Mengukur Pajak Pesangon dan Manfaat Pensiun

Kondisi pandemi virus Covid-19 mulai pengujung kuartal I/2020 telah menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor, seiring dengan tersendatnya aktivitas perekonomian. Dengan kondisi tersebut, pemberi kerja tetap harus memberikan hak dan melaksanakan kewajibannya kepada pekerja yang diberhentikan. 

Baik PHK karena alasan efi siensi atau pailit, perusahaan harus membayarkan sejumlah uang, seperti uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Uang itu bisa dibayarkan secara langsung oleh perusahaan atau melalui dana pensiun lembaga keuangan (DPLK), jika perusahaan tersebut mengikuti program dana pensiun. 

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, telah terdapat 2,7 pekerja yang mengalami PHK selama masa pandemi. Namun demikian, sebagaimana dikemukakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), banyak perusahaan berada dalam kondisi serba sulit. Mereka tidak bisa melakukan PHK karena tidak memiliki cukup uang untuk membayar pesangon, tetapi juga kesulitan untuk membayar gaji sehingga para pekerja dirumahkan. 

Menurut VP Head of Pension DPLK Avrist Firmansyah, kondisi tersebut menjadi momentum bagi perusahaan untuk mengelola dana pensiun karyawannya melalui DPLK. 

Salah satu manfaat yang bisa diperoleh perusahaan jika menggunakan DPLK, adalah pengenaan tarif pajak yang lebih rendah. 

“Ada perbedaan tarif pajak manfaat pensiun antara DPLK dan pesangon. Tarif pajak bagi [manfaat pensiun] DPLK itu mencapai 5%, sehingga dengan hasil perhitungan [manfaat pensiun] yang sama, manfaat yang diperoleh pekerja akan lebih besar,” ujar Firmansyah pada Selasa (16/6).

Hal tersebut diatur dalam dua regulasi, pertama yakni Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon Uang Manfaat Pensiun Tunjangan Hari Tua dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus. 

Regulasi kedua yang mengaturnya adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 16/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pemotongan PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayar Sekaligus. 

Firmansyah menjelaskan jika manfaat pensiun yang diterima peserta kurang dari sama dengan Rp50 juta, tidak terdapat pajak yang perlu dibayarkan. Jika manfaat pensiun itu berkisar Rp50 juta–Rp100 juta maka pajaknya sebesar 5%, baik bagi pesangon maupun manfaat pensiun.

Perbedaan muncul dalam nominal yang lebih besar. Jika manfaat pensiun pekerja Rp100 juta-Rp500 juta, pajak yang dikenakan terhadap pembayaran melalui pesangon sebesar 15%, sedangkan jika melalui DPLK tetap 5%. 

Adapun, jika manfaat pensiun yang harus dibayarkan kepada pekerja berada di atas Rp500 juta, terdapat pajak 25% jika dibayarkan melalui pesangon dan hanya 5% jika dibayarkan melalui DPLK. Artinya, terdapat selisih 20% dana yang akan diterima pekerja jika pembayarannya melalui DPLK. 

“Sehingga bisa dikatakan, dengan adanya program pensiun ini perusahaan tidak ada program tambahan. Misalnya manfaat pensiun yang harus dibayarkan sama-sama Rp500 juta, tetapi pekerja akan menerima lebih besar jika melalui program pensiun DPLK karena pajaknya lebih sedikit.” 

Firmansyah menjelaskan bahwa berdasarkan Statistik Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), baru terdapat sekitar 6,01% pekerja Indonesia yang menjadi peserta dana pensiun. Hal tersebut menjadi cerminan bahwa kepesertaan dana pensiun masih potensial untuk terus ditingkatkan.

Perusahaanperusahaan dinilai harus mulai mempertimbangkan pengelolaan dana pensiun, karena ada atau tidak ada pandemi virus corona, para pekerja sudah pasti akan memasuki masa pensiun.

PELUANG

Krisis perekonomian yang disertai gelombang PHK dinilai akan membawa peluang pertumbuhan peserta DPLK. Direktur Eksekutif Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Syarif Yunus menjelaskan bahwa pada 2008, saat terjadi gejolak perekonomian melanda, terjadi perubahan cukup signifi kan pada industri DPLK. Menurutnya, gelombang PHK menyadarkan dunia usaha bahwa pembayaran pesangon menjadi beban besar yang kerap sulit terpenuhi.

“Sejak itu [krisis 2008] dan ditambah sejak ada DPLK Program Pensiun Untuk Kompensasi Pesangon [PPUKP] pada 2013 aset yang dikelola industri DPLK terus bertumbuh 20%–30%,” ujar Syarif kepada Bisnis, Rabu (17/6). 

Pada krisis 2008, pelaku usaha menyadari bahwa program wajib Jaminan Hari Tua oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan atau BPJAMSOSTEK hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar pekerja di masa pensiun. Oleh karena itu, diperlukan program sukarela seperti DPLK. 

“Karena saat ini pun tidak sedikit pemberi kerja yang merasa ‘sudah cukup’ dengan memberi program JHT bagi karyawannya, sehingga tidak mau lagi menambah [program pensiun di] DPLK,” ujarnya. 

Menurut Syarif, pandemi Covid-19 setidaknya akan memberikan dua gambaran kepesertaan DPLK bagi para pemberi kerja. 

Pertama, perusahaan yang terganggu bisnisnya tidak akan memprioritaskan keikutsertaannya di DPLK untuk mengantisipasi kondisi yang sama terjadi kembali. 

Kedua, perusahaan yang kondisi bisnisnya relatif normal semestinya menyadari untuk menyiapkan program DPLK bagi para pekerjanya. 

Besarnya gelombang PHK perlu dilihat oleh para pemberi kerja sebagai risiko, karena kewajiban membayar pesangon akan sangat memengaruhi arus kas perusahaan. 

“Ada tantangan yang tidak mudah di masa pandemi ini untuk menambah kepesertaan DPLK, tetapi ini juga jadi momentum untuk edukasi pasar terkait pentingnya menyiapkan program DPLK, baik untuk pemberi kerja maupun pekerja,” ujar Syarif.

Direktur Eksekutif DPLK Muamalat Lilies Sulistyowati menilai perusahaan-perusahaan akan menunggu kondisi pulih untuk kemudian memutuskan menggunakan DPLK. “Untuk itu, DPLK perlu memperkuat sinergi dengan jaringan yang kami punya di internal.”

Sumber: Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only