11 Catatan Penting CITA untuk Realisasi APBN 2020

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menerbitkan realisasi APBN per 30 April 2020 lalu. Menyoal ini, Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mencatatkan 11 poin yang patut menjadi perhatian pemerintah.

Merangkum 11 catatan penting CITA untuk realisasi APBN 2020, sebagai berikut:

1) Postur APBN per 30 April 2020 secara umum masih menunjukan tren positif. Hal itu, terlihat dari pendapatan yang tumbuh positif 3,2 persen (yoy), dan belanja negara yang turun tipis 1,4 persen (yoy).Sementara, defisit sebesar Rp 74,5 triliun (0,44 persen PDB) yang justru lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu. Pendapatan negara ditopang oleh penerimaan cukai yang tumbuh 16,7 persen (yoy) dan PNBP yang tumbuh 21,7 (yoy). Penerimaan pajak turun tipis 3,1 persen (yoy).

2) Penerimaan pajak hanya terealisasi Rp 376,67 triliun (22,93 persen terhadap target APBN) atau dengan kata lain mengalami perlambatan 3,1 persen (yoy).

Perlambatan ini disebabkan karena sebagian besar jenis pajak tumbuh negatif, kecuali PPh Pasal 21 yang tumbuh 4,12 persen (yoy), PPh Pasal 26 yang tumbuh 28,14 persen (yoy), PPh final yang tumbuh 7,22 persen (yoy), dan PPN DN yang tumbuh 10,09 persen (yoy).Sementara itu, PPh badan terkontraksi lebih dalam yakni 15,23 persen (yoy). Meski demikian, pertumbuhan pajak periode ini masih lebih baik dari pertumbuhan pajak periode yang sama tahun 2016 silam yang mengalami kontraksi hingga -6,04 persen (yoy).

3) Rendahnya pertumbuhan penerimaan pajak periode ini adalah bukti aktivitas ekonomi sedang mengalami gangguan serius akibat pandemi COVID-19. Akibatnya, pemungutan pajak tahun ini kemungkinan besar akan sangat berat.Apalagi, pemerintah telah dan masih terus akan menggelontorkan insentif perpajakan demi memulihkan ekonomi nasional yang totalnya mencapai Rp 123,01 triliun

Melihat sinyal perlambatan yang sudah mulai bulan ini, RI harus siap menghadapi shortfall pajak yang diproyeksikan akan mencapai Rp 388 triliun pada akhir tahun nanti.

4) Untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah dapat memetakan sektor-sektor potensial yang mampu bertahan di tengah pandemi COVID-19. Melalui Perppu No. 1/2020, yang kini telah menjadi Undang-Undang No. 2/2020, pemerintah harus bisa mengoptimalkan penerimaan dari transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

Tentu, dengan tetap memperhatikan efektivitas pemungutan dan komunikasi yang baik dengan para pemangku kepentingan demi menjamin fairness.

5) Dari sisi belanja negara, realisasi di periode ini turun 1,4 persen (yoy) karena rendahnya transfer ke daerah (11,3 persen). Padahal, belanja pemerintah pusat tumbuh positif 3,4 persen (yoy).

Namun yang menggembirakan, transfer dana desa tumbuh signifikan 49 persen (yoy). Transfer ke daerah perlu dioptimalkan dengan cara komunikasi aktif antara pusat dan daerah.

6) Tahun 2020 sungguh menjadi tahun yang sulit bagi perekonomian Indonesia. Pandemi belum menunjukkan tanda akan berakhir.

Pendapatan negara terutama penerimaan pajak diprediksi turun cukup dalam, sementara kebutuhan belanja justru naik untuk belanja penanganan kesehatan, pemulihan ekonomi nasional, dan memenuhi kebutuhan dasar rakyat dengan berbagai skema bansos.

7) Dengan alasan itu, pemerintah kembali akan melakukan perubahan APBN yang sebelumnya telah ditetapkan dengan Perpres 54 tahun 2020. Pendapatan negara diperkirakan akan lebih rendah Rp 69,3 triliun atau tumbuh negatif 13,6 persen (yoy).

Rinciannya kurang lebih, perpajakan akan tumbuh negatif 9,2 persen (yoy) dan PNBP akan tumbuh negatif 29,6 persen (yoy). Penurunan pendapatan negara terutama disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan ekonomi serta turunnya parameter migas (ICP, kurs dan lifting migas).

8) Sementara itu, belanja negara lebih tinggi Rp 106,3 triliun. Hal ini disebabkan adanya tambahan belanja baru berupa stimulus fiskal dan tambahan kompensasi untuk PLN dan PT Pertamina sebesar Rp 76,08 triliun dan Rp 38,25 triliun secara berturut-turut.

Tambahan-tambahan belanja baru ini dilakukan sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap masyarakat maupun pelaku usaha yang terdampak pandemi. Dalam situasi seperti sekarang, penyesuaian terhadap belanja negara diperlukan dan dapat dimaklumi.

9) Tak heran, defisit APBN juga ikut mengalami perubahan dari 5,27 persen menjadi 6,27 persen. Besarnya defisit APBN sesungguhnya masih dapat diterima sejauh dihitung dengan cermat dan terukur.

Pemerintah memang perlu ruang untuk mencari alternatif pembiayaan. Yang terpenting, hasil pembiayaan tersebut harus berkualitas dan jelas hasilnya. Secara berkala, pemerintah wajib melaporkan penggunaan dana (stimulus) dan sejauh mana manfaatnya dirasakan oleh rakyat.

10) Meski dalam situasi sekarang dapat dimaklumi, pemerintah diharapkan tidak lagi melakukan perubahan APBN dengan cepat dan tiba-tiba. Dalam kadar tertentu, perubahan APBN yang cepat dan tiba-tiba mengindikasikan analisis yang kurang mendalam.Perubahan yang tiba-tiba juga akan membuat semua kebijakan menjadi tidak fokus dan membingungkan dunia usaha. Kredibilitas fiskal kita dipertaruhkan.

11) Pemerintah harus melakukan segala daya untuk memaksimalkan potensi yang ada. Jangan sampai pelonggaran defisit membuat lalai dan situasi ekonomi kita jatuh tak terkendali.

APBN harus tetap dikelola dengan tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, prudent, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan demi hajat hidup orang banyak.

Sumber: kumparan.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only