DPR: Potensi Penerimaan Pajak Digital Capai Rp 10 Triliun

JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menilai rencana penarikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari produk jasa atau digital luar negeri dengan tarif sebesar 10% seperti Netflix hingga Zoom yang mulai ditarik 1 Juli 2020, memiliki potensi penerimaan hingga Rp 10 triliun.

Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PDIP Indah Kurnia mengatakan, Kementerian Keuangan berusaha mencari sumber pembiayaan baru dan menambah penerimaan negara di tengah pandemi Covid-19, dengan penarikan pajak digital.

Nilai transaksi produk digital mencapai Rp 102 triliun, jika pemerintah menarik PPN 10%, maka penerimaan yang dapat dikantongi pemerintah Rp 10 triliun.

“Dengan potensi ada Rp 102 Triliun, jika ditarik PPN 10%, maka potensi transkasi mencapai 10%,”jelasnya dalam diskusi virtual, Kamis (11/6).

Ia merinci bahwa ada 7 bentuk dan nilai transaksi barang digital yang memiliki potensi di Indonesia. Pertama transaksi dari perangkat lunak telepon genggam mencapai Rp 44,7 triliun, media sosial dan layanan over the top sebesar Rp 17,07 triliun, hak siaran atau layanan televisi berlangganan Rp 16,49 triliun, serta sistem perangkat lunak dan aplikasi sebesar Rp 14,06 triliun.

Kemudian untuk transaksi digital dari penjualan film sebesar Rp 7,65 triliun, perangkat lunak khusus seperti perangkat mesin dan desain sebesar Rp 1,77 triliun, serta game, video, dan musik digital sebesar Rp 880 miliar.

Ia mengatakan kebutuhan pembiayaan untuk penanggulangan dampak Covid -19 juga terus meningkat. Dengan defisit fiskal tahun ini diproyeksi melebar hingga 6,34 persen atau setara Rp 1.039,2 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB). Belanja negara diproyeksi naik menjadi Rp 2.738,4 triliun, sementara pendapatan turun menjadi Rp 1.699,1 triliun.

“Terkait pajak digital, saat ini saya berada di posisi diantara bagaimana merasakan betul beban pemerintah dengan adanya pandemi ini seluruh perencanaan pemerintah berubah, dengan penerimaan negara shortfall sangat besar, belanja negara jumping meningkat tajam, dan harus membuat program stimulus fiskal dan relaksasi kredit,” tuturnya.

Di sisi lain, Indah mengatakan implementasi pengenaan PPN sebesar 10%b mulai 1 Juli 2020 dapat dilakukan bertahap, dengan terlebih dahulu menarik pajak digital yang bersifat konsumtif, seperti Netflix dan Spotify. Sementara yang bersifat produktif, seperti Zoom, bisa ditunda.

Ia mengatakan di tengah pandemi Covid-19, apalagi dengan pengenaan pajak untuk platform digital PPN 10% yang akan dibebankan ke konsumen, karena tidak ada pengkreditan atau pengurangan.

Hal ini dapat mempengaruhi masyarakat, karena sebagian masyarakat mengalami penurunan pendapatan, sementara kegiatan kerja tetap berjalan secara virtual.

“Implementasinya pun bisa bertahap, mungkin yang produktif tidak disentuh dulu. Tapi yang bersifat konsumtif, entertaint, seperti Netflix, Spotify itu. Jadi tidak menjadi prioritas kalau yang produktif,” ujarnya.

Indah juga menyarankan, agar pemerintah memberikan sosialisasi dan edukasi secara menyeluruh mengenai pajak platform digital.

“Saran saya pertama, tentu kita harapkan sosialisasi dan edukasi masif kepada petugas pajak dan konsumen kita, agar mereka bisa menerima PMK 48 dengan penuh kesadaran, petugas pajak juga edukasinya jelas,” tuturnya.

Diketahui pemerintah mengatur pengenaan PPN pada platform digital dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020, yang merupakan aturan turunan dari Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Pengenaan PPN produk digital merupakan upaya pemerintah untuk memberikan kesetaraan antara pelaku usaha dalam negeri dan luar negeri serta antara usaha konvensional dan usaha digital.

Sumber : InvestorDaily.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only