Meracik Agenda Pajak: Kini dan ke Depan

Hingga hari ini, kita belum mengetahui secara pasti durasi dan kedalaman dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi. April lalu, IMF menyebut dampak ‘The Great Lockdown’ ini berpotensi lebih parah daripada krisis keuangan global 2008.

Pada 2020, pertumbuhan ekonomi global diprediksi terkontraksi di -3%, sedangkan Indonesia hanya sebesar 0,5% (IMF, 2020). Pada jangka pendek, kebijakan fiskal ekspansif tak ayal jadi pilihan. Jurusnya, merelaksasi pemungutan pajak sembari memperbesar belanja stimulus. Setelah ekonomi ‘panas’, baru dilakukan kebijakan yang bertolak belakang, yakni konsolidasi fiskal.

Pajak, sebagai ekor dari ekonomi, tentu tunduk dan berada dalam kerangka makro-fiskal tersebut (Brzezinski, 2015). Relaksasi dahulu, mobilisasi penerimaan kemudian. Lantas, bagaimana agenda sektor pajak bisa menopang kerangka fi skal tersebut?

JANGKA PENDEK

Langkah yang diambil Indonesia sejauh ini sudah tepat. Selaras dengan lebih dari 130 negara lainnya, Indonesia menawarkan berbagai instrumen pajak dalam membendung dampak Covid-19.

Relaksasi tersebut diperkirakan memberikan efek bagi pelebaran belanja perpajakan (tax expenditure). Di saat yang bersamaan, perlambatan ekonomi turut berimplikasi bagi perlambatan penerimaan pajak. Keduanya diprediksi akan membuat pertumbuhan penerimaan pajak 2019-2020 menjadi negatif. 

Lalu, bagaimanakah memaknai situasi ini? 

Pertama, perlunya membangun narasi besar kepada publik bahwa pajak ‘hadir’ dalam rangka menyelamatkan ekonomi dan menjamin langgengnya peradaban Indonesia. Namun, komunikasi seharusnya bukan sematamata tentang menu insentif saja. 

Publik, khususnya para pelaku usaha, harus memahami skenario risiko fiskal jangka menengah. Relaksasi saat ini berimbas bagi pentingnya partisipasi pajak mereka di masa depan. Narasi tersebut dipercaya menumbuhkan suatu pemahaman yang lebih komplet mengenai take and give dalam rangka kontrak fiskal. 

Kedua, menjamin efektivitas relaksasi kebijakan pajak melalui relaksasi administrasi pajak. Hingga derajat tertentu, jangan sampai stimulus pajak terkendala oleh persyaratan formal yang agak sulit dipenuhi. Jaminan ini akan memberikan sinyal positif bahwa komitmen pemerintah tidak setengah-setengah. 

Ketiga, agenda literasi pajak. Dengan kebutuhan untuk mengoptimalkan kepatuhan pajak di tahun yang akan datang, pemerintah perlu mempertimbangkan edukasi wajib pajak secara masif. Tidak hanya itu, agenda literasi pajak juga perlu dilakukan secara internal untuk meningkatkan kapabilitas sumber daya manusia otoritas pajak. 

Keempat, menyusun peta jalan reformasi pajak ke depan. Urgensi segera dilakukannya reformasi pajak pascapandemi membutuhkan pemikiran baru dalam hal pembaharuan undang-undang, proses bisnis, kelembagaan, dan sebagainya. Singkatnya, kondisi yang relatif tidak terlalu berorientasi pada target penerimaan jangka pendek, harusnya bisa dipergunakan sebagai momentum untuk menata ulang sistem pajak Indonesia. 

Kelima, mengumpulkan dan membangun database informasi sebagai alat untuk menguji kepatuhan di masa mendatang. Agenda ini dapat dilakukan dengan memperbaharui MoU dengan lembaga lainnya mengenai format data yang dibutuhkan oleh DJP, ‘menghidupkan kembali’ ketentuan yang mewajibkan rekapitulasi data bagi perusahaan e-commerce, serta mempercepat penyelesaian core tax system. 

Keenam, pengamanan penerimaan tahun berjalan. Pengalaman krisis 2008 memperlihatkan bahwa PPN merupakan jenis pajak yang penerimaannya relatif tahan goncangan ekonomi. 

Oleh karena itu, optimalisasinya tetap bisa dilakukan dan diperluas, semisal bagi transaksi perdagangan melalui sarana elektronik. Hal lain yang bisa dipertimbangkan adalah skema pemungutan pajak bagi pihak atau sektor yang memperoleh windfall gain di tengah pandemi. 

JANGKA MENENGAH

Pascapandemi, pemungutan pajak yang lebih optimal akan jadi andalan. Namun, ekonomi yang belum sepenuhnya pulih juga perlu jadi catatan. 

Oleh karena itu, strategi jangka menengah yang paling tepat ialah mengurangi tax gap sekaligus memperluas basis pajak tanpa mendistorsi perekonomian terlalu besar. Berikut beberapa usulan agenda ke depan. 

Pertama, revisi UU di bidang perpajakan. Revisi UU PPh, PPN, dan KUP tidak hanya akan memberikan landasan hukum yang berkepastian, tetapi bisa menjadi penanda era baru sistem pajak Indonesia. 

Dalam hal ini, urgensi pembaharuan ketiga UU tersebut agaknya lebih besar dibandingkan pembahasan tentang omnibus law perpajakan. Namun demikian, berbagai klausul dalam omnibus law perpajakan bisa diikutsertakan sebagai bagian ketiga UU tersebut. 

Kedua, memperkuat administrasi pajak. Menurut Das-Gupta (2006), desain dan wujud sistem pajak suatu negara akan sangat dipengaruhi oleh kondisi administrasi pajak. 

Krisis saat ini juga telah memberikan pelajaran berharga mengenai pentingnya teknologi informasi (TI). Dengan demikian, di masa mendatang penggunaan TI perlu diperluas dan jadi andalan. Selain itu, penguatan administrasi pajak perlu dilakukan melalui pendekatan berbasis kewilayahan, penerapan compliance risk management, serta penegakan hukum.

Ketiga, mengubah paradigma relaksasi. Beberapa tahun terakhir, relaksasi pajak kerap jadi andalan untuk mendorong daya saing dan ekonomi. Ke depan, upaya mencapai hal tersebut sebaiknya lebih difokuskan pada agenda menciptakan kepastian dalam sistem pajak.

Menurut OECD dan IMF (2017), kepastian dapat terwujud selama terdapat kebijakan yang partisipatif dan berkeadilan, administrasi pajak yang berkepastian, upaya pencegahan dan penyelesaian sengketa pajak yang efisien dan efektif, serta keselarasan dengan konsensus internasional. Selain itu, perubahan paradigma perlu ditindaklanjuti dengan evaluasi berbagai tax expenditure. 

Keempat, perluasan basis pajak. Perluasan ini dapat dilakukan melalui penambahan jumlah wajib pajak, objek pajak, serta ketentuan untuk mencegah penggerusan basis pajak. 

Sebagai contoh, diskusi mengenai pajak kekayaan. Selain didorong oleh adanya ketimpangan (Vanistendael, 2020), pengenaannya bisa dijustifi kasi dalam konteks belum optimalnya pemungutan PPh orang pribadi. Sebagai penutup, pandemi ini mengharuskan kita mengambil langkah yang luar biasa di area pajak. Renstra DJP 2020- 2024 yang menekankan perluasan basis pajak dan peningkatan perekonomian sesungguhnya sudah tepat. Kini tinggal kita sesuaikan agar lebih adaptif dalam kerangka fi skal jangka pendek-menengah.

Sumber: Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only