Dampak nyata korona terhadap perekonomian daerah mulai terlihat. Realisasi penerimaan pajak di daerah-daerah turun jauh dari target.
Efek jahat virus korona alias Covid-19 tidak hanya dirasakan pemerintah pusat. Pemerintah daerah di seluruh Nusantara juga dibuat kelimpungan lantaran anggaran yang mereka kelola porak poranda.
Situasi ini tak sulit kita bayangkan. Sejak marak penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), seluruh sektor usaha langsung terdampak yang ditandai dengan aktivitas bisnis yang kian meredup.
Mulai dari sektor riil, properti, hingga sektor jasa terpuruk. Jangankan membayar pajak, untuk membiayai operasional usahanya saja mereka kesulitan. Bahkan, banyak dari mereka yang bangkrut hingga menghentikan aktivitas bisnisnya sama sekali.
Padahal, sumber penerimaan pajak dari kalangan dunia usaha ini menjadi salah satu andalan daerah dalam mengisi pundi-pundi kas daerahnya.
Lantaran lumbung penerimaan pajak banyak yang hangus terbakar korona, otomatis realisasi penerimaan pajak mereka langsung jeblok.
Jakarta sebagai pusat episentrum wabah, misalnya, mencatat penurunan pajak cukup dalam. Terlebih daerah ini pertama kali menerapkan PSBB.
“Penerapan pajak kami nyaris turun hingga 50%,” kata Gubernur DKI Jakarta Anies Bawedan.
Hingga 30 April 2020, realisasi penerimaan pajak DKI Jakarta baru sebesar Rp 8,2 triliun, atau 39,5% dari target tahun ini yang sebesar Rp 50,170 triliun. Jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan dengan periode sama tahun lalu yang mencapai Rp 8,8 triliun.
Bila wabah belum berakhir juga hingga akhir tahun, diprediksi realisasi penerimaan pajak tahun ini makin ambles. Saat rapat penyesuaian APBD DKI Tahun 2020 di DPRD DKI belum lama ini, diproyeksikan realisasi pajak periode Mei hingga Desember 2020 hanya Rp 14,344 triliun.
Dengan demikian, total pendapatan pajak DKI tahun ini diprediksi hanya Rp 22,570 triliun, tinggal 45% dari target yang ditetapkan. Proyeksi itu jauh di bawah realisasi penerimaan pajak tahun lalu yang mencapai Rp 40,2 triliun.
Merosotnya penerimaan pajak itu membuat Anggaran Pendapatan (APBD) Jakarta anjlok dari Rp 87,9 turun menjadi Rp 47,2 triliun. “Belum pernah di dalam sejarah Pemprov DKI Jakarta, kita mengalami penurunan pendapatan sebesar ini, yaitu lebih dari Rp 40 triliun,” ujar Anies.
Akibat pendapatan yang berkurang separuh, ia pun terpaksa melakukan pemangkasan anggaran secara besar-besaran di berbagai sektor. Selain juga ada realokasi anggaran yang dialihkan untuk dana darurat penanganan Covid-19, termasuk untuk program bantu sosial (bansos).
Kota-kota penyangga yang langsung mengikuti jejak DKI Jakarta menerapkan PSBB juga turut bernasib sama. Maklumlah, aktivitas ekonomi di daerah penyangga tak kalah buruknya dengan Ibukota.
Kebijakan agar warga stay at home, belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah ibarat pil pahit bagi pelaku usaha. Lantaran sepinya mobilitas manusia selama pandemi, banyak sektor usaha yang benar-benar menghentikan kegiatannya. Tidak sedikit restoran, tempat-tempat hiburan, dan pusat perbelanjaan yang tutup.
Akibatnya, laju penurunan pajak di daerah penyangga juga tak kalah dalamnya dengan DKI. Seperti dialami Kota Bogor. Hingga Maret 2020, penerimaan pajak di kota ini anjlok hingga 160 miliar lebih.
Pajak restoran mencatat penurunan terbesar hingga Rp 51 miliar, lalu diikuti pajak hotel sebesar Rp 38 miliar, dan pajak hiburan berkurang sebesar Rp 16 miliar.
Selain tiga sektor itu, penurunan terbesar juga datang dari pajak bumi dan bangunan (PBB) yang mencapai Rp 36 miliar. Turunnya penerimaan pajak ini memaksa Pemkot memangkas target PAD dari Rp 1,083 triliun menjadi Rp 834 miliar.
“Diturunkan sekitar 200 miliar,” ujar Sekretaris Daerah Kota Bogor Ade Sarip Hidayat.
Selama ini penerimaan pajak daerah menyumbang hingga 67,68% dari total PAD Bogor. Bila pandemi terus berkepanjangan dan dunia usaha terus tutup, dampaknya bisa lebih parah. “PAD kami bisa turun sampai 58%,” cetusnya.
Setali tiga uang, aliran pajak yang masuk ke APBD Kota Tangerang juga macet tersumbat korona. Di bulan Mei, misalnya, PAD yang masuk dari penerimaan pajak daerah hanya sebesar Rp 68 miliar, Jauh di bawah realisasi bulan Januari sampai Februari 2020 yang mencapai Rp 200 miliar.
“Sektor yang paling mempengaruhi penurunan PAD Kota Tangerang adalah sektor industri kuliner dan hiburan,” ujar Kepala Dinas Komunikasi Dan Informatika, Mulyani.
Kota Bekasi juga menanggung kepedihan yang sama. Gara-gara korona, PAD kota ini diprediksi terpangkas hingga 50% dari target semula yang sebesar Rp 3,1 triliun.
Hampir 80% kontribusi terbesar PAD Kota timur DKI berasal dari penerimaan pajak daerah. Sisanya, retribusi menyumbang sekitar 10%, PAD lainnya 10% termasuk hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Adapun kontribusi terbesar pajak daerah bersumber dari penerimaan sektor jasa dan perdagangan. Sementara pas PSBB, banyak sektor yang bergerak di bidang usaha ini tutup seperti pusat perbelanjaan (mal), hotel, dan restoran.
Diperkirakan selama pandemi, realisasi penerimaan tak lebih dari 30% dari potensi yang ada. “Iya bisa dibilang tiga bulan ini, kami terkapar tidak dapat apa-apa,” ujar Walikota Bekasi, Rahmat Effendi.
Total Pendapatan pajak DKI Jakarta tahun ini diprediksi hanya mencapai Rp 22,570 triliun.
Sejatinya, rapor merah penerimaan pajak ini dialami hampir selurug daerah di Indonesia, utamanya daerah-daerah yang menerapkan PSBB. Penyebabnya, ya sama, sektor-sektor penyumbang PAD banyak terkapar akibat wabah.
Sebut aja Kota Surabaya yang kini menjadi episentrum penyebaran korona terbesar kedua setelah DKI Jakarta. Sama-sama menerapkan PSBB, nyali Kota Pahlawan ini juga ciut dalam menggenjot PAD tahun ini.
Seiring dengan banyaknya rumah makan, restoran, depot, hingga hotel merugi akibat korona, target PAD kota ini pun turut dipangkas.
Semula kota ini menargetkan PAD tahun 2020 hingga Rp 9,08 triliun. “Pastinya akan berkurang. Sekarang semuanya sepi, seperti hotel, rumah makan, dan restoran. Pemasukan dari pajaknya pasti akan turun drastis,” ujar Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pajak Daerah (BPKPD) Kota Surabaya Yusron Sumartono.
New Normal
Nah, tak ingin penerimaan pajaknya tergerus kian dalam, kini pemerintah daerah ramai-ramai ingin melonggarkan PSBB di daerahnya masing-masing. Rencana ini muncul seiring bergulirnya kebijakan new normal atau cara hidup baru yang digagas Presiden Joko Widodo belum lama ini.
Dengan dilonggarkan PSBB, diharapkan dunia usaha kembali menggeliat sehingga berdampak positif terhadap setoran pajak.
DKI Jakarta kembali menjadi pelaporan new normal lewat kebijakan yang dinamakan PSBB transisi. “Iya diharapkan penerimaan pajak juga bisa meningkat,” kata Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta, Edi Sumantri.
Di masa transisi ini, beberapa aktivitas bisnis memang sudah dibolehkan kembali secara bertahap. Salah satunya mal yang sudah dibolehkan buka mulai 15 Juni. Sementara restoran diluar mal juga sudah boleh buka dengan dibatasi kapasitasnya. Tentu semua aktivitas usaha itu diwajibkan menerapkan protokol kesehatan.
Langkah DKI ini langsung diikuti Kota Bekasi yang mulai berencana membuka beberapa mal secara bertahap. Bogor juga mulai berancang-ancang mengambil langkah serupa. “Iya, ini bisa jadi solusi mengatasi penurunan PAD dan pertumbuhan ekonomi di Kota Bogor,” Jelas Ade.
Namun, kalangan pengusaha sendiri tidak begitu yakin bisnis bisa cepat pulih di masa PSBB transisi ini. Pasalnya, daya beli masyarakat masih lemah. Ditambah, besarnya beban biaya operasional karena harus menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
“Akhirnya, banyak pelaku usaha yang memilih tetap menutup sebagian besar gerainya,” kata Eddy Susanto, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo).
Menurtnya, butuh waktu minimal setahun bagi pelaku usaha untuk bangkit kembali pasca pandemi. Proses recovery terpuruk selama PSBB. “Dan, kami pastikan setoran pajak tahun ini bakal melesat jauh dari target,” cetusnya.
Pendapat tersebut turut diamini Diana Dewi, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta. Menurutnya, pemerintah jangan terlalu berharap pengusaha bisa langsung menggenjot setoran pajaknya tahun ini.
Bisa kembali menjalankan bisnis saja, menurut dia, sudah suatu kemajuan di tengah kondisi sulit ini. Menurutnya, kalangan pengusaha sekarang dihadapkan pada lemahnya daya beli masyarakat yang turut tergerus efek korona.
Yusuf Rendy Manilet, ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, berpendapat, new normal atau PSBB transisi menjadi pertaruhan bagi program pemulihan ekonomi di masa pandemi. Jika tak ada lonjakan kasus positif korona selama masa transisi, maka dunia usaha bisa bangkit lagi di kuartal IV mendatang. Tapi, khusus sektor pariwisata bisa lebih lama, karena butuh waktu bagi masyarakat untuk benar-benar menilai kondisi sudah aman buat berwisata.
Namun, jika wabah tak kunjung selesai, maka aktivitas bisnis dan perekonomian akan semakin terpuruk. “Karena itu pemerintah harus berhati-hati menerapkan new normal,” ujarnya.
Sumber : Tabloid Kontan
Leave a Reply