Jalan Panjang dan Berliku Memburu Pajak Digital Asing

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 Tahun 2020 merupakan gebrakan terbaru dalam mengejar pajak digital, terutama dari asing. Mulai 1 Juli nanti, perusahaan yang bergerak dalam perdagangan melalui sistem elektronik bisa mulai memungut Pajak Pertambahan Nilai alias PPN, termasuk raksasa digital dunia seperti Netflix, Spotify, Viu, serta media sosial dan e-commerce.

Sejatinya, upaya pemerintah memungut pajak digital atas penyedia layanan data, informasi, dan multimedia atau yang kerap disebut perusahaan over the top, e-commerce, dan media sosial, ini tak mudah dan panjang. Hal ini terutama bagi pelaku perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) asal luar negeri yang beroperasi di Indoneisa.

Pada 2017, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan Surat Edaran bernomor SE-04/PJ/2017 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap Bagi Subjek Pajak Luar Negeri Penyedia Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet. Peraturan ini untuk memastikan perusahaan OTT luar negeri yang tergolong bentuk usaha tetap (BUT) sebagaimana disyaratkan UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Salah satu kriterianya adalah berkantor di Indonesia.

Berlanjut, pada 2019 Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Badan Usaha Tetap. Melalui peraturan ini seluruh unit usaha asing yang beroperasi di Indoensia wajib mendaftar untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak (NPWP). Dengan kepemilikan NPWP maka perusahaan digital luar negeri menjadi BUT dan tergolong subjek pajak.

Namun, dua peraturan itu belum mampu untuk memaksa pelaku PMSE luar negeri menjadi BUT. Model bisnis pelaku PMSE bisa dilakukan lintas negara dan tak mesti bersangkutan dengan yuridiksi wilayah tertentu. Pembayaran jasa atau barang oleh konsumen pun bisa diarahkan ke akun bank di luar negeri.

Hal ini bisa terlihat dari praktik bisnis Netflix yang menyediakan layanan video on demand (VoD). Perusahaan ini tak berkantor di Indonesia dan pembayaran pembelian layanannya diarahkan ke akun banknya di Belanda.

Kendala lain adalah ketiadaan kesepakatan global terkait norma dan standar pajak atas penghasilan dari transaksi ekonomi digital. Pejabat keuangan negara-negara anggota G-20 telah mencoba merumuskan kesepakatan tersebut agar tidak terjadi sengketa pajak lintas negara dalam pertemuan di Fukuoka, Jepang, Juni tahun lalu.

Saat itu, Sri Mulyani mengatakan alasan pentingnya kesepakatan pajak digital karena pertumbuhan pendapatan perusahaan teknologi terus berlipat, tapi banyak negara tak merasakannya untuk PDB dan pendapatan pajak.

Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), melansir Reuters, mulai tahun lalu juga berupaya menyusun aturan agar perusahaan digital membayar pajak di tempat melakukan bisnis, bukan di tempat mendaftarkan perusahaan dan anak perusahaannya. OECD menilai potensi pajak digital secara global senilai US$ 100 miliar per tahun.

Namun, sampai saat ini upaya negara-negara G-20 dan OECD belum berhasil. Penyebabnya adalah Amerika Serikat (AS) yang meminta menunda pembahasan sampai selesai pemilu presiden November nanti. Padahal, lokasi perusahaan raksasa digital dunia seperti Facebook, Google, dan Amazon berada di AS. Hal ini terungkap dalam pertemuan G-20 di Riyadh, Arab Saudi, Februari tahun ini, seperti dilansir Reuters.

Pemerintah Indonesia juga berupaya memungut pajak digital melalui RUU Omnibus Law perpajakan yang segera dibahas DPR. Beleid ini mengatur pemungutan pajak PPh dan PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud PMSE dalam dan luar negeri. Khusus pungutan pelaku PMSE luar negeri diatur dalam Pasal 16.

Tertulis dalam pasal itu, pelaku PMSE luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan akan diperlakukan sebagai BUT. Namun, jika Indonesia terikat perjanjian pajak dengan negara asal satu perusahaan tertentu, BUT tak bisa dilakukan dan pemajakan dilakukan melalui skema pajak transaksi elektronik.

Ketentuan kehadiran ekonomi signifikan yang dimaksud, seperti termaktub di ayat (2), adalah: omzet konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah tertentu, penjualan di Indonesia sampai jumlah tertentu, dan jumlah pengguna aktif media digital.

Pemerintah Siap Pungut PPN Perdagangan Elektronik
Angin segar bagi pemerintah Indonesia dalam memungut pajak digital pelaku PMSE luar negeri setelah Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara diterbitkan. Pasal 4 ayat (1) poin (b) menyatakan kegiatan PMSE termasuk salah satu kebijakan perpajakan yang ditetapkan.

Lalu, Pasal 6 ayat (1) mengatur pajak yang dikenakan kepada pelaku PMSE luar negeri adalah, PPN atas pemanfaat Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar daerah dan PPh bagi perusahaan yang memenuhi kehadiran ekonomi signifikan.

Ayat-ayat selanjutnya dalam pasal tersebut mirip dengan Pasal 16 beleid RUU Omnibus Law perpajakan. Misalnya, pelaku PMSE luar negeri yang memenuhi kehadiran ekonomi signifikan akan diperlakukan sebagai BUT dan dikenakan PPh. Begitupun ketentuan kehadiran ekonomi signifikan.

Bahkan, Pasal 7 Perppu 1 tahun 2020 mengatur sanksi pemutusan akses setelah diberi teguran bagi penyelenggara PMSE yang tak patuh pajak, selain sanksi administratif sesuai peraturan perundang-undangan. Pemutusan akses dilakukan oleh Kemenkominfo berdasarkan permintaan Kemenkeu.

Dirjen Pajak Suryo Pratomo pada 22 April lalu menyatakan, hal mendasar dalam RUU Omnibus Law Perpajakan dan Perppu 1 tahun 2020 adalah perubahan ketentuan BUT dari kehadiran fisik menjadi kehadiran ekonomi.

“Sehingga clear dapat diimplementasikan PPh, ada omzet, jumlah pengguna aktif,” kata Suryo, melansir Antara.

Meskipun begitu, Suryo menyatakan pemerintah masih tetap menunggu aturan global yang disusun di G-20 dan OECD agar tercapai solusi jangka panjang dan terhindar dari sengketa pajak antar negara.

Pemerintah memang belum membuat aturan turunan untuk PPh pelaku PSME asing. Pada 5 Mei lalu, Menkeu Sri Mulyani baru mengeluarkan PMK Nomor 48 tahun 2020 sebagai turunan Perppu 1/2020 yang mengatur tata cara pemungutan PPN pelaku PSME luar negeri. Besaran PPN yang diatur dalam Pasal 6 adalah 10%.

Pasal 11 aturan itu menyatakan, pengenaan PPN mulai berlaku pada 1 Juli 2020. Sementara kriteria pelaku PMSE yang dikenakan PPN, seperti termaktub dalam Pasal 4, adalah nilai transaksi dengan pembeli barang dan/atau penerima jasa di Indonesia melebihi jumlah tertentu dalam 12 bulan dan jumlah trafik atau pengakses melebihi jumlah tertentu dalam 12 bulan.

Penentuan jumlah dan pelaku usaha yang ditunjuk untuk memungut PPN akan ditetapkan oleh Dirjen Pajak.

“Segera setelah aturan ini mulai berlaku yaitu 1 Juli 2020, Dirjen Pajak akan mengumumkan kriteria usaha yang wajib memungut PPN dan daftar pelaku usaha yang ditunjuk,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dirjen Pajak Hestu Yoga Saksama melalui keterangan resmi yang diterima Katadata.co.id pada 30 Mei lalu.

Bila merujuk pada kriteria yang termaktub dalam PMK 48/2020, maka pelaku PMSE raksasa seperti Netflix, Spotify, Viu, serta media sosial dan e-commerce berpeluang menjadi pemungut PPN. Berdasarkan data Nakono.com, pelanggan Netflix di Indonesia pada 2018 mencapai 237,3 ribu dan diperkirakan tumbuh menjadi 906,7 ribu pada 2020. Selengkapnya bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:

Secara pendapatan, pada 2018 Netflix mencetak angka sebesar US$ 17,7 juta. Naik lebih dari tiga kali lipat dari pendapatannya pada 2017 yang sebesar US$ 5 juta. Diperkirakan pada 2020 Netflix akan memperoleh pendapatan sebesar US$ 76,6 juta.

Kompetitor Netflix sebagai penyedia layanan VoD di Indonesia, Viu, pun terbilang mampu menggaet banyak pelanggan. Dalam setahun awal beroperasi di sini, menurut Country Manager Viu Indonesia pada 24 Mei 2017, telah mampu menggaet 3,3 juta pengguna dengan rata-rata waktu tonton per user selama 3,3 jam per hari.

Untuk Spotify terlihat dari trafiknya. Dalam lima bulan awal beroperasi di Indonesia pada 2016 lalu, seperti dilansir The Jakarta Post, penyedia layanan streaming musik ini telah mencetak 100 miliar menit pendengar dengan rata-rata 90 menit per hari per pengguna. Survei Dailysocial.id pada 2018 menyatakan, 47,70% pengguna Spotify berlangganan layanan premium berbayar.

Data We Are Social pada 2017, lima media sosial dengan pengguna paling aktif di Indonesia adalah YouTube, Facebook, Instagram, Twitter, dan WhatsApp. Sebagai peringkat pertama, YouTube di tahun itu mencetak 100 juta akses dan diprediksi meningkat tujuh kali lipat pada 2020.

Jika benar perusahaan-perusahaan tersebut yang nanti ditetapkan sebagai pemungut PPN oleh DJP, maka mereka bisa menanggung besaran 10% pajak atau membebankannya ke konsumen yang berarti penambahan harga.

Potensi Besar Penerimaan PPN Digital
Kemenkeu telah memetakan potensi pendapatan dari PPN digital berdasarkan tujuh jenis transaksi barang digital dalam naskah akademik RUU Omnibus Law perpajakan yang rampung Februari lalu. Pertama, dari transaksi sistem perangkat lunak dan aplikasi yang bernilai Rp 14,06 triliun. Kedua, dari layanan gim, video, dan music yang mencapai Rp 880 miliar.

Jenis ketiga adalah dari penjualan film yang bernilai Rp 7,65 triliun. Keempat dari transaksi perangkat lunak khusus semisal perangkat desain yang mencapai Rp 1,77 triliun. Kelima, dari transaksi perangkat lunak gawai senilai Rp 44,7 triliun. Keenam, dari transaksi hak siar layanan televisi berlangganan sebesar Rp 16,49 triliun. Terakhir, dari media sosial dan layanan OTT senilai Rp 17,07 triliun.

Total dari ketujuh jenis transaksi elektronik tersebut senilai Rp 104,4 triliun. Sehingga, potensi PPN 10% adalah sebesar Rp 10,4 triliun.

Potensi tersebut sangat mungkin bertambah karena, seperti data eMarketer pada 2018, penonton/pengunduh video digital di Indonesia diproyeksikan terus bertambah mencapai 100,4 juta orang pada 2021. Besar kemungkinan pengguna Netflix dan penyedia VoD lain akan tumbuh.

Data ITU pada 2019 pun memperkirakan nilai transaksi digital perdagangan elektornik di Indonesia akan mencapai US$ 82 miliar pada 2025. Lebih tinggi dari Vietnam yang dproyeksikan mencapai US$ 23 miliar, juga Thailang yang sebesar US$ 18 miliar pada 2025.

Merujuk data Kemenkeu, penerimaan pajak periode Januari sampai April 2020 lebih rendah 3,1% dari periode sama di tahun sebelumnya, yakni sebesar 376,7 triliun. Realisasi ini baru mencapai 30% dari target penerimaan 2020 berdasarkan Perpres 54 tahun 2020 sebesar Rp 1.254 triliun. Penerimaan PPN tercatat sebesar Rp 132,8 triliun.

Dari sini dapat dimengerti alasan pemerintah memasukkan komponen pajak digital dalam Perppu Nomor 1 tahun 2020, yakni untuk membantu mendongkrak pendapatan dari sektor pajak di tengah ekonomi yang tak menentu akibat covid-19.

Terancam Diganjal AS
Hanya, upaya Indonesia memungut PPN digital belum sepenuhnya mulus meskipun telah memiliki dasar hukum. Kemarin (3/6), Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) mengatakan akan menginvestigasi aturan pajak digital yang diterapkan di 10 negara termasuk Indonesia.

“Presiden Trump khawatir banyak mitra dagang kami mengadopsi skema pajak yang dirancang untuk menargetkan perusahaan kami secara diskriminatif,” kata perwakilan USTR Robert Lighthizer, melansir Reuters.

Robert menyatakan, pemerintah AS siap mengambil tindakan apapun untuk membela bisnis digital yang berasal dari Paman Sam dari diskriminasi peraturan pajak. Ia pun menyatakan USTR telah mengirimkan agen untuk berbicara dengan pemangku kebijakan di 10 negara itu dan akan segera memutuskan perlakuan mereka masuk akal atau diskriminatif.

Saat ditanya mengenai hal ini dalam konferensi pers melalui video conference usai ratas kabinet di Istana Negara, kemarin (3/6), Menkeu Sri Mulyani enggan menjawabnya. “Nanti yang jadi headline malah pajak digital,” kata dia.

Kami pun telah menghubungi Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dirjen Pajak Hestu Yoga Saksama melalui telepon dan pesan WhatsApp untuk menanyakan hal ini, kemarin (3/6). Namun, sampai berita ini ditulis belum mendapatkan jawaban.

Research Manager Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar menilai pernyataan USTR tak perlu dirisaukan karena tak berkaitan dengan PPN digital. “Beda kasus itu, PMK 48 terkait PPN. USTR tadi terkait PPh/PTE,” katanya kepada Katadata.co.id, Rabu (3/6).

Senada, Peneliti Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menyatakan PPN digital yang diterapkan pemerintah untuk pelaku PMSE asing tak berpotensi diskriminatif. Pasalnya telah terdapat konsensus global bahwa dalam transaksi lintas yuridiksi, negara lokasi dikonsumsinya barang atau jasa berhak memungut PPN.

“Prinsip ini dikenal dengan destination,” kata Bawono kepada Katadata.co.id, Rabu (3/6).

Bawono menjelaskan, kekhawatiran AS atas diskriminasi karena sejauh ini belum ada kesepakatan global tentang PPh digital yang adil. Hal ini mendorong negara-negara melakukan kebijakan sepihak atau unilateral melalui digital service tax (DST). Umumnya DST hanya dikenakan bagi perusahaan digital yang memiliki peredaran bruto di atas nilai tertentu dan banyak perusahaan AS.

PMK 48/2020 menurut Bawono telah dibuat dengan baik dari sisi pengaturan mendasar atas pemungutan PPN, bai katas objek, subjek, saat terutang, tarif, hingga kewajiban rekapitulasi data. Dari sisi administrasi pun telah diatur akan berada di bawah KPP Badan dan Orang Asing yang telah mempunyai dasar hukum melalui Perdirjen Pajak Nomor Per-07/PJ/2020.

Respons Penyedia PMSE
Respons pelaku usaha digital atas PPN 10% pun mayoritas baik. Ketua Bidang Ekonomi Digital Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) Bima Laga menilai peraturan ini membawa kesetaraan bagi pelaku PMSE lokal dan asing.

“PMK ini bisa mewujudkan kesetaraan perlakuan atau level-playing field antara pelaku usaha luar negeri dengan kami,” kata Bima kepada Katadata.co.id, Rabu (3/6).

Akan tetapi, Bima masih menganggap implementasi pajak digital e-commerce perlu ditunda sampai 2021, karena regulasi saat ini belum siap mengakomodasi pelaksanaan penarikan pajak. Misalnya terkait pengawasan atas transaksi di media sosial.

Ketua Asosiasi Modal Ventura Indonesia, Jefri Sirait menilai PPN memang semestinya melekat ke setiap usaha perdagangan digital dan bisa menjadi sumber penerimaan baru bagi negara. “Pajak ini kan penggunaannya juga kembali untuk masyarakat,” kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (3/6).

Namun, menurut Jefri, pemerintah perlu mensosialisasikan peraturan ini dengan lebih baik. Terutama di kondisi pandemi seperti sekarang agar memastikannya tepat sasaran. “Peraturan turunannya juga mestinya segera dibuat agar memberi kepastian,” kata Jefri.

Pelaku usaha lain yang menyambut baik adalah Google. Head of Corporate Communication Google Indonesia Jason Tedjasukmana kepada Katadata.co.id kemarin (3/6) menyatakan perusahaan “mematuhi ketentuan pajak di semua negara tempat kami beroperasi dan terus melakukannya seiring dengan perubahan ketentuan pajak yang ada.”

Country Head Viu Indonesia Varun Mehta pada Jumat (29/5) lalu menyatakan perusahaannya belum bisa menjabarkan skema pemungutan PPN kepada konsumen. Namun, tetap berkomitmen untuk menyediakan layanan dengan tarif kompetitif di Tanah Air.

“Viu memiliki komitmen memberikan value yang menarik bagi pelanggan, pada titik harga yang atraktif bagi konsumen. Selain itu, sejalan dengan rencana bisnis jangka panjang kami untuk pasar Indonesia,” kata Mehta kepada Katadata.co.id. Sedangkan Netflix belum mau merespons terkait hal ini.

Sumber : Katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only