Per Agustus 2020, PKP di KPP Pratama Wajib Buat Bupot PPh Pasal 23/26

JAKARTA – Terhitung mulai Agustus 2020, pengusaha kena pajak (PKP) yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama di seluruh Indonesia harus membuat bukti pemotongan dan menyampaikan SPT masa pajak penghasilan (PPh) Pasal 23 dan/atau Pasal 26.

Kewajiban ini dimuat dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-269/PJ/2020. Melalui keputusan yang ditetapkan pada 10 Juni 2020 ini, Dirjen pajak menetapkan PKP yang terdaftar di KPP Pratama di seluruh Indonesia sebagai pemotong PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26.

“PKP tersebut diharuskan membuat bukti pemotongan dan diwajibkan menyampaikan SPT masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-04/PJ/2017 mulai masa pajak Agustus 2020,” demikian penggalan dari diktum pertama keputusan tersebut.

Sesuai KEP-269/PJ/2020, kewajiban pembuatan bukti pemotongan dan penyampaian SPT masa tersebut akan tetap berlaku meskipun pengusaha yang telah ditetapkan sebagai pemotong PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 tidak lagi berstatus sebagai PKP.

Sementara itu, untuk wajib pajak yang baru dikukuhkan sebagai PKP setelah penetapan KEP-269/PJ/2020, kewajiban pembuatan bukti pemotongan dan menyampaikan SPT masa pajak penghasilan (PPh) Pasal 23 dan/atau Pasal 26 berlaku sejak masa pajak dilakukannya pengukuhan.

Adapun KEP-269/PJ/2020 ini berlaku sejak 10 Juni 2020. Apabila dalam KEP-269/PJ/2020 terdapat kekeliruan maka akan dibetulkan sebagaimana mestinya.

Sesuai PER-04/PJ/2017, SPT masa dan daftar bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 berbentuk formulir kertas (hard copy) atau dokumen elektronik. Adapun syarat pemotong yang menggunakan hard copy ada dua.

Pertama, menerbitkan tidak lebih dari 20 bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam satu masa pajak. Kedua, jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar pengenaan PPh tidak lebih dari Rp100 juta untuk setiap bukti pemotongan dalam satu masa pajak.

Kemudian, pemotong yang harus menggunakan dokumen elektronik memenuhi salah satu atau beberapa kriteria berikut. Pertama, menerbitkan lebih dari 20 bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam satu masa pajak.

Kedua, jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar pengenaan PPh lebih dari Rp100 juta dalam satu bukti pemotongan. Ketiga, sudah pernah menyampaikan SPT masa elektronik. Keempat, terdaftar di KPP Madya, KPP di lingkungan Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, atau KPP di lingkungan Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar. Simak pula artikel ‘DJP: Hampir Seluruh PKP Wajib Pakai e-Bupot Mulai Agustus 2020’.

SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik dapat disampaikan oleh pemotong pajak dengan menggunakan aplikasi e-Bupot 23/26 yang tersedia di laman milik DJP atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh DJP.

“Pemotong pajak yang sudah pernah menyampaikan SPT masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik harus menyampaikan SPT masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 untuk masa pajak berikutnya dalam bentuk dokumen elektronik,” demikian bunyi pasal 8 PER-04/PJ/2017. (kaw)

Sumber : DDTCNews

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only