Memungut PPN atas Transaksi Digital

Perkembangan teknologi secara signifikan berimplikasi pada bentuk dan pola kegiatan jual-beli di masyarakat. Melalui teknologi, penyerahan barang lintas batas menjadi tidak sulit untuk dilakukan. Kegiatan ini kemudian membentuk kebiasaan dan peluang pasar yang lebih luas.

Sementara itu, dinamika perkembangan ekonomi dan teknologi juga menyebabkan perubahan permanen dalam perpajakan, salah satunya yaitu pajak pertambahan nilai (PPN). Sesuai rekomendasi Inclusive Framework on BEPS OECD/G20, pemungutan PPN transaksi digital sudah bisa dilakukan tiap negara.

Pemungutan PPN atas ekonomi digital menjadi bahasan yang menarik dalam jurnal yang berjudul ‘VAT in Digital Electronic Commerce’. Jurnal yang ditulis oleh Maruia Pozvek menjelaskan potensi pemungutan PPN atas ekonomi digital bagi negara anggota Uni Eropa. Tak hanya potensi pemajakan PPN saja yang menjadi fokus pembahasan, tantangan dan hambatan juga diulas oleh penulis.

Pada bagian awal, penulis mencoba mendefinisikan e-commerce terlebih dahulu dan menjelaskan potensi pemungutan PPN atas kegiatan perdagangan online. Penulis mendefinisikan e-commerce sebagai suatu aplikasi informasi dan komunikasi yang berguna sebagai sarana melaksanakan proses bisnis secara elektronik.

Pasar e-commerce menawarkan peluang pasar bagi pengusaha serta potensi tambahan penerimaan pajak untuk otoritas pajak. Sama halnya jual-beli barang secara offline, penyerahan barang secara online seharusnya juga menjadi peluang bagi negara untuk memungut PPN.

Dalam memungut PPN atas transaksi digital, penting untuk memperhatikan klasifikasi suatu barang. Misalnya, adanya penyerahan barang berupa koran atau buku yang dilakukan secara offline. Lalu, ada pula penjualan koran dan buku secara online. Keduanya sama-sama melakukan penjualan koran atau buku tapi karakteristik barang dan proses jual beli berbeda.

Adanya perubahan karakter barang yang dijual secara online akan berpengaruh pada penentuan objek pajak, tempat dikenakan pajak, tarif, ataupun kewajiban administrasi lainnya. Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, ketentuan atas pemungutan PPN di suatu negara perlu untuk diubah.

Lebih lanjut, penulis menyampaikan bahwa hambatan yang akan dihadapi ialah terkait penentuan lokasi atau penerima akhir atas suatu barang atau jasa. Penentuan penerma akhir atau konsumen akhir dapat dapat dilakukan dengan memverifikasi status penerima dan keberadaannya melalui nomor identifikasi barang. Kerumitan terjadi terutama dalam hal penentuan pihak yang menanggung beban pajak akhir.

Dalam menentukan basis pemungutan PPN, sebaiknya terdapat keseragaman dengan menggunakan prinsip destinasi. Artinya, PPN atas barang dan jasa diperhitungkan di tempat tujuan atau tempat konsumen terakhir berada.

Keseragaman ini mempermudah penentuan hak pemajakan PPN suatu negara atas kegiatan lintas yurisdiksi serta menciptakan netralitas pemungutan PPN dalam perdagangan internasional.

Pemungutan PPN dengan sistem yang ada saat ini akan menghadirkan hambatan dan kesulitan dalam perdagangan barang dan jasa internasional karena tidak ada harmonisasi. Perdagangan melalui e-commerce sudah menjadi hal yang lumrah di berbagai negara.

Setiap negara memiliki kebijakan memungut PPN dengan cara dan sistemnya masing-masing. Oleh karena itu, harmonisasi dan reformasi sistem pemungutan harus segera dilaksanakan. Komisi Uni Eropa sendiri telah secara konsisten mendesak berbagai negara di Eropa untuk melakukan reformasi sistem pemungutan PPN.

Tulisan ini menyajikan peluang serta tantangan dalam pemungutan PPN dengan argumentasi yang ringan tapi tetap berdasar. Penulisan yang runtut dan terorganisasi mempermudah pembaca yang ingin memulai memahami topik pemungutan PPN atas transaksi digital. Pada akhirnya, jurnal ini pun menjadi bacaan yang sangat menarik bagi para pihak yang menjadi pemerhati pajak digital, praktisi, peneliti, dan tentunya otoritas pajak.*

Sumber : DDTCNews

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only