Pemerintah butuh dana segar untuk tambal defisit APBN, ini kata ekonom

JAKARTA. Pemerintah membutuhkan dana guna membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020. Apalagi, yang teranyar, defisit anggaran akhir tahun akan lebih besar dari perkiraan semula.

Proyeksi defisit anggaran tahun ini mencapai 6,34% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau melebar dari target di Peraturan Presiden (Perpres) no. 54 tahun 2020 yang sebesar 5,7% PDB.

Pelebaran defisit tersebut membuat kebutuhan untuk pembiayaan APBN 2020 juga membengkak. Menurut data yang diterima Kontan.co.id, recananya penerbitan surat berharga negara (SBN) secara neto dan bruto membesar.

Secara netto Rp 1.497,6 triliun dan secara bruto Rp 1.533,1 triliun.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede memandang, besaran rencana pendanaan ini relatif sangat besar bila dibandingkan dengan kebutuhan tahun sebelumnya. Namun, menimbang dengan kebutuhan akan penanganan Covid-19, besaran ini dinilai cukup realistis.

Josua pun optimis bahwa recanana ini bisa tercapai. Optimisme tersebut seiring dengan adanya pemulihan pasar keuangan global dan domestik. 

“Setelah bulan Maret 2002, perlahan-lahan investor asing kembali masuk ke pasar obligasi. Meskipun tingkat kepemilikan asing belum kembali ke level pra Covid-19, mulai masuknya investor asing menjadi tanda bahwa permintaan di pasar obligasi kembali meningkat,” kata Josua kepada Kontan.co.id, Minggu (7/6).

Selain itu, hal ini juga didorong oleh komitmen Bank Indonesia (BI) untuk melakukan pembelian SBN sebagai non-competitive bidder di pasar perdana bila memang dibutuhkan, meski dengan porsi tertentu.

Di sisi lain, masifnya pendanaan lewat SBN memiliki resiko bagi pelaku pasar lainnya, yaitu perbankan sehingga berpotensi menimbulkan crowding out. Dengan imbal hasil SBN yang lebih tinggi, diperkirakan beberapa investor terinsentif memilih untuk memindahkan asetnya ke obligasi.

Meski begitu, Josua melihat tiadanya potensi crowding out. Hal ini didorong oleh kebijakan banks entral dalam mengelola likuiditas bank pada level yang aman dan terukur dengan kebijakan quantitative easing (QE).

“QE inilah yang akhirnya menyebabkan kondisi likuiditas perbankan yang berpotensi mengetat akibat pandemi, tidak sampai mendorong crowding out,” tandasnya.

Sebagai tambahan informasi, pemerintah telah mencatat realisasi penerbitan SBN hingga 20 Mei 2020 sebesar Rp 420,8 triliun. Sementara kebutuhan penerbitan SBN di bulan Juni 2020 – Desember 2020 tercatat sebesar Rp 1.002,1 triliun.

Sumber : KONTAN.CO.ID

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only