Pemerintah terus menambah anggaran stimulus buat kalangan dunia usaha. Namun, stimulus dinilai tetap tidak mampu menyelesaikan persoalan ekonomi.
Badai virus korona belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Selain berdampak pada kesehatan dan kemanusiaan, virus ini telah memukul perekonomian Indonesia dengan telak.
Seluruh sektor usaha terdampak, yang ditandai dengan aktivitas bisnis yang kian meredup. Terlebih setelah pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dengan menutup sekolah dan perkantoran.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) pun terjadi di mana-mana karena perusahaan tak mampu menggaji lagi karyawan mereka. Jeritan para pengusaha ibarat lagu mellow yang terus diputar dan makin kerap terdengar belakangan ini.
Semua terjadi dalam kurun waktu dua bulan setelah terjangkitnya Covid-19 di negeri ini. Celakanya, amukan Covid-19 ini belum mencapai puncaknya. Kondisi yang sudah babak belur ini diprediksi akan terus menuju titik terendahnya selama serangan wabah belum berakhir.
Terbukti selama kuartal I tahun ini saja, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat hanya 2,7% secara year on year (yoy). Capaian ekonomi kuartal I ini adalah yang terendah dalam 19 tahun terakhir.
Terkejut sudah pasti. Pasalnya pencapaian itu jauh dari estimasi semua kalangan, baik pemerintah maupun ekonomi. Contoh prediksi Kementerian Keuangan yang yakin ekonomi kuartal I masih akan tumbuh di kisaran 4,5%-4,7%. Jauh pula dari proyeksi Bank Indonesia masih di kisaran 4,3%-4,6%.
Sementara banyak ekonom sebelumnya memprediksi ekonomi kuartal I ini besar kemungkinan kinerja perekonomian ke depan makin berat.
Nah, tak ingin ekonomi makin terpuruk, pemerintah pun gencar memberikan paket stimulus, baik insentif fiskal maupun non fiskal untuk menyelamatkan perekonomian nasional dari wabah korona. Selain buat kalangan korporasi, insentif juga menyasar pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Stimulus korporasi
Stimulus fiskal menjadi jurus pamungkas pemerintah membantu mengurangi beban dunia usaha. Untuk itu, pemerintah kembali mengalokasikan bujet ekstra besar guna membantu mengurangi beban dunia usaha di tengah kondisi yang makin berat.
Yakni dengan menambah anggaran stimulus untuk pajak menjadi Rp 64,14 triliun. Jumlah ini membengkak jauh lebih besar dari rencana insentif awal yang Rp 22,9 triliun.
“Dampak Covid-19 terus meluas ke berbagai sektor, sehingga perlu penambahan insentif pajak berupa perluasan cakupan penerima insentif,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Tambahan anggaran stimulus itu digunakan untuk perluasan sektor usaha yang mendapat stimulus jilid II, berupa insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 atau PPh Badan Masa, PPh Pasal 21, Pasal 22 Impor, percepatan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN).
Nah, penerimaan insentif pajak tersebut kini bertambah menjadi 18 sektor usaha, dari sebelumnya hanya 11 sektor usaha. Selain itu, ada pula tambahan untuk wajib pajak kawasan berikat, pemberian PPh ditanggung pemerintah (DTP) kepada usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), serta fasilitas PPN lainnya.
Alokasi tambahan dana itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Virus Korona yang terbatas pada Sektor Manufaktur dan/atau Perusahaan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).
Sebelum adanya tambahan anggaran di stimulus jilid II ini, pemerintah juga telah merilis paket stimulus korona jilid I dan III. Stimulus pertama mencapai Rp 10,3 triliun untuk mendukung sektor pariwisata dan transportasi, serta dukungan terhadap daya beli.
Sementara stimulus jilid III mencapai Rp 405,1 triliun. Dari Jumlah itu, sebesar Rp 70,1 triliun dipakai buat insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR) serta anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp 150 triliun. Selebihnya buat penanganan kesehatan dan program jaring pengaman sosial.
Stimulus paket III itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.
Pemerintah sendiri sudah mulai merealisasikan pemberian insentif tersebut. Akhir bulan lalu, otoritas pajak telah menurunkan tarif PPh badan atau korporasi. Insentif ini berlaku baik bagi wajib pajak (WP) badan umum maupun WP badan yang memperdagangkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Sementara untuk program PEN yang masuk stimulus jilid III juga akan direalisasikan dalam waktu dekat. Program dengan anggaran Rp 150 triliun ini akan menyasar sektor UMKM.
Kendati stimulus sudah mulai cair dan sektor penerima diperluas, toh kalangan pengusaha pesimis insentif bisa menggairahkan dunia usaha. Raden Pardede, Wakil Ketua Umum di Bidang Moneter, Fiskal dan Kebijakan Publik Kamar Dagang dan Industri (Kadin), mengatakan, insentif fiskal sangat menolong bila di tengah pandemi aktivitas perekonomian masih berjalan.
Nyatanya, saat ini ekonomi tidak berjalan. Bahkan banyak sektor usaha sudah tidak beroperasi, sehingga insentif fiskal tidak banyak menolong.
Dalam kondisi seperti itu, dibutuhkan insentif yang benar-benar bisa membantu mengurangi beban dunia usaha. Misalnya, insentif dalam bentuk kredit modal kerja yang dijamin pemerintah.
Stimulus jilid I misalnya, tidak berjalan efektif karena adanya penurunan wisatawan akibat Covid-19. Begitu pun stimulus jilid II yang banyak terkendala dalam proses pendataan dan pengajuan oleh dunia usaha.
“Di insentif jilid II ini juga ada kebijakan stimulus non fiskal yang kami rasa belum efektif akibat adanya keterlambatan dan pasokan ekspor-impor yang tertahan,” ujarnya.
Terakhir stimulus jilid ketiga dengan total anggaran mencapai Rp 405,1 triliun. Dalam program insentif di Jilid III ini, ia juga menilai baru sebagian saja yang sudah dijalankan dan belum semua anggaran dimanfaatkan.
Relaksasi Iuran Jamsostek
Selain gencar mengguyur insentif fiskal, baru-baru ini pemerintah juga melonggarkan insentif non fiskal buat kalangan pengusaha, berupa penundaan pembayaran iuran Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek) hingga 90%.
Kelonggaran ini diberikan agar pengusaha tetap memenuhi kewajiban membayarkan tunjangan hari raya (THR) kepada pekerja, dan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Relaksasinya adalah pemotongan iuran 90% untuk tiga bulan dan bisa diperpanjang tiga bulan lagi,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto.
Pelonggaran iuran ini berlaku bagi iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm). Sementara untuk Jaminan Pensiun (JP) pembayaran bisa ditunda.
Untuk Jaminan Hari Tua (JHT) tak masuk dalam program relaksasi. Total anggaran dari relaksasi tersebut mencapai Rp 12,36 triliun. Angka ini dari fasilitas JKM Rp 1,3 triliun, fasilitas JKK Rp 2,6 triliun, dan fasilitas JP Rp 8,74 triliun. Sampai saat ini, sudah ada sebanyak 116.705 perusahaan yang mengajukan relaksasi iuran BPJS Ketenagakerjaan.
Asal tahu, iuran program JKK dan JKM sepenuhnya ditanggung perusahaan sebagai pemberi kerja. Sementara iuran program JHT dan JP ditanggung bersama pemberi kerja dan perusahaan.
Namun, porsi yang ditanggung perusahaan lebih besar daripada pekerja. Sayangnya, iuran JHT yang paling tinggi persentasenya tidak direlaksasi.
Sayangnya, iuran JHT yang paling tinggi persentasenya tidak direlaksasi. Iuran JHT 5,7% dari upah sebulan, di mana 3,7% ditanggung pemberi kerja dan 2% ditanggung pekerja.
Bila JHT ini juga direlaksasi, keringanan itu tidak hanya mengurangi beban perusahaan, tapi juga pekerja. Namun demikian, kalangan pengusaha tetap menyambut baik relaksasi tersebut karena bisa mengurangi beban industri dan juga karyawan.
“Namun tidak akan cukup kuat buat menahan laju PHK yang sudah berlangsung sejak bulan lalu,” kata Bob Azam, Ketua Komite Tetap Ketenagakerjaan Kadin.
Menurut dia, yang masih bertahan sampai saat ini adalah perusahaan besar dengan working capital kuat dalam menjalankan bisnis. Bagi mereka, relaksasi ini memberikan kelonggaran sehingga bisa mengalihkan dananya untuk menahan PHK, membayar THR, maupun pesangon.
Sayangnya, tidak semua sektor usaha mampu melakukannya. Misal, sektor pariwisata dan perhotelan yang sudah tidak mampu menjalankan operasinya. “Jangankan membayar THR, untuk beroperasi saja sulit,” ujar Bob yang juga Wakil Ketua Umum Apindo ini.
Kendati sudah ada insentif fiskal, ia menyebut, perusahaan masih kesulitan mencicil atau menunda pembayaran pajak yang jumlahnya sangat signifikan.
“Pajak perusahaan itu masih kami bayar berdasarkan profit tahun lalu, nanti tahun depan restitusi, misalnya. Tetapi kan kita tidak ada profit tahun ini. Harusnya tidak usah bayar pajak, ini sebenarnya harus direlaksasi,” ujarnya.
Hadi Subhan, pengamat ketenagakerjaan Universitas Airlangga, menyebut relaksasi BP Jamsostek tidak akan berpengaruh banyak, apalagi untuk menekan laju PHK. Dengan komposisi relaksasi yang tidak sampai 10% dari gaji pegawai maka efek dari kebijakan ini akan tidak terasa bagi pengusaha saat.
Insentif UMKM
Bukan hanya korporasi besar, sektor UMKM juga diguyur stimulus triliunan rupiah. Pemerintah merasa perlu memberikan insentif ke sektor ini karena UMKM termasuk yang paling terdampak korona.
Sektor ini akan dapat insentif pajak berupa pembebasan PPh final bagi pelaku UMKM alias tarif PPh final 0% selama enam bulan dimulai dari April sampai September 2020. Sebelumnya, pelaku UMKM tersebut diharuskan membayar kewajiban sebesar 0,5% dari omzet.
Kemudian ada juga program restrukturisasi kredit bagi UMKM, baik melalui penundaan angsuran ataupun subsidi bunga. Restrukturisasi ini termasuk penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit Ultra Mikro (UMi), PNM Mekaar, serta Pegadaian.
Skema restrukturisasi kredit UMKM ini akan didanai dari program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang masuk dalam stimulus jilid III. Saat ini, skema pemberian PEN sedang dalam tahap finalisasi peraturan pemerintah (PP) yang ditargetkan selesai pekan ini.
Dalam skema yang disiapkan, pertama, KUR mendapat suntikan penundaan cicilan pokok dan bunga sebesar 6% selama 3 bulan, dan 3% selama 3 bulan.
Untuk UMi baik dari PNM, Pegadaian, Bahana Artha Ventura mendapatkan penundaan angsuran dan subsidi bunga 6% selama 6 bulan. Kemudian, PNM Mekaar dan Pegadaian dengan penundaan angsuran dan subsidi bunga 6% selama 6 bulan.
Estimasi pemerintah, dari stimulus penyaluran kredit tersebut dapat memberikan manfaat kepada 26,21 juta debitur dengan perkiraan total anggaran, baik dari penundaan angsuran dan subsidi bunga, sebesar Rp 114,97 triliun.
Kedua, ada juga skema dukungan bagi UMKM lainnya lewat subsidi bunga dengan total anggaran Rp 1 triliun baik UMKM online, koperasi, petani, Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB), Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan, dan Perikanan (LPMUKP), dan UMKM pemda.
Adapun total penerima manfaat dari sini sebanyak 6,28 juta debitur. Sebelum program ini juga sudah ada relaksasi kredit UMKM, seperti diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 11/POJK.03/2020. Bedanya dengan PEN, relaksasi kredit OJK ini sifatnya hanya menunda cicilan, tidak dalam bentuk subsidi bunga.
Sayangnya, insentif yang banyak tersebut dianggap kurang nendang bagi pelaku UMKM yang saat ini semakin banyak menutup usahanya. Apalagi untuk mengakses bermacam insentif tersebut juga tidak mudah dan cenderung berbelit.
Hadi mencontohkan dalam program relaksasi kredit UMKM sesuai POJK No. 11. Di lapangan banyak lembaga penyalur kredit UMKM tidak menaati aturan tersebut. Hanya bank BUMN yang patuh menjalankan program restrukturisasi kredit bagi UMKM.
“Swasta tidak tunduk aturan OJK. Kalau kami tidak bayar, ya disita oleh mereka,” ujar Ikhsan Ingratubun, Ketua Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo).
Untuk itu, pemerintah harus bisa membereskan berbagai kendala lapangan ini supaya dampaknya bisa benar-benar dirasakan UMKM.
Syafri Suhan, salah satu pengusaha grosir pakaian di Tanah Abang, mengaku cukup senang dengan adanya insentif. Namun, ia mengkhawatirkan berbelitnya proses teknis pemberian insentif sampai ke pelaku UMKM. Belum lagi proses pendataannya yang susah mengingat pelaku UMKM sangat banyak.
Maklum, jika melihat eksekusi program pemerintah banyak yang tidak tepat. Ambil contoh pelaksanaan bansos belakangan ini.
Sumber: Tabloid Kontan
Leave a Reply