Pajak Digital Terbentur Ancaman Trump

Jakarta, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) belum buka suara ihwal aturan pungutan pajak digital. Terutama, setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump keberatan kebijakan pemungutan pajak untuk perusahaan yang berasal dari negaranya.

Seperti diketahui, tak hanya Indonesia, Trump juga keberatan atas pungutan pajak digital dari sejumlah negara seperti Inggris, Spanyol, Austria, Republik Ceko, Brasil, India, dan Turki.

Sebagai tindak lanjut permintaan Trump, United States Trade Representative (USTR) mengancam akan menjalankan investigasi ke negara-negara tersebut. AS mengklaim, pajak transaksi elektronik (PTE) saat ini cenderung tak adil dan diskriminatif terhadap perusahaan digital asal Negeri Paman Sam. Jika hasil investigasi menemukan pemungutan pajak yang diskriminatif, AS mengancam tidak segan untuk melakukan taruf pembalasan yang bakal diterapkan sebelum pengunjung tahun 2020.

Menghadapi ancaman dari AS, Pemerintah Indonesia belum bersikap ihwal kelanjutan pajak digital. Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol tak menanggapi saat dikonfirmasi terkait hal ini.

Yang jelas per 1 Juli 2020, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/2020 yang menjadi payung hukum pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% atas nilai barang jasa digital mulai berlaku. Ditjen Pajak memperkirakan, pungutan PPN paling cepat dilakukan pada Agustus 2020.

John sebelumnya juga menyebut bahwa setelah berhasil menarik PPN, otoritas pajak akan paralel mengenakan pajak penghasilan (PPh) atau PTE perusahaan digital. PTE menjadi jenis pajak baru yang berbeda dengan PPh.

Hanya saja, pemerintah masih menunggu konsensus global terkait nasib pajak digital. Sayangnya, konsensus tersebut diperkirakan molor dari waktu yang dijadwalkan berlangsung pada bulan ini.

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menilai, pelaksanaan PMK 48/2020 tidak akan dipermasalahkan oleh AS. Sebab, PPN dalam lintas yurisdiksi, sudah memiliki konsensus global yang merujuk pada destination principle.

Sedangkan untuk PPh, memang belum ada konsensus globalnya sehingga mendorong berbagai mendorong berbagai aksi unilateral, termasuk melalui skema digital services tax (DST).

Adapun DST, hanya ditargetkan pada perusahaan digital yang memiliki peredaran bruto global tertentu yang kemudian menyasar mayoritas perusahaan digital dari AS.

Namun ia menilai, Indonesia tidak perlu buru-buru menarik PTE. “Jika konsensus ada, maka kita tinggal menyesuaikan. Sedangkan, jika konsensus tidak tercapai, maka kita sudah mengambil ancang-ancang,” kata Darussalam, Senin (8/6).

Sumber: Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only