Tax Ratio Wajib Ditingkatkan

JAKARTA, Pemerintah perlu meningkatkan rasio pajak atau tax ratio untuk menyeimbangkan rasio utang terhadap penerimaan yang sejauh ini masih melambung.

Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II/2019, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyorot bahwa indikator kerentanan utang pemerintah telah melampaui rekomedasi International Monetary Fund (IMF) yang tertuang dalam International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411.

Wakil Ketua BPK Agus Joko Pramono mengatakan, setiap utang yang ditarik oleh pemerintah selalu diukur dengan kemampuan membayar yang disokong penerimaan negara.

Dia menjelaskan, meski produk domestik bruto (PDB) setiap tahun terus mencatatkan pertumbuhan, tax ratio atau rasio pajak justru konsisten turun.

Berdasarkan catatan Bisnis, tax ratio yang pada 2015 mencapai 10,76%, pada tahun lalu justru turun ke angka 9,76%. 

Padahal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015—2019 menargetkan tax ratio pada tahun lalu naik hingga 16%.

“Artinya ada angka PDB tertentu yang tidak kita peroleh pajaknya,” kata Joko, Senin (11/5). Lembaga auditor negara itu menilai, utang merupakan faktor residual dari bagian-bagian lain dalam anggaran, baik penerimaan maupun belanja.

BPK mendorong perubahan struktural atas pengelolaan fiskal pemerintah, terutama pentingnya fiscal sustainability analysis (FSA) untuk segera disusun. 

Audit BPK terhadap pengelolaan utang pemerintah tersebut mencatat, ada beberapa rasio yang telah melampaui batas aman, yakni rasio debt service terhadap penerimaan, rasio bunga utang terhadap penerimaan, dan rasio utang terhadap penerimaan. 

Secara lebih rinci, rasio debt service terhadap penerimaan tercatat sudah melampaui standar IMF sejak 2018. Kala itu, rasio debt service terhadap penerimaan tercatat mencapai 39,06%, sedangkan IMF mematok batas aman pada nominal 25%—35%.

Rasio bunga utang terhadap penerimaan yang oleh IMF dibatasi pada angka 7%—10% telah dilampaui oleh pemerintah sejak 2015 di mana rasio bunga utang terhadap penerimaan mencapai 10,35%.

Adapun rasio utang terhadap penerimaan yang oleh IMF dibatasi pada 90%—150% sudah dilampaui oleh pemerintah sejak 2013 di mana rasio tersebut mencapai 165,09%.

Hingga kuartal ketiga tahun lalu, nominal ketiga rasio tersebut terus mencatatkan pertumbuhan dan makin jauh dari batas aman yang menjadi best practice internasional.

Selain mengindikasikan nominal utang yang terus bertumbuh, rasio ini juga menunjukkan bahwa pertumbuhan penerimaan pemerintah tidak meningkat seiring dengan bertambahnya utang oleh pemerintah. 

Di sisi lain, Ketua BPK Agung Firman Sampurna pun menekankan bahwa pemeriksaan atas utang tersebut dilakukan bersama dan atas sepengetahuan Kementerian Keuangan. 

“Semua pejabat di Kementerian Keuangan mengetahui pemeriksaan ini, dan yang paling penting mereka juga telah menyepakati hasilnya dan ikut di dalam rencana aksi menyusun hasilnya,” kata Agung. 

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak bersedia memberikan banyak tanggapan ketika ditanya mengenai catatan BPK atas utang pemerintah tersebut. 

HATI-HATI 

Dia hanya mengatakan bahwa pemerintah selama ini telah melakukan pengelolaan utang dengan sangat hati-hati dan bertanggungjawab.

“Kalau analisis mengenai debt service ya kita hormati saja, yang terpenting kan kita tetap melakukan pengelolaan secara baik dan berhati-hati,” kata Sri Mulyani. 

Menkeu juga mengatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah sebuah instrumen, bukan tujuan.

Bila hanya ingin mengamankan APBN, menurutnya, pemerintah akan memangkas porsi anggaran belanja. Namun hal ini justru akan berdampak negatif pada perekonomian dalam jangka panjang.

“Kondisi ekonomi nasional dan sosial sedang mengharapkan APBN harus ekspansi, ya kita harus lakukan. Dampaknya bagaimana? Ya kita akan terus lakukan konsolidasi fiskal sesudah ini. Artinya apa? Penerimaan harus digenjot terus dan belanja harus makin diefi sienkan,” jelasnya. 

Research Manager Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar meyakini, pelebaran rasio utang terhadap penerimaan akan terus melebar dalam jangka pendek akibat pandemi Covid-19 yang masih berlarut. 

Menurutnya, melebarnya rasio utang terhadap penerimaan, bunga utang terhadap penerimaan, dan debt service terhadap penerimaan bukan karena pengelolaan utang yang buruk. Hal ini terjadi karena penerimaan pajak yang memang cenderung rendah. Fajry mengatakan bahwa perkembangan utang cenderung tidak dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, melainkan sesuai dengan kontraknya. 

Bila situasi ekonomi memburuk dan penerimaan pajak jeblok, otomatis rasio-rasio tersebut akan terlihat memburuk seolah-olah pengelolaan utang Indonesia kurang tepat. 

Secara jangka pendek, imbuhnya, pelebaran dari ketiga rasio tersebut pasti akan terjadi. Hal ini merupakan imbas dari Covid-19 yang memaksa pemerintah melebarkan defisit hingga 5,07% dari PDB dan meningkatkan rasio utang pada 2020 menjadi 36% dari PDB.

“Namun, dalam jangka menengah dan panjang pasti ada offset dari sumber penerimaan yang lain,” kata Fajry. 

Dia menambahkan, perbaikan rasio tersebut sangat mungkin terjadi dalam jangka menengah dan panjang panjang apabila penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan mampu mendorong penerimaan lain seperti pajak pertambahan nilai (PPN). serta meningkatkan geliat ekonomi nasional.

Namun, peningkatan tersebut juga sangat tergantung pada korelasi penurunan PPh Badan terhadap meningkatnya kepatuhan para wajib pajak.

Sumber: Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only