Ekonom Ramal Pendapatan Negara Baru Bisa Digenjot 2021

Ekonom memproyeksi pemerintah baru bisa menggenjot penerimaan negara pada 2021 mendatang. Pasalnya, pendapatan negara rentan tak menyentuh target lantaran penerimaan dari pajak, cukai, dan non pajak terus melorot di tengah pandemi virus corona.

Ekonom UI Fithra Faisal menyatakan penerimaan negara utamanya berasal dari pajak. Namun, penerimaan dari pos tersebut anjlok karena pendapatan perusahaan menurun tajam akibat penyebaran virus corona.

“70 persen sampai 80 persen penerimaan negara itu dari pajak. Aktivitas ekonomi melemah jadi memungut pajak juga lebih terbatas,” ucap Fithra kepada CNNIndonesia.com, Rabu (17/6).

Selain faktor tersebut, tekanan penerimaan juga datang dari kebijakan pemerintah memberikan banyak relaksasi pajak kepada dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi beban mereka akibat tekanan penyebaran virus corona. Alhasil, potensi penerimaan pajak semakin turun.

“Tapi relaksasi pajak ini memang dibutuhkan untuk mendongkrak ekonomi kembali seperti semula sebelum pandemi,” ujar Fithra.

Ia menjelaskan pemerintah sewajarnya memang memberikan banyak insentif fiskal berupa relaksasi pajak kepada dunia usaha. Hal ini bisa bermanfaat untuk menurunkan beban biaya industri dan membuat dunia usaha tidak gulung tikar.

Ia mengatakan kalau perusahaan sampai bangkrut, ongkos yang dikeluarkan pemerintah untuk memperbaiki ekonomi dalam negeri justru lebih besar. Jadi, Fithra berpendapat tak masalah negara berkorban lebih dulu mengeluarkan banyak dana untuk memberikan stimulus fiskal dan penerimaan negara jeblok.

“Karena ini proses untuk mengembalikan ekonomi seperti semula,” imbuh dia.

Jika perusahaan sudah kembali beroperasi normal, dampaknya juga positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kalau sudah begitu, maka satu per satu stimulus fiskal yang sebelumnya diberikan bisa dicabut kembali dan pemerintah bisa kembali menggenjot penerimaan negara.

“Proyeksi saya 2021 baru bisa kembali ke level perekonomian normal. Kalau tidak ada stimulus fiskal nanti aktivitas ekonomi tidak bergerak. Diberikan stimulus agar ekonomi kembali gerak,” jelas Fithra.

Senada, Ekonom BCA David Sumual menyatakan sah-sah saja jika pemerintah menggelontorkan banyak stimulus fiskal sehingga menyebabkan belanja negara melonjak dan penerimaan turun signifikan. Ia mengakui kebijakan itu bakal berdampak ke ke pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Ini memang dilematis tapi banyak perusahaan yang merugi. Artinya kalau rugi ya tidak bayar pajak. Di sisi lain belanja negara naik dan penerimaan turun lebih besar. Jadinya defisit tinggi,” ujar David.

Namun, situasi ekonomi saat ini tak bisa dibilang biasa saja. David menyatakan bukan saatnya lagi pemerintah memikirkan mengenai defisit APBN.

Hal utama yang harus dipikirkan adalah menyelamatkan pihak-pihak yang terdampak virus corona untuk memulihkan ekonomi dalam negeri dengan cepat. Misalnya, pemberian insentif pajak hingga relaksasi pembayaran cukai.

“Ini countercyclical, harus ada kebijakan untuk menyanggah ekonomi lebih turun lagi dengan relaksasi pajak untuk menopang ekonomi naik lagi,” terang David.

Ia bilang sumber penerimaan negara memang tak berasal dari pajak, tapi juga cukai, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan royalti. Namun, semuanya kini tak bisa diandalkan.

Pajak dan cukai misalnya, David bilang pos itu akan turun karena ada insentif dan kinerja perusahaan yang merosot. Kemudian, PNBP otomatis turun karena harga komoditas juga sedang berfluktuasi.

“Harga komoditas turun jadi PNBP ikut melemah. Sekarang memang konsentrasi di penanganan virus corona dulu karena itu berimbas ke ekonomi keseluruhan,” jelasnya.

Sebagai informasi, Kementerian Keuangan mencatat defisit APBN menyentuh Rp179,1 triliun atau 1,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) per 31 Mei 2020. Defisit terjadi karena jumlah belanja lebih besar ketimbang penerimaan negara.

Penerimaan Negara hingga akhir Mei 2020 sebesar Rp664,3 triliun. Angka itu turun 9,1 persen secara tahunan atau baru menyentuh 37,7 persen dari target APBN 2020 sebesar Rp1.760,9 triliun.

Penerimaan dari sektor pajak hanya terkumpul Rp444,6 triliun atau merosot 10,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara, penerimaan bea dan cukai terkumpul Rp81,7 triliun atau tumbuh 12,4 persen secara tahunan.

Kemudian, PNBP yang terkumpul hanya sebesar Rp136,9 triliun. Jumlah itu turun 13,6 persen dari akhir Mei 2019 lalu.

Sementara, belanja negara tercatat sebesar Rp843,9 triliun atau 32,3 persen dari target APBN 2020 yang sebesar Rp2.613,8 triliun. Dengan realisasi tersebut, belanja negara hingga akhir Mei turun dari periode yang sama tahun lalu sebesar 1,4 persen.

Sumber: CNNIndonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only