalnya, 2020 sampai 2022, BI membeli surat utang Pemerintah itu dengan bunga 2 persen. Mulai 2023, setelah normal, baru sesuai biaya operasi moneter yang 4,8 persen. Itu misalnya,” kata Hendrawan.

Sri Mulyani sempat menjelaskan kenapa bunga itu tinggi. Menurut dia, pasar melihat bahwa Pemerintah Indonesia memang membutuhkan dana sementara supply-nya tak bertambah.

Anggota lain Komisi XI dari Fraksi PDIP, Dolfie OVP, mengatakan bahwa justru karena hal itulah maka BI dan Kemkeu perlu membuat kebijakan khusus dimaksud. Apalagi, di pasal 2 Perppu 1/2020, sudah ada dasar hukum untuk langkah tersebut.

Dolfie lalu menjelaskan bagaimana negara-negara ASEAN saja, bunga surat utang mereka hanya berkisar 0-3 persen. Bila Indonesia tetap bertahan dengan bunga utang yang hingga 8 persen, Dolfie menyatakan APBN hingga puluhan tahun ke depan akan terus dibebani dengan biaya pembayaran utang.

“Atensi kita, jangan sampai SBN kita ini yield-nya besar terus, yang berimplikasi pada APBN kita seterusnya. Nanti isinya hanya bayar utang saja. Jadi kami minta KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) ini duduk bersama, menghitung bersama, biaya menjaga kesinambungan pengelolaan negara bagaimana, baru hitung skenario pembiayaaannya,” ulas Dolfie.

Menjawab itu, Menkeu Sri Mulyani lalu bicara soal sikap BI yang tak masih bersikeras membeli surat utang negara dengan bunga pasar, yang terakhir mencapai hampir 8 persen. Menurut Sri, BI memiliki tata kelola, undang-undang, dan neraca yang harus dijaga.

Menurutnya, DPR sebaiknya juga membandingkan BI dengan praktik bank sentral di negara lain yang belum tentu sama dengan Indonesia. Selain itu, kondisi neraca Indonesia yang kerap defisit tentu tak sama dengan negara lain.

Sri Mulyani juga bicara soal pandangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang cukup konservatif. “Ini membuat Pak Gubernur BI dan saya khawatir, nanti persepsinya seperti apa,” kata Sri.

Sri Mulyani juga mengatakan bahwa penyelamatan ekonomi di sektor riil memang harus terus di-refine. Dan diakuinya, Pemerintah memang belum punya gambaran jelas soal kebutuhan stimulus untuk dunia usaha. Saat ini, pemerintah sudah menganggarkan Rp 150 triliun dari APBN untuk membantu dunia usaha. Hanya saja, pihaknya memang memilih mana yang harus diselamatkan.

Menteri Sri Mulyani menyiratkan bahwa sejauh ini, yang akan “diselamatkan” pemerintah adalah perusahaan milik negara (BUMN, red); usaha mikro, kecil, menengah (UMKM); dan perbankan.

“Kita lakukan exercise supaya lebih detail. UMKM, BUMN yang kena dampak Covid-19 atau tidak, lalu apa saja kebutuhannya,” kata Sri Mulyani.

“Kalau korporasi (swasta), kan mereka harusnya melakukan restructuring sendiri. Mereka punya kapasitas. Namun kita juga berharap tak terjadi kebangkrutan massal. Nah kalau kita lihat dia berdampak pada perbankan, bagaimana perbankan punya daya tahan. Nah KSSK akan melihat apakah perbankan itu mampu tidak memfasilitasi terutama untuk kredit korporasi yang besar. Itu urusannya mereka, kita tak ikutan,” beber Sri.

“Namun kita akan melihat apakah perbankannya mengalami daya tahan yang menurun yang bisa mengancam stabilitas sistem keuangan. Itu kenapa angkanya tak langsung bisa berapa. Kami dengan BI terus coba menghitung. Misal untuk UMKM,” pungkas Sri.

Penjelasan ini lalu direspons anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golkar, M Misbakhun, yang kembali mengingatkan Sri Mulyani bahwa yang diminta DPR adalah kerja sama Kementerian Keuangan dan BI agar memastikan biaya krisis akibat pandemi tak menjadi mahal. Yakni dengan memastikan beban bunga surat utang negara tak besar.

“Kemarin Ibu jual surat berharga negara itu bunga 8 persen. Sudah terlalu tinggi dan akan jadi beban. Perlu ada desain sejak awal supaya bunga ini lebih rendah,” kata Misbakhun.

Lebih lanjut, Misbakhun juga mengingatkan bahwa kemungkinan besar pendapatan negara lewat pajak di masa mendatang takkan terpenuhi apabila pemerintah tak menolong semua rakyat di masa pandemi Covid-19.

“Di kondisi normal saja, tak mampu penuhi target penerimaan pajak. Apalagi pada situasi pandemi seperti ini. Padahal pemerintah butuh pajak untuk membiayai penyelenggaraan negara. Apalagi kalau pandemi Covid-19 makin panjang, beban pemerintah akan makin berat,” kata Misbakhun.

“Maka kita dorong agar BI menyerap dengan besar tapi biayanya rendah. Berikutnya baru bicarakan desain penyelamatan ekonomi.”

“Perppu 1/2020 sebentar lagi disahkan DPR. Maka para pengambil kebijakan harus bicara dalam konteks Perppu ini. Bahwa ini biaya pemulihan. Maka kalau biaya pemulihan, kita harus pastikan biayanya serendah mungkin,” pungkasnya.

Sumber : Beritasatu.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only